MISTERI musibah Hercules C-130H Pakistan-1 seperti ikut terkubur bersama jasad Presiden Zia Ul-Hak. Tiga tahun telah lewat, namun biang keladi kecelakaan pesawat kepresidenan Pakistan itu tetap tak terkuak. Dugaan sabotase tetap sama lemahnya dengan perkiraan kerusakan mesin. Ketika itu, 17 Agustus 1988, Zia Ul-Hak berada di Pangkalan Militer Bahawalpur, seusai menyaksikan demonstrasi penembakan tank-tank Abram Pakistan, yang baru dibeli dari Amerika. Zia didampingi Jenderal Akhtar Abdul Rahman, panglima angkatan bersenjata, Duta Besar Amerika Arnold Raphel, dan Brigjen. Hebert Wasson, ketua misi bantuan militer AS di Pakistan. Menjelang sore, pesawat kepresidenan ini bertolak menuju Islamabad, dengan didampingi sebuah Hercules, Cessna, dan pesawat jet kecil. Tapi iring-iringan pesawat itu tak berlangsung lama. Pesawat Zia tiba-tiba oleng, lalu menukik tajam. Saksi mata mengatakan, Pakistan-1 itu sempat berputar bak gasing, sebelum dia terhempas ke tanah gurun, meledak, dan terbakar. Zia, Jenderal Athtar, dan tamu Amerika-nya tewas seketika. Jenasah mereka hangus, dan sulit untuk dikenali. Kejadian itu berlangsung enam menit setelah pesawat Hercules itu tinggal landas, 16 km dari Pangkalan Bahawalpur. Ghulam Ishak pun mengambil kepemimpinan sementara Pakistan, dan membentuk sebuah tim penyelidik. Setahun kemudian, laporan tim yang berupa buku setebal 365 halaman itu bocor ke luar. Di situ disebutkan, mula-mula tim itu mencurigai adanya ledakan bom sebelum pesawat jatuh. Namun, kecurigaan itu gugur, sebab reruntuhan pesawat ini tersebar pada radius yang kecil. Tim penyelidik yang dibantu ahli-ahli Lockheed, sebagai produsen Hercules, berkesimpulan bahwa ledakan pesawat itu terjadi di darat, karena benturan. Teori tembakan rudal pun dikesampingkan. Sebab tim penyelidik tak menemukan bekas-bekas lelehan aluminium pada dinding pesawat, yang menandai adanya luka tembakan. Maka, prasangka pun merembet ke mesin pesawat. Lagi-lagi, dugaan itu lemah. Tim mendapat bukti, dari bentuk lekukan baling-baling, bahwa mesin bekerja normal sampai pesawat itu menubruk tanah. Soal bahan bakar mendapat giliran berikutnya. Tanki pengisi bahan bakar, yang segera diamankan setelah musibah, diperiksa. Di situ tak ditemui adanya kontaminasi oleh cairan lain yang bisa mengganggu pembakaran. Lalu, pompa bahan bakar menjadi sasaran pemeriksaan berikutnya. Sama saja. Pompa disimpulkan bekerja normal, sampai musibah terjadi. Maka, sampailah kecurigaan tim itu pada sistem kontrol, penggerak sirip-sirip pesawat. Namun, untuk menudingnya pun tak gampang. Hercules punya tiga buah sistem kontrol, dua buah digerakkan sistem hidrolis, dan satu lainnya secara mekanis, dengan kawat. Kalau satu rusak, pilot punya kesempatan dengan dua yang lain. Tapi, lagi-lagi, tim penyelidik itu harus kecele. Tak ada kemacetan, ganjelan, atau jepitan. Akhirnya, tim itu menemukan percikan bahan PETN (pentaerythritol tetranitrat), bahan yang mudah meledak, pada badan pesawat. Lantas dibuat skenario: bahan PETN itu dipakai untuk meledakkan tabung yang berisi racun tak berbau, untuk melumpuhkan pilot. Tapi skenario itu dianggap isapan jempol belaka. PTH
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini