Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUMPAH, saya akan habisi kamu sekeluarga!” Suara bernada ancaman itu masuk ke telepon seluler Jojo, bukan nama sebenarnya, seorang aktivis lembaga swadaya masyarakat di Pekanbaru, akhir bulan silam.
Ini bukan ancaman pertama kali yang diterima pria yang dikenal sangat vokal mengecam pembalakan liar dan korupsi yang meruyak di Bumi Lancang Kuning itu. Sepanjang dua tahun terakhir, lelaki 35 tahun itu sudah berpuluh kali menerima teror semacam itu. ”Sejauh ini baru melalui telepon dan pesan pendek saja,” ujarnya seraya mewanti-wanti namanya tidak disebutkan.
Jojo masih mengingat kematian dua rekannya yang dianggapnya tak wajar. Nurcahyadi, aktivis Transparansi Internasional Indonesia, tewas dalam kecelakaan lalu lintas pada akhir Januari 2007. ”Dua hari sebelumnya dia gencar menyuarakan antikorupsi dan mendeklarasikan hidup sehat tanpa korupsi di Pekanbaru,” ujar Jojo. Ia yakin, karibnya itu tewas dengan cara sengaja ditabrak.
Nasib lebih menyedihkan menimpa Andreas Kahuripan, anggota presidium Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Riau. Menurut Jojo, Andreas meninggal diracun seseorang di sebuah hotel di Riau. Ia juga yakin, kematian Andreas berkaitan erat dengan aktivitasnya memprotes perusakan alam di Riau. ”Peristiwa itu menjadi pelajaran berharga buat saya,” ujar Jojo.
Walau terancam, Jojo belum berniat mencari perlindungan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Ia mengaku belum yakin pada lembaga baru ini. ”Apakah mereka bisa menjaga?” ujarnya. Karena itu, pilihan Jojo kemudian ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Ke komisi yang diketuai Ifdhal Kasim inilah Jojo mengadukan teror yang mengancam dirinya.
Berbeda dengan Jojo, Andreas Lawing justru menggantungkan harapannya kepada Lembaga Perlindungan Saksi. Bersama rekannya, Zainuddin, Ketua Lembaga Adat Besar Dayak itu memang tengah ”dikejar” aparat keamanan. Andreas dituding sebagai otak pemblokiran jalan menuju area penambangan batu bara di Kampung Kaliq Sangsang, Kutai Barat, Kalimantan Timur. ”Ini harapan terakhir saya mendapat perlindungan,” ujar Andreas, yang pada Agustus 2006 mendeklarasikan ”Perlindungan Masyarakat Hukum Adat” di kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Jakarta.
Senin pekan lalu Andreas bertemu dengan anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Lili Pintauli Siregar. Namun, apa daya, jawaban Lili jauh dari yang diangankan Andreas. Anggota lembaga ini tak bisa menjanjikan perlindungan apa pun. ”Mohon tunggu,” kata Lili. Menurut mantan pengacara tersebut, lembaganya belum berjalan. Jadi, ya, tak bisa apa-apa.
Bukan hanya Lili yang terpaksa ”menampik” kedatangan orang yang minta dilindungi. Abdul Haris Semendawai, ketua Lembaga Perlindungan Saksi yang lain, mengaku bingung jika ada orang yang ingin bertemu atau mengirim dokumen berkaitan dengan tugas mereka. ”Kami ini belum punya kantor,” ujar bekas aktivis Lembaga Studi Advoksi Masyarakat ini. Karena itulah, pengaduan lebih banyak ia terima lewat telepon atau pesan pendek.
DIPILIH oleh Komisi Hukum dan disahkan lewat Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat pada pertengahan Juli lalu, Lembaga Perlindungan Saksi semestinya sudah efektif bekerja. Beranggotakan tujuh orang dari latar belakang berbeda, antara lain pensiunan polisi, pengacara, dan dosen, lembaga ini akan menjaga dan melindungi saksi atau mereka yang mengetahui tindak pidana kejahatan. Lembaga Perlindungan Saksi berwenang memberikan rekomendasi agar seseorang, misalnya, mendapati identitas baru, kediaman baru, dan fasilitas lainnya yang bisa melindungi dari ancaman apa pun. Selain Lili dan Harris, lima lainnya adalah Teguh Soedarsono, Myra Diarsi, I Ktut Sudiharsa, Lies Sulistiani, dan Sindhu Krishno.
Namun, seperti yang dinyatakan Abdul Haris, nasib lembaga ini memang menyedihkan. Jangankan fasilitas atau honor, kantor untuk mereka pun belum jelas: ada atau tidak. ”Kami masih nomaden,” kata Abdul Haris. Adapun Sindhu Krishno meminta Presiden segera melantik anggota lembaga ini. ”Kami merasa eksis kalau sudah dilantik,” ujarnya.
Nah, lantaran belum memiliki kantor, sampai kini lembaga ini bak ”pengelana”. Untuk rapat, mereka harus berpindah-pindah tempat. Kadang di ruang Direktorat Hak Asasi Manusia, kadang di ruang Direktorat Jenderal Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Atau, yang lebih kerap, meminjam ruang rapat di lembaga yang baru mereka kunjungi.
Menurut Lies Sulistiani, beberapa kali agenda untuk membicarakan mekanisme pengaduan batal lantaran ruang yang mereka pakai ”dipinjam” si empunya. ”Benar-benar tak enak,” ujar Lies. Pernah, seorang anggota mengusulkan agar pertemuan diadakan di luar saja, misalnya di restoran atau kafe. Tapi kemudian usul itu ditolak beberapa anggota. Alasannya, tak elok dilihat masyarakat. ”Karena ini kan lembaga negara,” kata Abdul Haris.
Lantaran tak ada dana sepeser pun, jika rapat digelar—di mana pun tempatnya—mereka merogoh kantong masing-masing dan ”bantingan” di atas meja. Saweran inilah yang digunakan membeli makanan kecil, nasi padang, atau juga kebutuhan lainnya seperti fotokopi. Anggota Lembaga Perlindungan Saksi juga secara bergiliran memimpin rapat dan membuat notula. Harap maklum, lembaga ini memang belum memiliki ketua. ”Mungkin pekan-pekan mendatang baru kami memilih,” kata Lies.
Kondisi lembaga yang mengenaskan ini tak pelak mengundang keprihatinan sejumlah pihak. Anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Eva Kusuma Sundari, misalnya, menuding pemerintah tidak serius memperhatikan lembaga tersebut. ”Sepertinya tidak menjadi prioritas,” ujar anggota Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu. Menurut Eva, untuk lembaga sepenting ini seharusnya dananya sudah dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2009.
Suara sama muncul dari Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Usman Hamid. Menurut Usman, Lembaga Perlindungan Saksi ini harus segera diberi ”bahan bakar” agar dapat menjalankan tugasnya. Apalagi, ujar Usman, lembaga tersebut sekarang dibutuhkan terutama untuk jadi tameng mereka yang akan melaporkan kasus korupsi. ”Lembaga ini sangat mendukung program pemerintah memberantas korupsi,” katanya.
”Sumber energi” lembaga ini memang kini bergantung pada Sekretariat Negara. Dihubungi pada Kamis pekan lalu, Menteri-Sekretaris Negara Hatta Rajasa menyatakan bahwa pemerintah akan membuat peraturan presiden dan berkoordinasi dengan Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dulu untuk menyiapkan sarana lembaga ini. ”Pasti kami siapkan,” ujarnya.
Adapun soal pelantikan, Hatta menegaskan, Presiden tak wajib melantik lantaran Undang-Undang Perlindungan Saksi tidak mengatur soal pelantikan anggota. Jika demikian, memang prioritasnya lebih baik Menteri Hatta mengurus ”bahan bakar” lembaga itu dulu. Biar segera jalan dan ”tancap gas”.
Rini Kustiani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo