Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia dinilai bukan menjadi opsi strategis. Policy Strategist Cerah Sartika Nur Shalati mengungkap sejumlah alasannya. “Selain karena kondisi geografis yang kurang mendukung, juga mahal,” katanya kepada Tempo, Rabu, 5 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sartika menjelaskan, hasil analisis biaya yang dilakukan oleh Yoesgiantoro dan Nurbaiti pada 2022 silam menemukan bahwa secara finansial PLTN tidak layak dibangun di Indonesia. Harga listrik yang dihasilkan jauh lebih tinggi dibanding harga dasar listrik yang ditetapkan pemerintah. Operasionalisasi PLTN diperkirakan membutuhkan subsidi sebesar US$ 483 juta atau sekitar Rp 7,2 triliun per tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di sisi lain, cadangan uranium terukur di Indonesia hanya sekitar 1.608 ton. Sementara, satu unit PLTN berkapasitas 1 GWe membutuhkan sekitar 244,68 ton uranium per tahun. Berdasarkan hitungan Cerah, cadangan uranium yang ada hanya cukup untuk mengoperasikan satu unit PLTN selama enam hingga tujuh tahun. Setelahnya, Indonesia harus mengimpor uranium, yang akan semakin membebani anggaran negara.
Sebagai gambaran, setiap 1 GW PLTN membutuhkan biaya setidaknya US$ 49,6 juta atau Rp 818,86 miliar per tahun (kurs Rp 16.500). “Jika pemerintah ingin membangun 4,3 GW PLTN, artinya biaya pembelian uranium akan menjadi Rp 3,52 triliun per tahun,” tuturnya.
Selain itu, faktor geografis Indonesia yang berada di Cincin Api Pasifik juga menjadi pertimbangan besar. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat rata-rata jumlah kejadian gempa per tahun sejak 2008 hingga 2022 mencapai 7.069 kali, dengan peningkatan signifikan sejak 2013. Pada 2024, tercatat 29.869 gempa, dengan 20 di antaranya bersifat merusak. Ancaman bencana hidrometeorologi, seperti banjir dan longsor, juga masih tinggi.
Dampak perubahan iklim juga perlu diperhitungkan. Tahun 2024 tercatat sebagai tahun terpanas sepanjang sejarah, dan tahun-tahun berikutnya peningkatan suhu bumi bisa terus terjadi. “Hal ini berbahaya bagi operasi nuklir yang dapat mengganggu sistem pendinginannya, sehingga beberapa negara di Eropa memilih mematikan sementara pembangkitnuklirnya untuk menghindari berbagai risiko akibat cuaca ekstrem.”
Selain faktor teknis dan geografis, tingginya tingkat korupsi di Indonesia juga menjadi risiko besar bagi pembangunan PLTN. “Negara dengan tingkat korupsi yang masih tinggi, sangat berisiko membangun PLTN, karena memerlukan standar keselamatan yang sangat ketat,” kata Sartika.
Dari 2024-2025, total kasus mega korupsi di Indonesia sudah melebihi Rp 1 kuadriliun, termasuk kasus korupsi timah hingga Pertamina. Korupsi ini berpotensi menyebabkan pengabaian standar keselamatan, seperti penggunaan material berkualitas rendah, pemotongan anggaran untuk sistem keselamatan, serta pengelolaan limbah yang buruk. “Hal ini meningkatkan risiko kecelakaan nuklir, yang dapat memiliki konsekuensi bencana bagi manusiadan lingkungan.
Belum lama ini Kementerian PPN/Bappenas berencana membangun PLTN. Dalam pertemuan dengan Perwakilan Organisasi Riset Tenaga Nuklir Badan Riset dan Inovasi Nasional (ORTN BRIN) dan PT Industri Nuklir Indonesia (Persero) pada bulan lalu, Bappenas mengatakan PLTN bisa mendukung transisi energi dalam jangka panjang.