Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Tak Sedahsyat <font color=#FF9900>Katrina</font>

Dua juta warga New Orleans mengungsi akibat badai Gustav. Mengapa badai ini akhirnya melemah?

8 September 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CURTIS Helms hanya mengenakan kaus oblong dan celana jins pendek dengan uang US$ 20 di saku ketika meninggalkan New Orleans. Setelah hampir sepekan menempati barak pengungsian di Alabama, lelaki berusia 47 tahun ini masih memakai setelan yang sama.

Helms mengaku sudah tak betah berada di barak pengungsian dan ingin segera pulang. Tapi, jikapun pulang, ia tak akan menemukan rumahnya seperti ketika ia tinggalkan sepekan lalu. Kini tak ada listrik, tak ada air, dan ada kemungkinan atap rumahnya hilang diterjang badai Gustav.

Helms dan dua juta warga New Orleans lain terpaksa meninggalkan harta benda mereka dan membawa bekal seadanya. Mereka diungsikan secara paksa oleh otoritas setempat dengan alasan keselamatan. Pemerintah New Orleans tak mau terulang peristiwa 2005, ketika hurikan Katrina menerjang. Berkat kesigapan otoritas setempat ini, jumlah korban jiwa yang ditimbulkan Gustav tak separah Katrina tiga tahun lalu. Ketika itu 1.600 orang tewas. Sejauh ini baru 15 orang diketahui meninggal di New Orleans.

Sama dengan Katrina, Gustav merupakan hurikan—jenis badai tropis berukuran sangat besar dan dengan kecepatan di atas 200 kilometer per jam. Gustav terhitung hurikan ketiga yang melanda Amerika Serikat tahun ini setelah Bertha dan Dolly—hurikan terbesar kedua setelah Bertha. Gustav mulai terbentuk pada 25 Agustus pagi. Pertama kali terlihat kemunculannya sekitar 420 kilometer sebelah tenggara Port-au-Prince, Haiti.

Awalnya angin ini tak terlalu besar, tapi secara cepat kekuatannya bertambah dari depresi tropis menjadi badai tropis pada sore harinya, lalu berubah menjadi hurikan keesokan paginya. Kecepatan angin pada depresi tropis mencapai paling tinggi 61 kilometer per jam. Adapun badai tropis di atas 63 kilometer per jam. Kota Jacmel di Haiti menjadi korban pertama amukan Gustav. Selanjutnya, hurikan ini menerjang Jamaika dan memorak-porandakan bagian barat Kuba sebelum terus melaju menuju Teluk Meksiko.

Pada 31 Agustus, National Hurricane Center memprediksi ancaman Gustav masih akan tetap sama. Bahkan badan ini memperkirakan hurikan Gustav, yang tergolong dalam kategori 3, akan semakin membesar pada 1 September. Namun pukul 09.30 pagi pada 1 September waktu setempat kekuatan Gustav melemah.

Pusat badai memang mulai merangsek daratan Amerika di pesisir pantai Louisiana, di dekat Cocodrie. Tapi kekuatan Gustav terus melemah dan turun menjadi badai berkategori 2 (atau 1,6 kilometer per jam lebih lemah ketimbang kategori 3). Empat jam kemudian statusnya terus menurun menjadi kategori 1 dan tinggal menjadi topan biasa pada hari berikutnya.

Zadrach Leedoufij Dupe, MSi, dosen Jurusan Geofisika dan Meteorologi Institut Teknologi Bandung, mengatakan bahwa melemahnya hurikan Gustav ini terjadi karena dukungan uap panasnya semakin berkurang. ”Karena tak ada uap panas itu, hurikan Gustav tak sekuat yang diprediksikan semula,” ujarnya.

Ketika suhu permukaan laut cukup panas, akan mengirim uap ke dalam badai tropis. Jika terjadi kondensasi, uap tersebut akan melepaskan panas yang disebut panas laten. ”Panas ini yang digunakan untuk menggerakkan angin dalam hurikan,” ucap Zadrach.

Semakin banyak uap air yang masuk ke dalam hurikan berarti semakin banyak panas yang dilepaskan yang membuat angin semakin kencang. Jika bergerak ke arah laut yang lebih dingin, pergerakan angin semakin lemah karena tak ada suplai panas yang menggerakkan angin.

Di Indonesia, kata Zadrach, hurikan seperti Gustav tak akan pernah terjadi. Meski dari segi suhu panas laut memenuhi syarat, karena tak ada gaya Coriolis atau gaya imajiner akibat rotasi bumi yang akan membelokkan arah angin, tak ada angin yang berputar. ”Mata hurikan hanya lewat di atas dan Indonesia hanya kebagian ekornya,” ia menjelaskan.

Secara teoretis tak akan terjadi hurikan susulan karena uap air yang dibutuhkan sudah habis dipakai oleh hurikan pertama. Kalaupun ada, intensitasnya tak sebesar yang pertama.

Penamaan Gustav pun bukan pertama kalinya digunakan pada tahun ini. Sudah lima kali nama Gustav dipakai sebagai badai yang terjadi di Laut Atlantis. Pada 1984 nama Gustav mulai dipakai. Badai ini tak terlalu mengancam dan berlangsung di Bermuda. Tak ada korban jiwa.

Pada 1990 badai Gustav mengancam Lesser Antilles tapi menghilang sebelum mencapai daratan, juga tak ada korban jiwa. Pada 1996 badai lemah tropis juga dinamai Gustav, yang terbentuk di bagian barat Benua Afrika dan langsung menghilang sebelum mencapai daratan.

Badai subtropis pertama yang diberi nama Gustav terjadi pada 2002. Badai yang berangsur berubah menjadi topan itu mengancam Cape Hatteras, North Carolina, sebelum membelok ke arah Nova Scotia dan akhirnya mati di Newfoundland.

Pada 2008 nama Gustav kembali digunakan untuk menunjuk hurikan di Laut Atlantis. Meski sebelumnya disebut-sebut badai ini bakal menyamai kedahsyatan Katrina pada 2005, kenyataannya Gustav melemah begitu mendekati daratan.

Dalam sebuah studi baru-baru ini dinyatakan bahwa ada kemungkinan terdapat hubungan yang erat antara pemanasan global dan meningkatnya jumlah badai yang terjadi di Laut Atlantis. Meningkatnya suhu di permukaan laut dituding sebagai salah satu penyebab utama.

Menurut Zadrach, karena permukaan bumi semakin panas, akan semakin banyak uap air yang masuk ke dalam atmosfer dan semakin banyak panas laten yang dilepaskan. ”Artinya, angin yang ditimbulkan semakin banyak dan kencang.”

Di Indonesia banyak terjadi angin kencang, yang dikenal dengan nama puting beliung. ”Itu mirip tornado atau down burst,” ujar Zadrach. Angin ini terbentuk karena awan di Indonesia sangat tinggi (18 kilometer) dan uap yang sudah berat akan jatuh akibat adanya gravitasi bumi. Kecepatan puting beliung bisa mencapai 200 kilometer per jam.

Dalam estimasi awal perusahaan asuransi, ada kemungkinan kerugian yang terjadi akibat terjangan hurikan Gustav di New Orleans berada di angka US$ 2-10 miliar (sekitar Rp 18,5-97,5 triliun). Jumlah yang cukup fantastis, tapi masih seperempat dari kerugian akibat Katrina.

Firman Atmakusuma (AP, BBC, nhc.noaa.gov)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus