Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUANGAN berpintu kayu itu sudah tiga hari terkunci rapat. Terletak di lantai enam gedung utama Kejaksaan Agung, di situlah Kemas Yahya Rahman, 59 tahun, mantan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, kini ”bekerja”. ”Bapak sedang ke luar kota,” kata seorang jaksa kepada Tempo, yang Kamis pekan lalu, beberapa saat setelah hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memvonis jaksa Urip 20 tahun penjara, mengunjungi tempat itu.
Kemas tak sendirian di lantai yang sepi itu. Tepat di sampingnya adalah ruang Muhammad Salim, bekas anak buahnya, mantan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus. Bersama empat jaksa lainnya, status keduanya kini staf ahli Jaksa Agung Hendarman Supandji. Lantai enam, yang berada satu gedung dengan ruang kerja Jaksa Agung, memang markas para jaksa ”berpangkat” staf ahli. ”Tapi mereka jarang datang. Hanya sesekali,” ujar seorang jaksa.
Sudah enam bulan Kemas dan Salim berkantor di sana. Ruang kerja mereka memang jauh lebih sempit ketimbang ruang mereka sebelumnya di Gedung Bundar, yang dilengkapi seperangkat kursi tamu yang empuk plus asisten pribadi. Di lantai enam itu, ruang kerja mereka hanya sekitar 3 x 4 meter. Tak ada staf khusus untuk mereka. Untuk menerima tamu ada meja kecil dan dua kursi yang mepet ke pintu.
Karier Kemas dan Salim langsung meredup beberapa saat setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Urip ketika jaksa tersebut menerima uang suap dari Artalyta Suryani pada 2 Maret silam. Jaksa Agung Hendarman Supandji mencopot keduanya karena dinilai ikut bertanggung atas aib tersebut.
Skandal Urip-Artalyta juga menumbangkan petinggi kejaksaan yang lain. Selain Kemas dan Salim, belakangan kejaksaan juga memberhentikan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara, Untung Udji Santoso. Rekaman pembicaraan yang diperdengarkan di ruang sidang Pengadilan Korupsi menunjukkan petinggi hukum itu mempunyai hubungan dengan Artalyta.
Hendarman memang masih memberikan posisi lumayan terhormat kepada beberapa petinggi kejaksaan itu, yakni staf ahli. Kepada pers, Hendarman menyatakan sanksi lebih pasti baru akan dijatuhkan setelah kejaksaan memeriksa Artalyta. ”Menunggu dua-duanya (Artalyta dan Urip) divonis,” kata Hendarman.
Toh, kendati keduanya kini sudah divonis, keinginan untuk bisa mendengar kesaksian Artalyta perihal hubungannya dengan petinggi kejaksaan itu tampaknya sulit terpenuhi. Sampai kini kejaksaan belum memeriksa Artalyta. Menurut Jaksa Agung Muda Pengawasan, Darmono, pihaknya sudah meminta izin Komisi Pemberantasan Korupsi untuk memeriksa ”ratu lobi” itu. Tapi, kata Darmono, izin itu tak turun. ”Kini kami menunggu izin dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi,” katanya. Kepada Tempo, seorang jaksa menyatakan, seandainya pun akhirnya kejaksaan memeriksa Artalyta, ia pesimistis wanita ini mau ”bernyanyi”. ”Tutup mulut. Dari Urip pun terbukti jaksa tak bisa mengorek apa-apa,” ujarnya yakin.
Kasus ini agaknya memang bakal ”tutup buku” di Urip saja. Tak ada jaksa lain yang diseret ke meja hijau. Dihubungi pekan lalu saat berada di Palembang, Kemas Yahya tak mau mengomentari hukuman berat yang diterima bekas anak buahnya. Ketika ditanya apakah ia sakit hati akibat ”kasus Urip” ini ia dicopot dari jabatannya, mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Banten itu tertawa. ”Saya tidak ada tanggapan untuk soal ini,” ujarnya.
Untung Udji Santoso, yang kini menjadi jaksa fungsional pada Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan, juga memilih tutup mulut. ”Sudahlah, nanti ribut lagi,” katanya.
Rini Kustiani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo