Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, San Francisco - Salju sampai 16 inci (40 sentimeter) menyelimuti Gurun Sahara di wilayah Aljazair pada hari Minggu, 7 Januari 2018. Peristiwa ini adalah hasil dari badai musim dingin yang "aneh" dan telah terjadi untuk ketiga kalinya dalam empat dekade.
Baca: Salju Setebal 40 Sentimeter Muncul di Gurun Sahara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami benar-benar terkejut saat kami bangun melihat salju lagi. Salju itu tinggal sepanjang hari pada hari Minggu dan mulai mencair sekitar pukul 17.00. Salju meleleh menjelang malam membawa kembali bintik-bintik oranye padang pasir,” ujar fotografer Karim Bouchetata, yang menangkap gambar-gambar luar biasa tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada tahun 1979, badai salju yang berlangsung setengah jam menghentikan lalu lintas. Dua tahun yang lalu, salju menetap sekitar satu hari, dan kota itu melihat hujan salju lagi tahun lalu.
Dengan pergeseran cuaca dan juga perubahan pada kemiringan poros bumi, para ilmuwan memprediksi bahwa Gurun Sahara akan menjadi hijau kembali di masa mendatang.
Suhu dingin juga melanda India, Jammu dan Kashmir yang mencatat suhu -6 derajat celcius di Srinagar dan Leh membeku di -15,6 derajat Celsius. Suhu di Delhi turun menjadi 5 derajat celcius. Bahkan Chennai pun tak bisa lepas dari gelombang dingin. Sama seperti Sahara, gelombang dingin menyebar ke Chennai dengan suhu serendah 19 derajat celcius pada hari Sabtu.
Fenomena ini, bagaimanapun, tidak terbatas pada Afrika dan Asia. Di Amerika Serikat, Florida dibekukan dengan gelombang dingin yang menyapu seluruh negeri. Bagian dari Niagara Falls juga dibekukan. Gelombang dingin menyebar hingga Kuba di benua Amerika. Badai salju Amerika Utara 2018 disebut sebagai penyebab kekacauan ini.
Meskipun tidak ada norma yang diterima secara universal mengenai apa itu gelombang dingin dan bagaimana hal itu terjadi, biasanya hal itu dikreditkan ke suhu rendah disertai angin kencang. Bahayanya meningkat akibat badai musim dingin yang aneh yang ditimbulkannya.
Sementara itu, ada klaim bahwa suhu global sedang merosot dan bahwa kita akan memiliki zaman es mini pada tahun 2030. Ahli matematika Valentina Zharkova di Universitas Northumbria mengklaim bahwa pada tahun 2021, penurunan suhu akan sangat terlihat.
Sesuai dengan pola, ada zaman es mini di tahun 1646-1715. Ini dikaitkan dengan perubahan aktivitas matahari yang juga dikenal sebagai Maunder Minimum.
Studi tim Zharkova menyebutkan bahwa antara 2020 dan 2030 siklus matahari akan saling membatalkan. Model ini memprediksi bahwa sepasang gelombang magnetik menjadi semakin berlawanan selama Siklus 25, yang memuncak pada 2022.
Selama Siklus 26, yang mencakup dekade 2030-2040, kedua gelombang akan menjadi tidak sinkron dan ini akan menyebabkan penurunan aktivitas matahari yang signifikan.
Prediksi dari model tersebut menunjukkan bahwa aktivitas matahari akan turun 60 persen selama tahun 2030-an menuju kondisi yang terakhir terlihat pada 'era es mini' pada tahun 1646-1715.
Dr Zharkova menerbitkan penelitian sebelumnya tentang fenomena ini pada tahun 2015, dan makalah baru yang diterbitkan tahun ini di Astronomy & Geophysics telah memperkuat temuan sebelumnya.
Simak artikel lainnya tentang salju di Gurun Sahara di tempo.co.
DAILYO | DAILY MAIL