Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
IHSG dan kurs rupiah terus melemah terkena dampak lesunya ekonomi Cina.
Isu mundurnya Menteri Keuangan memperburuk sentimen negatif di pasar.
Kondisi pasar kurang mengenakkan di awal tahun.
PANASNYA suhu politik dan lemahnya ekonomi Cina membuat sentimen pasar finansial Indonesia memburuk. Kondisi ini bisa berlangsung lama. Biasanya, sentimen di pasar keuangan Indonesia sejalan dengan apa yang terjadi di Wall Street, New York, Amerika Serikat. Terutama jika penggeraknya adalah pergerakan bunga The Federal Reserve.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun situasi pada pekan terakhir Januari ini tak seperti biasanya. Di New York, investor sedang tersengat optimisme. Bahkan, bagi sebagian analis, antusiasme investor sudah irasional. Sebaliknya, di Jakarta, suasana malah makin muram, harga cenderung merosot.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tengoklah pergerakan indeks S&P 500, salah satu patokan penting di pasar New York. S&P 500 terus melonjak, setiap hari mencetak rekor baru dalam enam hari perdagangan terakhir hingga 25 Januari 2024. Pada penutupan perdagangan Kamis itu, S&P 500 mencetak rekor tertinggi lagi sepanjang sejarah di angka 4.894.
Ada banyak kabar baik yang membuat Wall Street sangat bergairah. Data terakhir menunjukkan produk domestik bruto Amerika Serikat tumbuh 3,3 persen pada kuartal keempat 2023. Angka pertumbuhan itu jauh lebih tinggi daripada ekspektasi para ekonom yang disurvei Dow Jones, yang cuma menduga 2 persen. Pergerakan ekonomi yang tetap kuat membuktikan bahwa ekonomi Amerika ternyata kebal, tidak tergencet kenaikan suku bunga The Fed yang sudah naik 11 kali sejak Maret 2022.
Data terakhir yang terbit pada Kamis itu juga mencakup kabar baik tentang inflasi. Jika tidak memasukkan harga-harga makanan dan energi yang mudah bergejolak, tingkat inflasi inti di Amerika Serikat sudah turun menjadi 3,9 persen, jauh di bawah angka inflasi inti per Desember 2022 yang sebesar 5,7 persen.
Sekadar pengingat, The Fed menetapkan target inflasi rata-rata 2 persen sebagai prakondisi untuk menurunkan bunga. Target itu jelas belum tercapai. Namun investor tetap melihatnya sebagai pertanda baik: ekonomi tumbuh relatif tinggi ketika inflasi melambat. Karena itu, Wall Street langsung tersengat sentimen positif: suku bunga The Fed akan segera turun. Data inflasi itu seolah-olah mengatakan tak ada alasan lagi bagi The Fed untuk menunda penurunan bunga.
Sayangnya, sentimen yang amat positif ini ternyata sama sekali tidak menular ke Jakarta. Kurs rupiah, misalnya, terus melemah melampaui 15.800 per dolar Amerika Serikat. Dalam sebulan terakhir, nilai rupiah terhadap dolar Amerika sudah merosot hingga 2,68 persen. Di bursa saham, situasinya serupa. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus turun dari rekor tertinggi 7.359,76 yang tercapai pada awal Januari 2024, menjadi 7.137,08 per Jumat, 26 Januari. Dalam sebulan terakhir, IHSG sudah turun 2,28 persen.
Ada banyak hal yang membuat sentimen pasar di Jakarta menjadi negatif. Memanasnya suhu politik menjelang pemilihan umum tentu turut menjadi penyebab. Isu mundurnya Menteri Keuangan Sri Mulyani, yang berperan penting menjaga kredibilitas kebijakan fiskal agar tetap pruden, juga membuat investor cemas. Kegalauan dari panggung politik itu membuat banyak manajer investasi ataupun investor individu lebih suka mengambil posisi menunggu.
Selain itu, memburuknya ekonomi Cina menularkan pesimisme ke pasar Jakarta. Harga saham terus luruh di sana. Indeks CSI 300 sudah turun lebih dari 40 persen jika dihitung dari puncaknya pada 2021. Adapun indeks Hang Seng China Enterprises telah kehilangan lebih dari 50 persen. Secara keseluruhan, sekitar US$ 6,3 triliun telah menguap dari valuasi pasar saham di Cina dan Hong Kong dalam tiga tahun terakhir. Kurs renminbi pun ikut melorot 1,05 persen dalam sebulan terakhir.
Karut-marutnya pasar finansial akhirnya memaksa People’s Bank of China (PBOC), bank sentral Cina, bertindak. Pada 25 Januari 2024, PBOC menurunkan rasio simpanan wajib perbankan agar lebih banyak likuiditas yang mengalir ke pasar. Harapannya, stimulus itu bisa memulihkan keyakinan investor di Cina. Kondisi ini masih akan berlangsung hingga pemilihan umum usai dan ekonomi Cina menunjukkan pertanda pemulihan. Sebelum muncul pertanda baik itu, pasar finansial di Jakarta tampaknya akan masih berada dalam aura sentimen yang kurang menggembirakan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Sesak Sentimen Buruk Pasar Keuangan"