PRESIDEN Amerika Serikat Ronald Reagan, melepas janji berulang kali pada Indonesia bahwa satelit Palapa B2P akan mendapat prioritas. Paling akhir melalui Duta Besar Paul Wolfowitz di Indonesia, paling lambat Maret tahun depan sudah bakal mengorbit. Konfirmasi itu, sampai pula di Departemen Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi. "Peluncurannya akan menggunakan roket Delta," ujar A.D.D. Leimena, staf ahli bidang hubungan masyarakat departemen itu. Leimena mengakui, akhir-akhir ini memang ada berita seolah-olah NASA, lembaga antariksa AS, tidak mampu lagi meluncurkan Palapa. "Tapi itu urusan orang-orang sana," kata Leimena lagi. Indonesia, agaknya, hanya paham janji Reagan keruwetan di baliknya adalah urusan presiden itu. Memang terdapat perdebatan seru antara lembaga, komisi, dan para pembantu Reagan, yang sulit diikuti. Namun, di tengah kemungkinan berubah-ubahnya kebijaksanaan AS perihal peluncuran satelit, kegigihan Reagan justru membuahkan beberapa keuntungan bagi Indonesia. Meledaknya roket-roket AS berturut-turut langsung mempengaruhi seluruh program ruang angkasanya. Akhir Juli lalu, para penasihat Reagan kembali menegaskan sarannya agar NASA tidak lagi diperkenankan meluncurkan satelit komersial, termasuk milik negara asing, tentunya juga Palapa. Dan dalam programnya, NASA diharapkan hanya meluncurkan satelit-satelit militer. Usul ini merupakan bagian dari rencana kebijaksanaan baru AS, merangsang pertumbuhan industri roket swasta yang selama ini terbenam oleh kegiatan NASA. Sampai kini, NASA memonopoli peluncuran satelit. Sebagai contoh, tiga perusahaan swasta kini sudah terjun di bidang peluncuran satelit, yaitu Martin Marietta Corporation, General Dynamic Corporation, dan Transpace Carrier Inc. khususnya mengantungi izin menggunakan roket Delta. Namun, ketiganya hingga kini belum mempunyai konsumen. Kalah jauh bersaing dengan NASA yang sampai tahun 1994 sebenarnya sudah mengantungi kontrak senilai US$ 850 juta (Rp 960 milyar). Kini, NASA akan mendapat saingan berat. Terutama karena Reagan pernah menjanjikan akan memberikan kebebasan pada pihak swasta untuk menggunakan orbiter dan fasilitas NASA lainnya. Di sisi lain, NASA tentu berusaha keras menggagalkan usul para pembantu Reagan itu. Bisa dimengerti, berdasar kontrak sampai 1994 itu NASA akan kehilangan omset hampir Rp 1 trilyun. Namun, ikhtiar NASA tampaknya kandas. Usulan para pembantu Reagan tentang penswastaan program antariksa sudah akan dibicarakan dalam rapat kabinet di bawah pimpinan Menteri Keuangan James A. Baker III dalam waktu dekat. Perubahan initentunya penting bagi Indonesia, dalam arti siapa yang akan memegang kontrak peluncuran roket Delta nanti belum pasti. Toh, guncangan itu tak terasa di Jakarta. "Kita hanya mengadakan kontrak dengan NASA," ujar Leimena, "seandainya saya membeli paku, apa perlu saya tanya paku itu dari perusahaan mana." Padahal, ketika Larry Speaks, juru bicara Gedung Putih mengutarakan bahwa Palapa akan diluncurkan dengan roket Delta, ia menyatakan belum tahu kontraktor mana yang akan menanggung biaya konversi dari Challenger ke Delta. Bagi Indonesia memang tak ada perbedaan mendasar, siapa pun yang akan meluncurkan Palapa. Nilai kontraknya besar kemungkinan juga tak akan berubah. Reagan bisa memaksa NASA, di sisi lain mudah pula membina kerja sama dengan pihak swasta. Selain kemampuan Reagan melobi berbagai pihak, presiden itu mempunyai hak menentukan kekecualian dalam peluncuran satelit negara asing, yang ditetapkan berdasar alasan keamanan nasional. Palapa B2P tampaknya masuk kategori ini. Palapa sebenarnya satu dari 94 satelit komersial dan negara asing yang harus diluncurkan NASA. Namun, setelah musibah Challenger, dari 43 satelit yang diseleksi ketat, hanya 6-8 satelit dinilai mempunyai hubungan dengan keamanan nasional. Berdasarkan itu, sebuah sumber TEMPO di Washington yang layak dipercaya mengutarakan, kemungkinan besar, Delta yang akan membawa Palapa bakal diluncurkan akhir tahun ini juga. Toh ini bukan satu-satunya kemungkinan yang menggembirakan Indonesia. Reagan pernah pula memberi janji, peluncuran Palapa sekitar 1988. Janji ini berkaitan dengan peluncuran pesawat ulang alik. NASA kini sedang memprogramkan modifikasi Challenger. Penghitungan dananya, setelah berulang kali berubah, dipastikan Rp 3 trilyun. Namun, usaha ini tak mulus, karena anggaran tahunan NASA yang US$ 7,7 milyar tidak cukup, sementara Angkatan Udara AS menyatakan lepas tangan, juga lantaran tak punya dana. Reagan yang menunjang ikhtiar modifikasi ini ternyata tak mendapat lampu hijau dari Direktur Anggaran Gedung Putih, James Miller III. Tak mau menyerah, Reagan menunda pembicaraan ini sampai tahun depan. Khususnya setelah rencana anggaran fiskal 1988 selesai diajukan ke Kongres. Bila usul ini diterima, program peluncuran pesawat ulang alik berawak akan dihidupkan kembali. Artinya, astronaut Indonesia yang sudah disiapkan masih punya peluang terbang. Kecuali ada histeria lain (lihat Tiga Menit dalam Teror). Jim Supangkat Laporan Bambang Harymurti (Washington)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini