Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tim mahasiswa Universitas Surya menjadi mahasiswa Indonesia yang pertama mengembangkan satelit kubus, Surya Satellite-1.
Satelit itu juga menjadi yang pertama diorbitkan dari Stasiun Antariksa Internasional.
Pusat Riset Teknologi Satelit mendorong anak-anak muda membuat satelit.
MATA Setra Yoman Prahyang, 27 tahun, berbinar-binar saat dia menceritakan perasaannya menyaksikan Surya Satellite-1 yang ia kembangkan bersama timnya selama enam tahun akhirnya meluncur ke orbit. Satelit kubus berbobot 1,3 kilogram itu dilontarkan dari Stasiun Antariksa Internasional (ISS) pada 6 Januari lalu. “Lega banget satelit itu menjadi kenyataan. Akhirnya kami bisa memenuhi janji kepada para pemangku kepentingan dan sponsor,” kata Setra saat ditemui di kafe di kawasan Kembangan, Jakarta, Jumat, 3 Februari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setra menyebut pengembangan satelit sebesar separuh kotak tisu itu sebagai perjalanan enam tahun “yang berdarah-darah”. Perjalanan itu bermula pada April 2016, ketika ia bersama 20 mahasiswa tahun ketiga Universitas Surya, Tangerang, Banten, bergabung dalam proyek satelit kubus (cubesat) yang bakal diluncurkan Jepang. Minat terhadap satelit itu muncul berkat dosen pembimbing mereka yang juga anggota Organisasi Amatir Radio Indonesia (Orari). Juga euforia atas peluncuran satelit Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) A-2 alias Satelit LAPAN/ORARI lima bulan sebelumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kerasnya perjalanan itu, Setra menambahkan, tecermin dari ketatnya seleksi alam terhadap tim. Satu per satu anggota tim gugur lantaran tak tahan mengalami seribu masalah. Tinggal Setra dan lima kawannya yang bertahan sampai Surya Satellite-1 (SS-1) rampung dirancang-bangun. “Aku bangga sama timku. Kami semua bekerja sukarela,” tutur Setra, pemimpin proyek SS-1, tentang teman-temannya: Afiq Herdika Sulistya, Hery Steven Mindarno, Muhammad Zulfa Dhiyaulfaq, Roberto Gunawan, dan Suhandinata.
Wahyudi Hasbi yang menjadi pembimbing teknis tim SS-1 mengatakan apa yang dilakukan Setra dan kawan-kawan ini menjadi tonggak capaian dan sejarah. “Ini pertama kalinya mahasiswa Indonesia mengembangkan satelit yang diorbitkan. Ini cubesat pertama yang dibikin anak-anak Indonesia,” ucap Wahyudi, Kepala Pusat Riset Teknologi Satelit Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). “Kami pada 2007 bikin satelit juga, LAPAN-TUBSat. Tapi bikinnya di Jerman, kolaborasi dengan Technische Universität Berlin,” ujarnya, Senin, 6 Februari lalu.
Menurut Wahyudi, SS-1 unik karena dibikin bukan dari modul atau cubesat kit yang banyak tersedia di pasar. “Satelit ukuran 1U seperti SS-1 ini standar biayanya kalau di luar negeri US$ 100 ribu (sekitar Rp 1,5 miliar). Kalau beli kit-nya bisa habis ratusan juta rupiah,” tuturnya. Karena para mahasiswa itu tidak punya uang dan berupaya mencari pendanaan dari sponsor, Wahyudi menambahkan, mereka membuat SS-1 dari perancangan papan sirkuit cetak, penyeleksian komponen, perakitan, hingga pengetesan. “Karena itu, pengembangannya lama banget, enam tahun, padahal satelitnya sekecil itu."
Pelepasan Surya Satelit-1 dari International Space Station yang disiarkan langsung kanal Youtube BRIN, 6 Januari 2023/Youtube/BRIN
Setra mengklaim SS-1 murni dikembangkan oleh mahasiswa. Tidak ada keterlibatan langsung profesor di universitas seperti yang terjadi di luar negeri. “Di kampus memang tidak ada jurusan dan kurikulum aerospace,” ujar alumnus Program Studi Teknik Fisika Universitas Surya ini. “Pembimbing teknis kami adalah Lapan untuk segmen antariksa dan Orari untuk segmen stasiun bumi,” kata Setra. Mungkin karena SS-1 adalah karya orisinal mahasiswa, Perserikatan Bangsa-Bangsa memilihnya sebagai pemenang sayembara KiboCUBE pada 2018.
KiboCUBE diselenggarakan Kantor PBB Urusan Luar Angkasa (UNOOSA) bersama Badan Eksplorasi Antariksa Jepang (JAXA). KiboCUBE memberi kesempatan bagi lembaga pendidikan atau penelitian dari negara berkembang anggota PBB untuk mengembangkan dan memproduksi satelit kubus. Setra mengungkapkan, informasi tentang KiboCUBE mereka peroleh saat meriset cara mendapatkan slot peluncuran satelit. Pemenang KiboCUBE mendapat slot peluncuran satelit dari modul eksperimen JAXA di ISS, Kibo.
Sejak pergelaran KiboCUBE putaran pertama pada 2015, Setra menambahkan, pemenangnya hanya satu proposal. “Kami sudah pasrah ketika pada Juni 2018 diumumkan pemenangnya Mauritius Research and Innovation Council,” tuturnya. Mereka lalu menerima surat elektronik dari penyelenggara yang mengatakan tahun ini banyak proposal bagus dan mempertimbangkan penetapan pemenang kedua. “Pada Agustus, kami dapat kabar menjadi pemenang kedua,” ucap manajer proyek di PT Pasifik Satelit Nusantara itu.
Setelah ditetapkan sebagai pemenang KiboCUBE, tim mendapat bimbingan dari JAXA. “Dari teknik pembuatan satelit, spesifikasi satelit, desain, elektronika, hingga lainnya,” kata Setra. Wahyudi menambahkan, kurang-lebih 27 modul harus dilalui tim, dari fase perencanaan, pengembangan, sampai keselamatan. “Yang terutama keamanan karena satelit ini akan ditempatkan di ISS yang ada astronautnya,” ucapnya. Menurut dia, persyaratan Jepang ini lebih ketat. “Dua kali lipat lebih ketat dari India atau Eropa,” Setra menjelaskan.
Wahyudi mengaku memiliki cerita tentang ketatnya persyaratan tatkala tim menyerahkan SS-1 kepada JAXA. Ternyata SS-1 tak bisa masuk ke pelontar (J-SSOD). “Spesifikasi pelontar yang diperoleh dulu tolerasinya 4 mikron, sedangkan yang dikasih yang sekali pakai dengan toleransi 2 mikron,” tuturnya. Tim menelepon anggota staf Wahyudi untuk meminta asistensi. Beruntung, solusi yang ditawarkan tim dengan memangkas kelebihan struktur tanpa meninggalkan residu diterima JAXA. “Mereka menelepon sambil menangis karena kalau tak selesai hari itu mereka bawa pulang SS-1 dan proses dari awal lagi,” ujar Wahyudi.
Pengalaman seperti itu, kata Wahyudi, tidak akan didapatkan tim jika tidak menjalaninya. Wahyudi mengaku mereka mengalami hal yang sama. Setiap kali mereka mengirim satelit ke tempat peluncuran, ada saja masalah teknis yang terjadi. Masalah itu harus terselesaikan di tempat kalau mereka tidak mau pulang dengan membawa kembali satelit. “Peluncur tidak mau persyaratan mereka tidak diikuti. Kalau ada apa-apa, satelit sekecil itu akan merusak satu roket peluncur yang harganya miliaran dolar,” ucap Wahyudi, yang meraih gelar doktor teknologi luar angkasa dari Technische Universität Berlin pada 2020.
Kini SS-1 sudah berada di orbit bumi rendah pada ketinggian 380-420 kilometer di atas permukaan bumi. “Sekarang kami dalam tahap commissioning untuk melihat apakah satelitnya sehat, berfungsi sesuai dengan desain,” kata Setra. Bagi Wahyudi, setelah satelit diluncurkan, diterimanya data telemetri sudah melegakan sekali karena artinya antena sukses dikembangkan. “Anak-anak masih mengkaji data telemetri ini dari stasiun bumi di Cikarang. Yang penting kan mendapatkan data untuk proyek selanjutnya,” ujar Wahyudi.
Wahyudi menambahkan, ketika SS-1 sukses diorbitkan, ia meminta Setra dan kawan-kawan menikmati hasil kerja itu. “Sekarang mereka ditawari beasiswa untuk sekolah lanjutan. Bahkan ada juga yang menawarkan bikin satelit lagi,” ucap Wahyudi. “Saya senang. Karena dulu kan waktu kita bikin satelit pertama kali di Jerman bercita-cita bisa mengembangkan sendiri satelit di dalam negeri.” Wahyudi ingin mendorong anak-anak muda membuat satelit. “Mulai ada startup yang bikin satelit. Kami dorong dan bantu mereka, biar nanti tumbuh yang lain.”
Saat ditanyai apakah akan ada SS-2, Setra menjawab mungkin institusi pengembangnya akan berbeda karena mereka bukan lagi mahasiswa Universitas Surya. “Syukur-syukur kalau memang ada kesempatan di misi berikutnya. Kami memang masih mencari sembari meng-upgrade diri karena kami menyadari kekurangan kami,” tuturnya. “Kalau memang ada misi berikutnya, aku pribadi sebagai pemimpin proyek akan mengajak tim yang sama, karena kami sudah melalui bagian yang sangat sulit.”
Setra mengakui ilmu dari pengembangan SS-1 sangat berguna dalam pekerjaannya. “Aku di SS-1 banyak berperan di elektronika. Ketika sekarang ada satelit yang mengalami masalah elektronika, aku tahu kemungkinan masalahnya di mana dan harus cek yang mana saja,” ucap Setra, yang kini memegang proyek satelit multifungsi Satelit Republik Indonesia (Satria). “Satria menyediakan akses Internet ke 150 ribu titik, seperti klinik, sekolah, lembaga pemerintah di daerah yang belum mendapatkan akses kabel serat optik."
Hery Steven Mindarno, anggota tim SS-1 yang kini menjadi manajer proyek di startup Netra, mengakui hal yang sama. Netra, Hery menerangkan, adalah penyedia Internet untuk segala (IOT) berbasis satelit dan seluler yang berdiri pada 2020. “Di SS-1 bagianku menangani perangkat keras, seperti struktur, rekayasa mekanik, dan pengujian. Di Netra sama, aku juga yang menyeleksi material apa bisa dipakai untuk space,” kata Hery saat dihubungi, Rabu, 8 Februari lalu.
Hery mengungkapkan, ia memang mengambil jalan berbeda dengan empat rekannya yang lain yang bekerja di Pasifik Satelit Nusantara. “Soalnya aku lebih suka buat perangkat keras, jadi terjun langsung ke manufaktur,” tuturnya. “Di Netra ini kan membuat alatnya, produksi dan pengujiannya di dalam negeri, jadi total kandungan dalam negerinya tinggi. Kami mulai dari pembuatan aplikasi IOT dulu, karena itu yang paling booming saat ini,” ujar alumnus Program Studi Teknik Fisika Universitas Surya tersebut.
Netra, Hery melanjutkan, sejak 2021 bekerja sama dengan startup India, Antaris. Netra membuat muatan (payload) IOT untuk dipasang di satelit Antaris yang akan diluncurkan pada akhir bulan ini. “Sensor kami untuk deteksi dan pelacakan kapal laut. Ke depan akan kami sambungkan untuk pelacakan posisi ikan, juga keadaan darurat,” katanya. “Kami juga bekerja sama dengan BRIN untuk memasang sensor di satelit A-4 yang sedang dibuat.”
Wahyudi membenarkan kabar bahwa satelit A-4 saat ini dalam tahap finalisasi. “Harapannya akhir tahun ini sudah siap diluncurkan,” tuturnya. “Kami sedang bernegosiasi untuk peluncuran satelit itu dengan India, memastikan harinya saja. Masalahnya, antrean peluncuran itu panjang. Gara-gara pandemi Covid-19, banyak sekali peluncuran satelit yang ditunda,” ucapnya. Misi A-4 akan mirip dengan LAPAN A-3 yang sudah mengorbit selama tujuh tahun. “Ini lebih maju. Lebar gambar kameranya dua kali A-3 sehingga bisa memantau Indonesia lebih luas.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo