Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pecahnya pembuluh darah di kepala akan menyebabkan terganggunya suplai oksigen dan nutrisi pada otak dan proses desak ruang kepala yang mengganggu otak. Lalu apa saja gejala yang bisa diwaspadai? Dosen Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga (Unair) Andrianto mengatakan gejala yang sering terjadi pada seseorang yang berisiko mengalami pecah pembuluh darah di kepala adalah sakit kepala.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, kata dia, gejala ini mirip dengan gejala penyakit lainnya. “Sehingga banyak orang yang tidak sadar kalau ada masalah yang berpotensi pembuluh darah pecah di kepala,” katanya dilansir dari laman resmi Unair pada Selasa, 3 Januari 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keluhan sakit kepala dapat terjadi secara berulang. Rasa sakit yang dirasa akan meningkat seiring berjalannya waktu dan ketika diberi obat berupa anti nyeri yang umum digunakan tidak ada perbaikan. “Kalau sampai tekanan yang ada di dalam kepala meningkat bisa terjadi mual dan muntah,” tuturnya.
Baca juga: Jokowi Larang Rokok Ketengan, Pakar di Unair: Harus Ada Peran Emak-emak Kampanye Antirokok
“Vertigo juga gejala yang harus diwaspadai, demikian pula kesulitan bicara, pingsan dan kelemahan otot tangan dan kaki. Berbagai gejala tersebut perlu diwaspadai apalagi disertai faktor risiko seperti usia lanjut, tekanan darah tinggi atau hipertensi, diabetes, kolesterol tinggi, riwayat merokok, dan sebagainya. Oleh karenanya harus ada pemeriksaan lanjutan,” imbuhnya.
Pecahnya pembuluh darah di kepala sangat erat kaitannya dengan tekanan darah tinggi atau hipertensi. Sementara itu hipertensi berhubungan dengan tingginya kadar kolesterol, obesitas, diabetes, stres, dan merokok. “Yang harus dilakukan untuk mencegahnya adalah perubahan gaya hidup sejak muda,” jelasnya.
Bagaimana Pencegahannya?
Andrianto mengatakan, hipertensi yang tidak terkontrol berisiko tinggi menimbulkan terjadinya komplikasi, salah satunya pecah pembuluh darah di kepala. Namun, kata dia, penderita hipertensi tidak perlu sangat risau akan hal ini. Pencegahan terjadinya komplikasi bisa dilakukan dengan cara mengontrol tekanan darah dalam batas normal.“Sudah terbukti kalau tekanan darah bisa mencapai target normal maka akan menurunkan risiko komplikasi,” ungkapnya.
Strategi pengobatan yang bisa dilakukan pada penderita hipertensi dibagi menjadi dua yaitu nonfarmakologis dan farmakologis. Nonfarmakologi dengan cara perubahan gaya hidup seperti diet rendah lemak dan garam serta faktor risiko penyakit yang berhubungan dengan pembuluh darah dikontrol seperti kolesterol dan diabetes, tidak merokok, obesitas dikontrol, olahraga rutin, dan pengendalian stres. “Terapi nonfarmakologis ini merupakan hal yang penting sebelum menuju pada pengobatan farmakologis,” ujarnya.
Pengobatan farmakologis berbeda setiap individu. Pilihan obat yang digunakan disesuaikan dengan target tekanan darah yang harus dicapai. Evaluasi bertahap turut dilakukan dalam hal ini. Disarankan penderita hipertensi memeriksakan kesehatannya secara rutin agar risiko pecah pembuluh darah di kepala bisa dicegah.
“Target tekanan darah yang harus dicapai jika tidak ada faktor risiko penyakit lain seperti diabetes dan penyakit ginjal maka harus kurang dari 140/90 mmHg,” katanya.
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.