Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Praktek Dulu, Bunuh Kemudian

Robin, 14, membunuh asbun hasibuan, 50, setelah mereka melakukan praktek homo di pintu padang, padangsidempuan. robin diperalat bahrin harahap untuk menggaet harta korban. kedua pelaku divonis penjara. (krim)

16 Agustus 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

REMAJA itu nekat menghunjamkan pisau ke perut Asbun Hasibuan hingga tewas. Robin, baiklah dia disebut begitu, remaja 14 tahun, dan Asbun, 50 tahun, padahal, baru saja melakukan kegiatan intim. Orang tua separuh baya itu memang seorang homo. Pengadilan Negeri Padangsidempuan, akhir Juli lalu, mengganjar Robin 5 tahun penjara. Sedangkan Bahrin Harahap, pengatur skenarionya, kena 8 tahun. "Perbuatan keji itu tidak bisa dimaafkan," kata Imran Lubis, ketua majelis hakim, kepada TEMPO pekan lalu. Peristiwa tragis di Desa Pintu Padang, sekitar 20 km dari Padangsidempuan, itu bermula dari sebuah rencana Bahrin yang hidup serumah dengan korban sebagai pasangan sejenis. Ia bermaksud menggaet harta benda korban dengan memperalat Robin, seorang pemuda simpatik yang oleh pasangan sejenis itu sama-sama diincar untuk diajak kencan. Pelajar SMP bertubuh semampai itu ditemukan Asbun di sebuah restoran. Tampaknya si pedagang kain keliling langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Maka, ia mencoba menjeratnya dengan membayari sebotol Coca-Cola dan sepotong roti yang memang sudah dipesan oleh Robin. Ternyata, taktik mengena. Keduanya semakin akrab. Duduk mereka pun kian merapat. Bahkan keduanya sepakat nonton bioskop. Nah, di situlah, dalam keremangan gedung bioskop, Asbun mulai merapatkan duduknya dan tangan bergerilya. "Dia meraba-raba paha, dada, dan anuk," kata Robin kepada Bersihar Lubis dari TEMPO belakangan. "Ya, saya terangsanglah." Hubungan mereka tak sampai di situ, tentu. Ketika Robin, yang bertubuh tinggi 163 cm dan berat 53 kg, hendak menjahitkan celana, Asbun yang membuka usaha jahitan langsung memintanya datang, guna dibuatkan model yang paling bagus. Kebetulan, anak kedua dari lima bersaudara ini memang datang dari orangtua yang lagi bangkrut. Toko kelontong ayahnya tutup, dan si ayah jadi pedagang ikan asin keliling. Ibunya, bahkan, terpaksa ikut menopang ekonomi keluarga dengan menjadi buruh mencetak batu bata. Padahal, keluarga ini pernah jaya, memiliki Vespa bahkan mobil. Maka, datanglah Robin memenuhi undangan itu. Dan, tutur Robin, lagi-lagi, ia diraba-raba. Alasan Asbun, supaya ukuran celananya pas. Nah, di situlah, remaja yang masih lugu itu berkenalan dengan Bahrin -- duda 4 anak, pasangan Asbun yang sudah hidup serumah selama tiga tahun. Entah bagaimana, remaja ingusan itu dibujuk oleh kenalan barunya, yang bekas tukang foto keliling, yang suka membuat foto-foto untuk kartu tanda penduduk. Apa kau tak suka beli sepeda motor? Kita bunuh saja Asbun, lalu kita sikat hartanya," kata Bahrin, menurut yang dibujuk. Melihat kekayaan si pedagang kain dan tukang jahit itu, Robin mengaku tergoda pula. Bukankah ia memang pernah merasakan bagaimana nikmatnya mempunyai harta? Tiga hari kemudian, tertanggal 12 November tahun lalu, siswa kelas III SMP ini datang ke rumah Asbun sudah membawa sebilah pisau. Demi tercapainya tujuan, remaja yang belum pernah berbuat tak senonoh -- baik dengan perempuan maupun dengan lelaki -- itu untuk pertama kali terpaksa memenuhi ajakan Asbun: praktek homo. Asbun sebagai perempuan dan Robin lakinya. Dan kemudian Asbun pun tampak puas. Ia tertidur pulas. Sebaliknya, Robin gelisah menunggu Bahrin, karena demikianlah rencana mereka. Menjelang subuh yang ditunggu pun menyeruak masuk. Langsung, Robin menohok perut Asbun yang pulas itu dengan pisau, lalu dengan cepat Bahrin mencekiknya. Selesai. Korban pun terkulai. Buru-buru Bahrin menggaet tas milik korban yang diperkirakan berisi uang dan emas. Sementara Robin dari kantung celana korban beroleh uang Rp 3.800. Mereka pun lari dalam gelap. Berdasarkan keterangan dari tetangga yang ribut, setelah mengetahui Asbun tak lagi bernyawa -- beberapa jam kemudian polisi gampang saja menangkap Bahrin. Dan tersingkaplah keterlibatan Robin. Haji Sidik, tetua desa di situ, menilai hukuman itu terlalu ringan. Betapa tidak, katanya, "Asbun selama ini dikenal pemurah, dan selalu membagikan baju Lebaran kepada anak-anak yatim." Ia tak berkomentar tentang Robin yang masih remaja itu. Bapak si Robin, sementara itu, tak habis heran dan menyesalnya. "Saya tak mengira anak saya bisa sejauh itu," katanya. "Padahal, ia anak baik, tak pernah tinggal kelas, menurut pesan orangtua, bahkan sering membantu memasak di dapur."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus