SEBAGIAN besar rumahtangga (80%) di Indonesia menggunakan kayu
sebagai bahan bakar. Dapur rakyat negeri ini jelas tidak
terpukul oleh "krisis energi" seperti yang dialami banyak negara
maju sebagai akibat kekurangan suplai minyak dan kenaikan harga
OPEC. Namun dapur di sini rupanya dituntut juga supaya berhemat.
Setidaknya begitulah Lembaga Ekologi Universitas Nasional,
Jakarta, pekan lalu dalam suatu peragaan tungku masak.
Konsumsi kayu bakar di Indonesia mencapai hampir 100 juta m3 per
tahun, demikian brosurnya. Dengan model tungku yang
diperagakannya -- berasal disain H. Singer, ahli dapur bahan
bakar dari Central Forestry Association di Swiss --
dikatakannya:
Dapat dihemat konsumsi kayu sampai setengahnya.
Waktu masak diperpendek sampai setengahnya.
Bahaya kebakaran lebih rendah dan kesehatan lebih terjamin.
Peragaan itu berlangsung di Ragunan tempat laboratorium fakultas
biologi Unas. Pangeran Bernhard dari negeri Belanda, tokoh World
Wildlife Fund yang barusan saja meninjau kondisi suaka
margasatwa di Kalimantan dan Sulawesi datang melihatnya. Sang
pangeran tentu melihat bahaya lingkungan dari dapur -- dalam
pengertian bahwa rakyat menebang pohon untuk mendapatkan bahan
bakar. Bahaya ini dijumpai di negara berkembang umumnya.
Menghemat Bahan Bakar
Tungku Singer yang diperagakan oleh Unas ini agak mahal,
mencapai Rp35 ribu. Bahannya dari bata, semen merah, portland
merah, dan pipa dari tanah liat untuk cerobong. "Kalau mau murah
bisa saja, seorang mahasiswa Unas menjelaskan. Dan ini sudah
banyak dipraktekkan di kampung-kampung. Bahannya: tanah liat,
abu dapur, sabut kelapa dan air daun kembang sepatu untuk lebih
merekatkannya.
Dicarinya cara supaya tungku itu kokoh. Tinggi tungkunya saja
sampai 70 cm. Padahal ini bisa juga dengan tipe yang 30 cm. Ada
3 lobang untuk menaruh panci atau alat dapur lainnya. Tempat
pembakarannya hanya pada tungku pertama, sedang tungku kedua dan
ketiga hanya nebeng pemanasan saja. Dan di belakang tungku ke-3
berdiri cerobong asap.
Betulkah ini menghemat bahan bakar? Tiga panci dengan diisi 1
liter air dan yang menggunakan bahan bakar kayu 1« kg, misalnya.
Dalam waktu 10 detik air di tungku pertama mendidih, 2 menit
kemudian baru di tungku ke-2 dan 3 menit berikutnya lagi baru
di tungku ke-3.
Sebagai perbandingan, dibuat tungku yang lumrah di desa,
misalnya, dengan 2 lobang. Dengan kayu dalam jumlah yang sama,
air di tungku lobang pertama mendidih pada menit ke-15, sedang
di lobang kedua tidak mendidih sampai bahan bakar kayu habis.
Tungku Singer bisa mencapai panas 600øC di lobang pertama, 400øC
di lobang ke-2 dan 200øC di lobang terakhir. "Ini berarti
menghemat bahan bakar, " kata mahasiswa Unas ini.
Di samping itu dengan cerobong asap yang ada, pencemaran
lingkungan lebih bisa dihindarkan. Cerobong itu juga penahan
asap. Sedang dengan tungku yang biasa, asap kayu bisa
merajalela.
Tungku kampung biasanya membiarkan lobang di depannya menganga.
Pada tungku Singer ini, setelah terjadi pembakaran, lobangnya
ditutup tapi tidak rapat. Ada lobangnya sebesar 5 x 7 cm untuk
pemasukan oksigen dari luar.
Tungku dengan serbuk gergaji atau dari sekam juga ada
diperagakan. Ambil ember seng yang sudah tidak ada alasnya.
Gunting pada sisinya dengan lebar 5 x 10 cm. Kemudian sebuah
pipa atau botol ditaruh di tengah ember ini sebelum diisi sekam.
Maksudnya untuk membuat lobang pada tengah sekam ini. Nyalakan
api pada bagian tengah ini. Taroh panci atau penggorengan di
atasnya, maka dengan cepat panas bisa didapatkan. Yang bisa
dipetik dari tungku ini adalah membersihkan lingkungan dengan
memanfaatkan bahan sisa dan menghemat persediaan energi.
Ada lagi tungku konservasi. Ini baik digunakan untuk mereka yang
suka mendaki gunung. Bagi mereka yang hidup di pedesaan, ini
juga tak ada salahnya. Alatnya sederhana. Kaleng bundar bekas
kue juga bisa dimanfaatkan. Pada sisi-sisinya diberi lobang
untuk memasukkan oksigen. Pada dasar kaleng juga diberi lobang
untuk pembuangan abu. Dari tungku ini diperoleh manfaat panas
cukup tinggi dengan bahan bakar yang sedikit. Percikan bunga api
sedikit. Kalau digunakan di gunung ia melindungi tanaman di
sekitarnya. Dianjurkan supaya kaleng tungku itu sedikitnya
berdiameter 15 cm dan tinggi 16 cm. Dan juga sisi kaleng ini
supaya diberi lobang secukupnya untuk memasukkan kayu tambahan
atau arang.
Bukan Hal Baru
Membuat gas bio? Ini bisa dilakukan dengan bahan kotoran
manusia, ternak, sampah, malah juga eceng gondok. Lembaga
ekologi Unas juga memperagakannya. Alat yang digunakan cukup
drum minyak -- menampung kotoran ternak dicampur air dengan
perbandingan 1:1. Drum ini disambung dengan drum yang lain untuk
menampung sisa kotoran yang sudah tak mengandung gas. Kotoran
ternak yang sudah tak mengandung gas malah lebih baik untuk
pupuk. Dan gas ini bisa digunakan untuk masak dan lampu. "Kalau
anda punya 2 atau 4 sapi atau kerbau, atau 100 ekor ayam, gas
bio menungg anda," pesan brosurnya. Sekaligus teknologi
sederhana ini membantu menghemat energi mencegah polusi dan
memelihara lingkungan hidup yang sehat.
Apa yang dilakukan Unas kali ini bukan hal baru. Tapi ia
mempopulerkan hal yang sudah ada. Kalangan Butsi, lulusan
universitas yang sukarela turun ke pedesaan, juga pernah
mengembangkan tungku yang menghemat energi.
Masih ada lagi yang menarik dari peragaan Unas ini kompor
matahari. Di sini tenaga surya, dengan ongkos Rp10. 000 saja,
bisa dipakai untuk memasak di dapur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini