Hercules TNI-AU yang jatuh di Condet itu baru saja diganti salah satu propelernya. Mesinnya bagus. Musibah itu sangat misterius. SERPIHAN, puing, dan reruntuhan Hercules C-130H TNI-AU telah bersih dari lokasi bencana, pelataran Balai Latihan Kerja (BLK) Las di Condet, Jakarta Timur. Semuanya diangkut dengan truk militer ke Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. "Puing-puing itu semua akan diteliti, untuk mencari penyebab kecelakaan," kata KSAU Marsekal Madya Siboen. Panitia Penyelidik Kecelakaan Pesawat Terbang (PPKPT) memang telah dibentuk, tiga hari setelah musibah. Tim itu diketuai Marsekal Pertama Eko Suwaryo, Wakil Panglima Komando Operasi TNI-AU Wilayah Barat. Ini agak istimewa, sebab Ketua PPKPT biasanya seorang berpangkat kolonel. "Kami amat serius menangani musibah ini," ujar Marsekal Pertama Pandu Mardanus, Kepala Dinas Penerangan TNI-AU. Hasil pemeriksaan PPKPT belum sepotong pun diumumkan ke pers. "Masih terlalu dini," kata Marsekal Madya Siboen, usai acara tahlilan untuk para korban musibah itu di hanggar Skadron 31 Halim, Kamis malam pekan silam. Pandu Mardanus, yang punya brevet penerbang itu, menolak pula memberikan analisa soal musibah Hercules ini. "Nanti malah mengacaukan proses penyelidikan," katanya mengelak. Namun, di sela-sela acara tahlilan itu, sejumlah penerbang berbisik-bisik mendiskusikan musibah yang terjadi di hari ABRI 5 Oktober 1991, yang menelan korban 133 jiwa personel TNI-AU serta dua orang sipil. "Musibah semacam ini sangat jarang terjadi," ujar seorang penerbang. Alasanya, kejadian itu begitu tiba-tiba dan oleh sebab yang dianggap amat misterius. Pilot Mayor Syamsul Aminullah dan Kopilot Kapten Bambang Soegeng, keduaya gugur, menerbangkan Hercules A-1324 nahas itu dari Pangkalan Udara Halim sekitar pukul 14.45. Sesuai dengan standar perawatan di TNI-AU, dua jam sebelum pesawat itu terbang, dilakukan pemeriksaan. "Tak ditemukan kerusakan apa pun," kata Letkol. Penerbang Prasetya, Komanan Skadron 31 Halim. Menjelang jam pemberangkatan, Mayor Syamsul dan Kapten Bambang pun melakukan pengecekan ulang. Suhu mesin, tekanan di tanki bahan bakar, tekanan oli, sistem mekanik kemudi, kompresor udara, kompresor mesin, roda, dan pintu-pintu, termasuk item yang diperiksa pilot. Pengecekan dilakukan lagi selama Hercules menggelinding di taxiway. Bahkan, masih ada pemeriksaan akhir di ujung landasan pacu, selama enam menit, sebelum pesawat melesat. Dari serangkaian pemeriksaan itu, Syamsul dan Bambang rupanya tak menemukan keanehan apa pun, termasuk pada keempat mesinnya. Maka, pilot melapor ke menara Halim Perdanakusuma, mengatakan siap terbang. Dan setelah ada lampu hijau dari petugas menara, Hercules berseri A-1324 itu berlari di sepanjang landasan pacu, ke arah barat daya. Hercules bukan tipe pesawat yang butuh runaway panjang. Maka, belum mencapai separuh landasan yang 3.000 meter, burung besi itu sudah melesat di udara, airborne. Beberapa detik kemudian, Hercules nahas itu memutuskan hubungan radio dengan menara Halim. "Pesawat itu mengubah frekuensinya ke approach tower," kata Drajat Sumadilaga, penjabat bidang operasi Bandar Udara Halim. Belum sempat melakukan kontak dengan approach tower di Bandara Soekarno-Hatta, Hercules itu telah menghadapi problem serius. Seperti disaksikan seorang bintara penjaga Pangkalan Udara Halim, burung besi yang tampak perkasa itu seperti sulit mendaki. "Terbangnya berat," katanya. Dia mengaku sempat melihat asap hitam mengepul dari kedua mesin yang ada di bawah sayap kiri. Sesudah itu, dia lenyap dari pandangan. Ternyata, si burung besi itu jatuh menimpa bangunan BLK Las di Jalan Condet Raya yang, kalau ditarik garis lurus, hanya berjarak 3,3 km dari ujung landasan. Kalau dihitung dari titik lepas landasnya, pesawat itu baru mengarungi jarak sekitar 5 km. Posisi jatuhnya pesawat menyamping agak ke kiri dari garis imajiner yang menjadi kepanjangan runaway. Kenyataan itu menimbulkan spekulasi, pesawat itu mencoba membelok ke kiri dan berputar untuk kembali ke Halim. Alasannya, ada kerusakan mesin. Namun, spekulasi itu ditolak oleh salah seorang penerbang TNI-AU. Kalau pesawat Hercules itu membelok pada saat sedang terbang mendaki, apalagi ada kerusakan mesin, daya angkat mesin akan menyusut drastis. Pesawat pun bakal anjlok. "Semua penerbang tahu hal ini," katanya. Penerbang senior itu yakin betul, pilot mempertahankan arah pesawat segaris dengan landasan pacu, tanpa berbelok. Pilot pun tahu ada satu atau dua mesin yang ngadat. Dia pun mencoba menaikkan kecepatan dengan mesin yang ada, agar diperoleh daya angkat lebih besar. Namun, ikhtiar itu gagal. "Paling tidak, dua mesin yang tak bekerja," ujarnya. Akibatnya, pesawat tak bisa mempertahankan kecepatan minimal, untuk tetap bisa mengambang. Kecepatan minimal di kala Hercules itu terbang menanjak, ada yang bilang sekitar 120 knot (216 km per jam). Tapi kabar yang beredar di Pangkalan Halim mengatakan, Hercules itu jatuh dua menit setelah airborne. Kalau angka itu benar, berarti kecepatan rata-ratanya cuma sekitar 150 km per jam. Ini bisa terjadi kalau daya dorong mesinnya tiba-tiba anjlok pada menit pertama. Berapa pun angkanya, menurut sumber TEMPO itu, pesawat itu tak mampu mencapai kecepatan minimal. "Akibatnya, dia mengalami stall, kehilangan daya angkat dan jatuh," katanya. Gangguan mesin itu pula, kata penerbang yang enggan disebut namanya ini, menyebabkan arah terbang pesawat tak bisa lurus. Posisi jatuhnya memang menyerong 15 derajat terhadap garis runaway, dihitung dari titik airborne. Ini memperkuat dugaan bahwa mesin kiri pesawat yang tak berfungsi. Rumusnya, "Kalau mesin kiri rusak, momentumnya mengarah ke kiri. Begitu pula sebaliknya," ujar pilot Hercules itu. Dugaan hahwa mesin kiri Hercules itu ngadat membuat Letkol. Pnb. Prasetya, Komandan Skadron 31 Halim, tak habis pikir. Sebab, 24 jam sebelumnya, dia membawa Hercules itu terbang dari Bandung ke Jakarta. "Saya tak melihat ada kerusakan apa pun," katanya. Bahkan mesin nomor dua, posisinya lebih dekat ke bodi, baru diganti propelernya. Selama di udara, "Saya sempat mematikan dan menyalakan lagi mesin itu. Tak terasa ada kerusakan," ia menuturkan. Tentang tindakan pilot yang langsung mengubah frekuensi radio menara Halim ke Cengkareng pun, bagi Prasetya, bukan kesalahan. Kalau memang lalu lintas lapangan terbang sepi dan cuaca bagus seperti sore nahas itu, pilot boleh meminta izin untuk mengubah frekuensi radio. Biasanya diizinkan. Di saat lalu lintas ramai, menara memang diperlukan. "Untuk memberi kode kapan pesawat boleh membelok, misalnya," kata Prasetya. Prasetya menolak menduga-duga biang keladi kerusakan mesin. Dia menampik pula jika ada tuduhan bahwa perawatan pesawat seharga US$ 20 juta itu dilakukan sembarangan. Skadron 31, menurut Prasetya, termasuk yang terbaik dalam soal perawatan, bahkan sering menjadi juara Kambangja (Keamanan Penerbangan dan Kerja) yang diperlombakan di antara seluruh skadron TNI-AU. Selama lima tahun terakhir ini, "Skadron 31 menjadi juara 3 kali," ujar Prasetya, sembari menunjuk piagam penghargaan yang menempel di tembok hangar. Sabotase? Pandu Mardanus mencak-mencak mendengar dugaan semacam itu. "Penjagaan di sini ketat," katanya. Selain dijaga oleh personel TNI-AU, daerah hangar itu diawasi oleh regu-regu anjing terlatih. Kelebihan muatan juga dianggap bukan penyebab. Hercules ini punya mesin berkapasitas 4.900 tenaga kuda, dan mampu membawa beban sampai 17 ton. Ketika terjadi musibah, muatannya hanya sekitar 8 ton. Kerusakan mesin itu, secara teoretis, bisa terjadi oleh pelbagai sebab, di antaranya kerusakan kompresor udara, atau sistem pemasokan bahan bakar. "Tapi akan aneh kalau gangguan semacam itu luput dari pemeriksaan yang berlapis itu," ujar sumber TEMPO yang penerbang Hercules itu. Putut Trihusodo dan Ivan Harris (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini