Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Struktur Otak Penyebab Migrain

11 Juli 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jangan heran bila ada orang yang begitu sering tersengat sakit kepala, sedangkan orang lain bisa anteng karena jarang disiksa sakit kepala atau migrain. Rupanya, pemahaman orang tentang sakit kepala harus diubah. Selama ini, para ahli pun percaya bahwa migrain yang menyiksa selama berjam-jam disebabkan oleh terganggunya fungsi otak. Ternyata, bukan hanya itu. Menurut sebuah penelitian yang dipublikasikan di Nature Medicine edisi Juli dan dilaporkan Reuters, para penderita sakit kepala hebat mempunyai struktur otak yang sama: berat jenis area abu-abu dalam otak yang meningkat. Area abu-abu itu biasa disebut hipotalamus. Struktur yang tidak normal itu terlihat baik selama serangan sakit kepala maupun ketika terbebas dari migrain.

Kesimpulan penelitian yang didanai The Welcome Trust, Inggris, itu diperoleh dari penelitian yang melibatkan 25 penderita sakit kepala dan 29 orang yang sehat. Untuk menguji struktur otak, para peneliti menggunakan teknik baru morfometri.

Kalau penelitian ini diyakini para ahli saraf lainnya, mestinya bukan hanya pemahaman tentang sakit kepala yang harus diubah, tapi juga penanganannya.


Menghindari Amputasi

Amputasi adalah malapetaka. Namun, penderita kanker tulang nyaris tak bisa menghindarinya. Untunglah, para ahli tak pernah berhenti berusaha, sehingga amputasi bisa dihindari penderita kanker tulang yang langka sekalipun, seperti osteosarcoma.

Berikut inilah hasilnya. Seorang bocah penderita osteosarcoma berusia enam tahun tak perlu kehilangan lengannya, setelah sebuah tim medis dari Florida, Amerika Serikat, berhasil mengganti tulangnya, yang harus dibuang, dengan tulang cadaver (mayat). Tulang mayat memang biasa digunakan untuk menyambung tulang pasien yang terpaksa diamputasi. Namun, untuk pertama kalinya, kali ini tulang mayat ini bisa dibuat tumbuh dan berkembang sebagaimana tulang hidup. Alhasil, tulang pasien Rumah Sakit Anak-Anak Joe DiMaggio Memorial, Hollywood, itu kelak akan tumbuh dan berkembang normal sebagaimana mestinya.

Nasibnya sungguh beruntung. Biasanya, dalam penanganan kasus kanker tulang semacam itu, pasien harus merelakan lengannya untuk diamputasi. Kakak perempuan pasien itu, misalnya, yang menderita penyakit sejenis, harus berhadapan dengan pisau amputasi pada 1995.

Bocah yang beruntung itu, sembilan bulan lalu, mulai menjalani kemoterapi untuk menciutkan sel kanker tulang yang sebesar buah anggur. Dipimpin ahli bedah tulang anak-anak, Dr. Michael Jofe, tim bedah membuang tulang atas lengan bagian kanan dan menggantinya dengan tulang serupa dari cadaver. Setelah itu, tulang mayat diberi pelat pertumbuhan dari tulang betis anak. Hal itu dilakukan karena tulang pasien masih muda sehingga masih mengalami pertumbuhan hingga 80 persen. Diharapkan, tulang cangkok itu akan tumbuh bersama tulang asli sang bocah. Ternyata, itu berhasil.

Menurut Reuters Health, akhir Juni lalu, para ahli bedah pasien tersebut menggelar konferensi pers yang mengabarkan bahwa beberapa bulan setelah prosedur awal dilakukan, lengan itu tumbuh sebagaimana mestinya.


Peranti Lunak Penaksir Kanker

Seberapa besar risiko Anda terkena penyakit keturunan? Bertanyalah kepada komputer. Saat ini, sebuah program peranti lunak, yang disebut program RAG, tengah dirancang untuk menaksir risiko genetik suatu penyakit. Berdasarkan riwayat kesehatan keluarga, program itu dapat membantu para dokter mengalkulasi risiko pasiennya menderita penyakit keturunan.

Sejauh ini, para peneliti di Imperial Cancer Research Fund (ICRF), Inggris, telah menguji program itu terhadap 15 doktor dan aktor yang berperan sebagai pasien. Dalam sesi tanya-jawab yang direkam dalam pita video, mereka harus menjawab sejumlah pertanyaan. Hasilnya, menurut Reuters, dilaporkan dalam The British Medical Journal.

Menurut para dokter yang terlibat dalam uji coba itu, program RAG sangat mudah digunakan dan kecepatannya menghasilkan penaksiran sungguh mengejutkan. Cuma, karena program ini segera menyajikan kesimpulan, para dokter merasa tidak enak ketika berhadapan dengan pasien yang dinyatakan berisiko tinggi menderita kanker. "Para dokter melaporkan timbulnya perasaan panik dan ingin menutup layar dari pasien ketika mereka melihat laporan yang menyatakan adanya risiko tinggi terserang kanker muncul di layar monitor," kata Dr. Jon Emery dari ICRF, yang mengevaluasi program itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum