Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

sains

Studi Pemodelan: Rekayasa Iklim Regional untuk Amerika Bisa Bikin Gelombang Panas Serbu Eropa

Kebutuhan mencegah dampak pemanasan global menggunakan ragam teknik rekayasa iklim di Bumi (geoengineering) tumbuh semakin besar.

1 Juli 2024 | 06.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Sebuah teknik modifikasi awan memang dapat membebaskan sebagian wilayah Amerika Serikat dari ancaman gelombang panas (heatwave). Tapi, sebuah studi pemodelan meyakini teknik rekayasa iklim itu tidak bisa terus efektif dan, malahan, pada 2050 nanti bisa menyebabkan gelombang panas mengarah  seluruhnya menuju Eropa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kebutuhan mencegah dampak pemanasan global menggunakan ragam teknik rekayasa iklim di Bumi (geoengineering) tumbuh semakin besar. Termasuk di dalamnya adalah teknik marine cloud brightening (MCB) yang bertujuan memantulkan lebih banyak radiasi matahari yang datang ke Bumi dengan cara menyemai partikel garam laut di atmosfer rendah di atas lautan untuk membentuk awan stratocumulus yang lebih terang (ukuran droplet kecil).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Semakin banyak tutupan berupa awan yang terang, semakin banyak sinar matahari yang bisa dipantulkan langsung kembali ke luar Bumi. Adapun Bumi diharapkan mengalami efek 'pendinginan'. 

Eksperimen MCB skala kecil sudah dilakukan di Australia di atas wilayah laut Great Barrier Reef, juga Teluk San Fransisco, California, AS. Pendukung dari teknik ini berharap awan-awan cerah yang terbentuk, lewat efek cooling yang dihasilkannya, bisa mereduksi intensitas gelombang panas seiring dengan Bumi yang menghangat.

Katharine Ricke, peneliti oseanografi dari University of California, San Diego, dan sejumlah koleganya kemudian memodelkan dampak yang mungkin terjadi dari program MCB yang dijalankan untuk kepentingan Amerika Serikat bagian barat. Pemodelan menggunakan dua skenario kondisi iklim saat ini dan 2050 nanti.

Tim peneliti itu melakukan pemodelan  MCB di dua lokasi di Samudera Pasifik sebelah utara. Satu lokasi di lintang menengah, satu di perairan sub-tropis. Pemodelan mengaplikasikan MCB selama 9 bulan setiap tahunnya selama 30 tahun, yang secara signifikan mengubah pola iklim jangka panjang.

Ricke dkk menemukan kalau dalam kondisi iklim saat ini, MCB mampu mengurangi risiko relatif dari paparan musim panas yang berbahaya di beberapa bagian AS bagian barat hingga 55 persen. Namun demikian, MCB juga secara dramatis mengurangi curah hujan, baik di AS bagian barat maupun di belahan bumi yang lain.

Mereka juga memodelkan seperti apa dampak MCB pada 2050 menggunakan skenario prediksi pemanasan gobal yang mencapai 2 derajat Celsius di atas suhu global saat pra-industri. Dalam skenario ini, program MCB yang sama ternyata tak lagi efektif dan sebaliknya, secara dramatis membuat banyak heatwave menyerbu Eropa, kecuali Semenanjung Iberia. 

Hasil pemodelan yang telah dipublikasi di jurnal Nature 21 Juni 2024 menunjukkan suhu udara meningkat terutama di Skandinavia, Eropa tengah dan Eropa timur. "Dampak yang menjangkau jauh ini disebabkan oleh perubahan terhadap aliran atmosferik skala luas yang menuntun kepada konsekuensi-konsekusensi tak terduga," kata Ricke. 

Anggota tim peneliti, Jessica Wan, menyatakan pesan besar dari hasil studi pemodelan tersebut adalah bahwa dampak dari MCB regional tidak selalu intuitif atau bisa langsung dikenali. "Hasil kami menyediakan sebuah studi kasus menarik yang mengilustrasikan kompleksitas tak terduga dalam sistem iklim yang dapat Anda ungkap melalui rekayasa bumi karena perturbasi konsentrasi tinggi ke bagian kecil dari planet." 

Eksperimen MCB yang sudah dilakukan sejauh ini di Great Barrier Reef dan California dipandang belum cukup luas untuk menyebabkan efek iklim yang bisa dideteksi. Namun, Ricke, Wan, dan yang lainnya menduga kalau kebutuhan geoengineering regional bisa jadi lebih dekat daripada yang dipikirkan. 

"Kami butuh lebih banyak studi pemodelan geoengineering regional seperti ini untuk bisa karakterisasi efek-efek samping yang tidak diharapkan ini, sebelum mereka mendapat kesempatan untuk benar-benar terjadi," kata Wan. 

Ricke menunjuk isu lain adalah jika semakin banyak negara yang bergantung kepada teknik rekayasa ini sepanjang mereka masih efektif mengendalikan iklim. Bisa jadi, dia mengatakan, tren tersebut akan mematahkan aksi untuk reduksi emisi karbon sebagai motor utama pemanasan global. 

Lalu, ketika geoengineering berhenti bekerja--karena dianggap tak lagi efektif, dunia akan terkunci ke dalam sebuah trayek yang bahkan lebih berbahaya. "Mengunci adalah sebuah kekhawatiran besar orang-orang tentang pendekatan geoengineering secara umum," katanya.

Daniel Harrison dari Southern Cross University, Australia, memimpin proyek riset yang mendalami apakah MCB di wilayah Great Barrier Reef bisa digunakan sebagai sebuah alat untuk mitigasi gelombang panas di masa depan. Dia menilai skenario yang diadopsi dalam pemodelan Ricke dan timnya terlalu ekstrem dan tidak realistis.

"Itu gangguan yang sangat besar ke sistem iklim global yang dimodelkannya, jadi tentu akan ada konsekuensi-konsekuensi," kata Harrison. Menurut dia, proyek risetnya dengan MCB melibatkan periode waktu yang jauh lebih pendek dan dalam satu bagian saja dari area yang dimodelkan Ricke dkk. 

NEW SCIENTIST, NATURE

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus