Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Goenawan Mohamad, esais, penyair, pendiri Tempo merambah litografi dan intaglio.
Pameran tunggal Goenawan Mohamad di Ubud, Bali, bertajuk Kitab Hewan.
Ulang-alik dunia realitas dan simbol.
WALAUPUN Goenawan Mohamad, 82 tahun, mengungkapkan sendiri bahwa tahap ciptanya kali ini mungkin semacam nostalgia, sejumlah karya intaglio dan litografinya di Sika Gallery, Gianyar, Bali, justru menunjukkan capaian seni rupa yang tak biasa. Karya hitam-putihnya terasa sangat sugestif, menghamparkan renungan di tiap judul. Renungan multilapis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama kurang-lebih sepuluh bulan, sejak pertengahan 2022 hingga awal 2023, Goenawan melakukan residensi di Devfto Printmaking Institute, Ubud. Berkolaborasi dengan master printer Devy Ferdianto, lahirlah pameran tunggal ke-11 bertajuk “Kitab Hewan” (A Book of Beasts). Dikuratori Wahyudin, ia menghadirkan 35 karya intaglio dan litografi berukuran 44 x 58,5 sentimeter, 40 x 30 sentimeter, dan 20 x 30 sentimeter dalam format artist book serta lepasan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kitab Hewan" yang berisi 15 karya intaglio mengelaborasi aneka rupa hewan beserta pilihan komposisi dan gradasi warnanya yang mengundang imajinasi, antara lain badak, monyet, ikan, kodok, serta sebuah lanskap di bawah awan dan sepetak rumah di Bromo. Adapun 20 karya lain mengetengahkan potret binatang berikut sosok-sosok pilihan yang hadir tidak sepenuhnya harfiah dan cenderung menyarankan dunia simbolis atau metaforis.
Dalam sentuhan teknik intaglio (cetak dalam) dan litografi (cetak datar), Sang Ilmuwan, Bhima Swarga, Badut, Zhuang Zhou di Bukit, dan Seorang Pemabuk di Sudut Sanur tidak hanya mengemuka sebagai sosok, tapi juga pokok. Mereka tertaut dengan kisah lain, semisal wiracarita Mahabharata (Bhima Swarga), histori Zhuang Zhou, atau kelindan nilai kehidupan (Badut dan Seorang Pemabuk di Sudut Sanur). Sekaligus menyiratkan betapa labirinnya kenyataan yang membanjiri keseharian kita dengan aneka rupa rekaan virtual.
Bhima Swarga
Saya melihat pameran "Kitab Hewan" adalah cermin kehadiran Goenawan Mohamad dengan dunia ciptaannya yang lintas batas. Sejumlah subyek visual grafisnya adalah hewan-hewan tertentu dan sosok-sosok yang secara olahan estetis menegaskan ragam stilistik seorang penyair dengan daya gugah puitiknya yang mengesankan. Saya merasa keautentikan karya dalam pameran ini tidak hanya tecermin pada capaian indah rupanya, tapi juga mengundang pemirsa untuk menautkannya dengan keberadaan Goenawan Mohamad sendiri sebagai sosok esais dan penyair yang ulang-alik antara realitas dan dunia simbol.
Tidaklah satu kebetulan, di tengah para hewan yang metaforis itu, perupa yang telah menyelenggarakan sebelas pameran grup (di Malaysia, Jakarta, Yogyakarta, Semarang, Magelang, dan Bali), dan dua pergelaran duo (dengan perupa Hanafi dalam "57 x 76" di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, dan Komaneka Art Gallery, Bali) ini menampilkan kisah salah seorang ksatria Pandawa, yakni Bhima Swarga. Kisahnya adalah ketika Bhima melepaskan leluhurnya dari neraka dan membawanya menuju surga.
Secara seketika kita dapat merujukkan karya litografi itu dengan tulisan Goenawan Mohamad yang juga bertajuk "Bhima Swarga" di akun Facebook-nya. Sebagaimana Catatan Pinggir dan esai-esai bernas lain, melalui tokoh pewayangan ini pembaca (pemirsa) turut berkelana bukan hanya merunut perjalanan Bima yang penuh rintangan ke swargaloka. Pembaca juga ditarik untuk merefleksikan pembangkangan Bhima itu dalam perspektif “pemberontakan metafisik” seturut pemikiran Albert Camus yang mereka cipta kisah mitologi Yunani, Sisyphus.
Sang Ilmuan
Goenawan menulis, “Pembangkangan ini lebih radikal ketimbang pemberontakan para budak kepada majikannya. Sang 'pembangkang metafisik' tak hanya menolak ketidakadilan sosial. Ia frustrasi (frustré) oleh semesta alam dan hidup yang diciptakan-Nya.” Secara maknawi, Bhima Swarga juga membawa ingatan kita pada puisi Goenawan bertajuk “Tentang Usinara”, petikan kisah yang dituturkan oleh Resi Bhisma di hadapan para Pandawa dan Kurawa menjelang perang Bharatayudha. Puisi itu ditutup dengan baris “Ia tahu kahyangan adalah cerita yang belum jadi.”
Karya-karya intaglio dan litografi Goenawan lain pada hakikatnya mengada-makna dengan cara itu. Dunia metaforis yang senyap dan hening dari hewan-hewan serta sosok-sosok terpilih tersebut memperkaya kemungkinan pemaknaan, seiring dengan pembacaan kita atas puisi-puisi penyair yang lahir di Batang, Jawa Tengah, 29 Juli 1941, ini. Lihat saja gambar etching Orang di Jendela, di mana seekor burung berhadapan muka dengan seseorang. Secara visual begitu tak berjarak, walau mengesankan juga kedekatan mereka yang belum tentu akrab. Gambaran ini mendekati pernyataan Goenawan mengenai mengapa karya-karya pada pameran "Kitab Hewan" ini tercipta, yakni atas dorongan rasa bersalah karena sewaktu kecil dengan gegabah menembak mati seekor burung.
Karya Orang di Jendela itu pula mengingatkan saya akan kedalaman suasana puisi-puisi Goenawan, misalnya “Pada sebuah Pulau”, “Tigris”, “Tentang Maut”, dan “Di Sebuah Ladang”. Ada suasana gamang atau sesuatu yang mengesankan sebagai “ruang
kosong imajinasi”, di mana pembaca digugah untuk meragukan, mempertanyakan, atau sekaligus memperluas medan tafsirnya.
Badak dkk
Karya litografi berjudul Sang Ilmuan bolehlah diresapi bersama karya etching Masa Depan Wajah. Sebagaimana banyak didedahkan dalam esai-esainya, Goenawan kerap terpanggil untuk bersikap kritis terhadap peran dan sosok cendekiawan, intelektual, akademikus, serta sejenisnya. Sang Ilmuwan digambarkan sebagaimana burung berparuh panjang; satu gambaran ironi akan kaum cerdik pandai yang kadang cerdas tapi bisa tergelincir menjadi culas dan cerdik serta mudah beralih menjadi licik. Sikap kritisnya itu juga bagian dari mulat sarira-nya; satu upaya otokritik yang melihat bagaimana masa depan peran dirinya, sebentuk lecut diri bahwa “kerja cipta belum selesai”.
Bagi master printer Devy Ferdianto, residensi dan kolaborasi Goenawan Mohamad di Devfto Printmaking Institute adalah suatu peristiwa berharga. Sebagaimana pameran-pameran seni grafis lain yang diadakan institusinya di Bali, "Kitab Hewan" adalah sebuah momentum yang diharapkan dapat mewarnai dunia seni rupa di Bali dan nasional. Secara historis pun karya-karya seni grafis, intaglio, dan litografi telah menjadi bagian dari dinamika seni rupa di Bali sedini masa kolonial dulu. W.G. Hofker, seorang seniman lukis kelahiran Belanda pada 1902, misalnya, mengabadikan figur-figur manusia Bali dan pemandangan alamnya yang elok dalam karya intaglio, etching, dan drawing, yang dibukukan dengan judul Bali as seen by Willem Hofker (1978).
Ikan
Mengutip pernyataan Goenawan, kurator Wahyudin dalam pengantar kuratorialnya menyatakan: "beauty is the celebration and the joy of the unexpected” (keindahan adalah perayaan ketakterdugaan). Di tengah era disrupsi yang tak jelas arahnya kini, karya Goenawan Mohamad menyapa dengan permenungan dan ketakjuban pada hidup.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo