Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Selain menghasilkan madu, peternakan di Maribaya, Lembang, Jawa Barat, menjual koloni lebah madu untuk penyerbukan tanaman pertanian.
Jika luas lahan pertanian mencapai 1 hektare, jasa penyerbukan dengan lebah madu bisa dipakai.
Tanpa penyerbukan lebah, dari 100 bunga hanya bisa dihasilkan 40 buah, sementara dengan penyerbukan lebah bisa 70 buah.
LEBAH-LEBAH pekerja jenis Tetragonula laeviceps alias teuweul alias klanceng terlihat sibuk di pagi yang cerah, Ahad, 21 Mei lalu. Lebah madu tanpa sengat itu tampak terbang keluar-masuk sarangnya melalui lubang kecil yang hanya muat untuk seekor lebah. Sarang koloni lebah itu berada di dalam rumah perangkap berupa ruas bambu seukuran termos. Rumah-rumah itu digantung pada tiga tiang seperti gawang sepak bola, setiap tiang berisi 11-20 potongan bambu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada juga sarang lebah jenis lain, Apis cerana atau lebah madu Asia, berupa kotak kayu seukuran kardus air minum kemasan yang ditopang meja berkaki satu. Terdapat selusin kotak koloni lebah di peternakan lebah Madu Maribaya Legend Bee atau Sari Alam di Desa Langensari, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, ini. Pada kotak yang terbuka, terlihat empat lapis atau sisir sarang berwarna kuning terang yang dirubung lebah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koswara, pemilik dan pengelola peternakan lebah di pinggir jalan Maribaya, sekitar 100 meter dari pintu masuk kawasan Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, itu, menyewa lahan seluas 400 meter persegi untuk budi daya lebah madu tersebut. Pria 43 tahun itu juga memiliki peternakan lebah lain yang berlokasi dekat dengan penangkaran rusa, berjarak sekitar 2,3 kilometer. Total ia memiliki 300 rumah T. laeviceps dan sekitar 50 kotak A. cerana.
Bisnis budi daya lebah madu itu ia geluti sejak 2000. Tiga tahun sebelumnya, Koswara merintis usaha berjualan madu alam hasil berburu sarang lebah di sekitar hutan Maribaya. Ia mengikuti jejak paman dan kakaknya. Usaha sampingan itu ia jalani untuk menambal gajinya sebagai tenaga honorer. Bagi Koswara, yang kini menjadi pegawai negeri di Dinas Perindustrian Kabupaten Bandung Barat, madu ikut menyelamatkan ekonomi keluarganya di masa krisis.
Kotak sarang lebah madu Apis cerana milik Koswara di Maribaya, Lembang, Bandung, Jawa Barat, 21 Mei 2023. Tempo/Anwar Siswadi
Koswara, yang hadir dalam acara dialog yang diselenggarakan Perhimpunan Entomologi Indonesia Institut Pertanian Bogor (IPB University) dan Asosiasi Perlebahan Indonesia untuk memperingati Hari Lebah Sedunia 20 Mei, bercerita, ketika ia masuk hutan, dua-tiga sarang mudah dijumpai dalam radius 200-300 meter. Sebagian sarang itu diambil untuk pembeli yang sudah menunggu madu asli. Koswara berpikir, bila sarangnya terus diambil, lebah liar bisa punah. Akhirnya ia memutuskan membudidayakan lebah.
Kini lokasi budi daya tersebar di delapan titik, bekerja sama dengan masyarakat di pinggir hutan. Lokasinya di Desa Cibodas, Bukit Tunggul, Vila Paniisan Cipanengah, Buniwangi, Pagerwangi, Gudangkahuripan, dan Cibodas. Awalnya, Koswara dan tim membuat kajian potensi lebah dan sumber pakan. “Kami masuk daerah hutan,” kata Koswara, Sabtu, 20 Mei lalu. Kemudian ia mengajak warga sekitar hutan membudidayakan lebah. Peminat diberi edukasi dan kotak yang sudah terisi koloni lebah dari area setempat.
Dari 5-10 kotak sarang, jumlahnya kini terus berkembang. Hasil panen madunya kemudian Koswara beli seharga Rp 200 ribu per kilogram. “Mereka bukan hanya sebagai pemasok madu, tapi sudah menjadi keluarga,” tuturnya. Setelah dikemas, cairan lengket kekuningan nan manis itu dijual seharga Rp 250-750 ribu per kilogram sesuai dengan kualitasnya. Sayangnya, hasil lain seperti polen dan larva belum bisa dikelola.
Selain menjual madunya, sejak lima tahun lalu, Koswara menjual koloni lebah madu kepada petani untuk penyerbukan tanaman. Klien pertamanya petani di Cisarua yang menanam bibit bawang merah dari Wonosobo, Jawa Tengah. “Ketika berbunga, lebah disimpan di situ untuk penyerbukan,” ujarnya. Koswara membawa sepuluh kotak berisi 10-20 ribu lebah A. cerana. Penyediaan jasa serupa berlanjut ke Balai Penelitian Tanaman Sayuran di Cikole.
Adapun yang terbaru, sekitar tiga tahun lalu, perusahaan yang membudidayakan 47 jenis alpukat di Subang, Jawa Barat, secara bertahap membeli 200 koloni lebah T. laeviceps melalui perantara. Koswara mendapat info bahwa hasil penyerbukan dengan lebah telah membuat sebagian pohon produktif berbuah dan hasilnya bagus. ”Dari Januari sampai Desember tidak pernah ada paceklik, per jenis alpukat ada saja yang berbuah setiap bulan,” katanya.
Harga jual lebah T. laeviceps untuk penyerbukan Rp 250 ribu per ruas bambu, sementara A. cerana Rp 350 ribu per kotak. Jika koloninya bagus dan menghasilkan banyak madu, semuanya ikut dihitung. Dari lebah T. laeviceps, misalnya, harga madu per kilogram dipatok Rp 750 ribu. Kalau ditambah kotak dan ongkos kirim, harganya berbeda. Keuntungan Koswara berkisar Rp 100-200 ribu per koloni dengan jumlah minimal pembelian sepuluh koloni.
Koswara mengaku tidak bisa melayani permintaan lain karena beberapa alasan. Misalnya jumlahnya kurang dari batas minimal, pembeli meminta diantarkan, atau harus mengontrol koloni setiap minggu. Alasan lain adalah lokasinya dinilai tidak cocok. Contohnya rumah kaca seluas lapangan sepak bola untuk budi daya apel India di Subang dan stroberi Jepang seluas 400 meter persegi. “Karena di ruangan tertutup, bisa jadi setelah penyerbukan lebahnya jadi punah,” tuturnya.
Koswara mengaku tidak setuju terhadap cara pemanfaatan lebah seperti itu. Secara halus dia menolak dengan mematok harga yang mahal supaya calon pembeli mundur. Sebelum bertransaksi, ia biasanya menanyakan penyerbukan dilakukan untuk tanaman apa, polanya seperti apa, dan pemberian pestisidanya bagaimana karena bisa ikut mematikan lebah selain hama tanaman. “Kami berprinsip jangan sampai menyakiti lebah karena memberi banyak manfaat,” ujarnya.
Rahmat Panca di Bandung selatan juga memakai jasa lebah untuk penyerbukan di lahan garapannya serta delapan petani lain. Mereka mendapatkan hak lahan garapan dari Perusahaan Umum Kehutanan Negara atau Perhutani seluas 5 hektare di sisi timur Gunung Malabar. Rahmat, 36 tahun, kebagian dua blok seluas 200 tumbak atau 2.800 meter persegi. Lahan itu ditanami kopi, jeruk lemon, dan cabai gendot alias habanero. “Setengah total lahan ditanami kaliandra sebagai pakan lebah,” kata Rahmat, Jumat, 26 Mei lalu.
Menurut informasi yang didapat Rahmat, di hutan itu berkeliaran dua jenis lebah, yakni Apis dorsata atau lebah liar dan A. cerana. Anggota Asosiasi Perlebahan Jawa Barat itu mengaku sejak muda mengenal kedua jenis lebah tersebut karena mengikuti ayahnya berburu madu. Sejak 2006, Rahmat, yang mengaku lulusan sekolah dasar, membudidayakan lebah. “Hasilnya bisa untuk membangun rumah, membiayai sekolah, dan menikahkan anak,” ucap warga Banjaran, Kabupaten Bandung, itu.
Pada 2019, Rahmat mengenal manfaat lebah dalam penyerbukan tanaman. Dia lalu memasang kotak perangkap atau rumah bagi sarang lebah di sekitar lahan tanamannya. Di beberapa lokasi daerah lain pun dia mengenalkan pengetahuan itu kepada para petani. Secara bertahap dia mengenalkan manfaat itu kepada anggota kelompok taninya dengan memamerkan hasil panen di lahannya. “Saya sering melihat lebah-lebah itu hinggap pada tanaman di lahan,” katanya.
Rahmat mengaku hasil panennya meningkat dibanding sebelum memasang rumah lebah. Panen kopi arabika per musim bisa 80-90 kilogram atau hampir dua kali lipat hasil sebelumnya yang hanya 50 kilogram. Adapun jumlah cabai gendot yang rontok jadi berkurang dan produktivitasnya meningkat. “Sepohon bisa menghasilkan 2-4 kilogram dari biasanya empat-lima buah per pohon,” ujarnya. Panen cabai gendot pun bisa berlangsung sebulan sekali.
Kotak atau rumah sarang lebah buatan Rahmat menggunakan kayu limbah peti kemas buah yang dibentuk ulang oleh pekerjanya. Pada setiap musim buah di pasar, ada pengepul yang mengirimkan hingga 800 kotak ke gudangnya. Setelah jadi, kotak-kotak yang masih tercium aroma buahnya itu dibawa ke hutan dalam keadaan kosong alias tanpa terisi lebah.
Ide menggunakan limbah peti kemas buah itu tidak muncul tiba-tiba, melainkan hasil serangkaian percobaan. Rahmat pernah menjajal kotak perangkap dari kayu albasia, suren, dan randu. Aroma getah kayu, bau solar, atau bekas gergajian kayu juga berpengaruh karena baru satu setengah-dua tahun kemudian kotak itu bisa dimasuki lebah. Rahmat mendapat bagi hasil panen madu dari setiap petani binaannya dengan total mencapai 60 kilogram.
Tantangan Rahmat dalam mengedukasi masyarakat mengenai manfaat penyerbukan lebah bagi tanaman adalah sulitnya mencegah warga merambah hutan, terutama pohon kaliandra. Pun ketika ia mengajak petani tidak membabat tanaman liar saat membersihkan atau membuka lahan. Tanaman liar seperti babadotan dan semak yang berbunga merupakan sumber makanan lebah pada musim paceklik. “Disarankan pembersihannya pada bulan ke-10 atau ke-11, ketika musim hujan,” katanya. Selain itu, ia mesti menghentikan pencurian kotak lebah.
Pengajar IPB University, Windra Priawandiputra, mengatakan satwa seperti lebah, kumbang, burung, dan kelelawar tidak hanya mengunjungi bunga, tapi juga membantu penyerbukan. “Tanpa penyerbuk atau pollinator, bunga tak akan jadi buah,” ujarnya, Sabtu, 20 Mei lalu. Polen atau serbuk sari banyak menempel di rambut lebah sehingga sangat efektif untuk penyerbukan. Penyerbuk meningkatkan potensi kesuksesan reproduksi, memperbesar peluang biji menjadi buah hingga 80 persen, serta mempercepat waktu panen.
Agar populasi lebah bertambah, Windra menawarkan konsep rekayasa lingkungan yang mendukung habitat lebah. Menurut Windra, di dekat sarang lebah perlu diberi area seperti hutan atau kebun bunga kesukaan lebah. Sebisa mungkin tanamannya berbunga sepanjang waktu. Konsep itu, Windra menambahkan, masih dalam proses penelitian dengan lokasi di berbagai kebun pertanian.
Sejak dua tahun lalu, sebagian konsep Windra telah dipraktikkan oleh PT Syngenta Indonesia. Menurut Midzon Johannis dari PT Syngenta Indonesia, perusahaannya menanam aneka bunga yang disukai lebah, seperti tahi ayam (marigold) dan air mata pengantin, di sekeliling lahan petani mitra. Program global yang dinamai Global Operation Pollinator itu dijalankan di 20 lokasi, seperti Lampung, Karawang, dan Lembang. “Kami punya puluhan lahan percontohan untuk belajar petani sepanjang tahun,” ucap Midzon, Sabtu, 20 Mei lalu.
Linda Anggraeni, 33 tahun, salah seorang petani sayur di Kampung Wangsakerta, Desa Cibodas, mengatakan di sekitar lahan kebunnya sejak satu dekade lalu telah ditanami tanaman bunga seperti bunga pacar dan mawar serta tanaman obat keluarga. Setelah kebunnya menjadi lahan percontohan Syngenta, tanamannya bertambah, ada bunga matahari, marigold, dan zinnia. “Selain untuk keindahan, saya baru tahu manfaat tanaman di pinggiran kebun itu buat lebah,” katanya, Sabtu, 20 Mei lalu.
Lahan kebun sayur Linda seluas 2.100 meter persegi yang berada di samping rumah dipenuhi tanaman sayur berdaun, seperti horenzo atau bayam Jepang, lorosa atau selada merah, selada keriting, dan pakcoi. Linda kerap melihat lebah datang ke tanaman bunga. Dia mengaku kurang tahu apakah lebah ikut berperan dalam pertumbuhan tanaman di kebunnya. Setahu Linda, yang masih menggunakan pestisida, hama serangga dan ulat beralih ke tanaman bunga di sekitar kebunnya. “Sayuran hasilnya bagus. Biasanya banyak hama, sekarang mulus,” tuturnya.
Sayuran yang tergolong eksklusif itu, menurut Linda, bisa dipanen sebulan sekali. Setiap panen bisa menghasilkan 1-2 kuintal per jenis sayuran. Sejak ada tanaman bunga di sekitar kebun, kerusakan tanaman sayur akibat hama berkurang. “Biasanya (kerusakan) sampai 30 persen. Sekarang hampir 99 persen mulus,” ujarnya. Hasil panen dijual oleh kelompok tani ke pasar modern, juga ke restoran setempat.
Ramadhani Eka Putra dari Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung (SITH ITB) mengatakan sejauh ini di Indonesia belum ada perusahaan yang secara spesifik menawarkan jasa penyerbukan dengan lebah untuk tanaman. Setahu dia, perusahaan seperti itu berasal dari luar negeri dan menjadi rekanan. Ada juga perusahaan perkebunan kelapa sawit yang menggunakan kumbang kecil untuk membantu penyerbukan. Perusahaan pertanian berbasis ekspor juga membeli lebah karena harus memenuhi kuota buah tertentu.
Berdasarkan hasil riset Ramadhani dan timnya yang berlangsung sejak tiga tahun lalu, bisnis jasa penyerbukan pada tanaman idealnya menggunakan tenaga manusia di lahan kecil atau skala rumah. Biaya jasanya dihitung sesuai dengan ongkos buruh tani, yakni Rp 80 ribu per hari. Jika luas lahannya mencapai 1 hektare, jasa penyerbukan lebah bisa dipakai. “Lebah terbaik sebetulnya yang ada di alam, bukan yang dibudidayakan,” kata pengajar di Kelompok Keahlian Manajemen Sumber Daya Hayati SITH ITB itu.
Dari hasil riset itu diketahui pula bahwa lebah yang aktif bisa membuat pohon rambutan dan alpukat, misalnya, terus berbunga. Selain itu, rasa buahnya menjadi lebih manis, ukurannya lebih besar, dan masa simpannya lebih panjang. “Dari biasanya hanya dua hari jadi empat-lima hari,” ucap Ramadhani. Penyerbukan dengan lebah itu pun bisa membuat 100 bunga menghasilkan 70 buah, sementara jika tanpa penyerbukan lebah hanya 40 buah. Penggunaan pupuk pun menjadi lebih irit.
Temuan lain dari riset Ramadhani adalah terdapat sekitar seratus tanaman yang cocok dengan penyerbukan lebah, antara lain alpukat dan kopi. Dengan penyerbukan lebah, menurut Ramadhani, sebanyak 20-100 persen bunga akan menjadi buah. Pada alpukat, kebutuhannya 80-100 persen. “Artinya, kalau tak ada penyerbukan lebah, peluangnya untuk jadi buah 0-20 persen,” tuturnya. Penyerbukan lebah, dia menambahkan, menjadi solusi untuk menyediakan buah setiap waktu.
Ramadhani mengatakan peternak lebah atau asosiasinya berpeluang menjadikan jasa penyerbukan dengan lebah sebagai bisnis selain berjualan madu. Di Indonesia, dia melanjutkan, skema penyewaan lebah lebih cocok ketimbang penjualan lebah. “Lebahnya bisa tidak diurus oleh pembeli setelah penyerbukan,” ujarnya. Dia memperkirakan dalam dua-tiga tahun ke depan bisnis penyewaan lebah untuk penyerbukan tanaman pertanian akan berkembang.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo