SAMPAI sekarang, yang disebut "da'wah" terdengar seperti sama
dengan pidato. Da'wah masih saja lebih ditekankan pada tabligh,
penyampaian ajaran. Artinya, belum lagi merupakan atau disertai
usaha memikirkan pemberian bantuan kemanusiaan. Padahal itu
dalam banyak hal merupakan sarana paling efektif bagi
keberhasilan da'wah sendiri.
Tapi rupanya kecenderungan baru mulai nampak. Sebuah diskusi
tentang itu diselenggarakan oleh Humaika (Himpunan Masyarakat
Indonesia untuk Kemanusiaan), 15 Juli, di Hotel Aryaduta Hyatt,
Jakarta. Ke sana diundang kalangan da'wah dan para pemuka Islam.
Hadir misalnya Jusuf Hasjim, Dr. Aminuddin Aziz dan wakil dari
Departemen Agama. Ini tampaknya usaha Humaika, organisasi
non-pemerintah yang berdiri tahun lalu, untuk secara lebih
langsung mengajuk hati kalangan Islam dalam masalah tersebut --
sambil mencari tahu apakah kesan "ketidakterlibatan" seperti di
atas benar.
Humaika sendiri selama ini dikenal dengan usaha-usaha
penyantunannya kepada para tahanan, bekas tahanan maupun
keluarga mereka, tanpa pandang agama maupun politik. Itu yang
pertama. Target kedua, untuk tahun ini, ialah penyantunan
gelandangan. Mereka misalnya mempunyal empat pos gelandangan di
Jakarta, dengan proyek penciptaan lapangan kerja yang diikuti
150 orang. Bulan kemarin misalnya untuk proyek itu dikeluarkan
biaya Rp 1 juta.
Beberapa kesukaran tentu saja diperoleh. Mengumpulkan rukuh
(mukena) saja misalnya, untuk dibagikan kepada para tahanan yang
ternyata membutuhkan, mereka mendapat bahan yang "bahkan,
maaf-maaf, tidak pantas untuk dibuat sekedar celana dalam,"
seperti dikatakan Ny. Nani Yamin, sosiawan yang juga pekerja
lapangan.
Mengapa Tidak Bicara Kepada Kami?
Sebaliknya contoh seperti itu dirasakan aneh oleh juru da'wah
seperti misalnya Tuty Alawiyah dari Asy Syafi'iyah. Seperti
diterangkannya, perguruannya (yang dipimpin oleh KH Abdullah
Syafi'i) antara lain menampung 350 anak yatim yang sebagian
besarnya diambil dari gelandangan (seperti juga proyek yang
diusahakan Pendeta Lumy S. Th misalnya dari kalangan Kristen).
Untuk pembiayaan, Tuty menyatakan bahwa dari seksi pengajian
yang dipimpinnya saja (dihadiri 3.000 orang ibu-ibu), mereka
bisa mendapat paling sedikit Rp 300.000 tiap minggu. "Mengapa
tidak bicara kepada kami?" Tuty bertanya.
Mereka juga melakukan penyantunan ke lembaga-lembaga
pemasyarakatan -- meskipun, seperti diterangkannya, pejabat
penjara sendiri menyatakan bahwa masih tergolong jarang
kalangan keagamaan Islam yang melakukan usaha seperti itu.
Jadi pertemuan ini lalu bermanfaat untuk sekedar saling tahu --
juga tahu batas usaha masing-masing sampai sekarang, seperti
dikatakan Sudjoko Prasodjo, Direktur Lembaga Studi dan Ilmu
Kemasyarakatan. Dari diskusi itu misalnya cukup banyak
diceritakan hambatan kelembagaan: dikatakan, usaha penyantunan
dari kalangan Islam biasanya tidak begitu mudah diterima para
pejabat rumah tahanan, bila dibanding yang datang dari kalangan
lain. Dan bahwa di lembaga-lembaga pemasyarakatan, Katolik dan
Kristen menerima penambahan jumlah pemeluk yang sangat
menyolok. Tapi seperti juga dikatakan Ketua Humaika, Adi Sasono,
untuk yang bersifat kelembagaan itu pun belum terlihat usaha
kalangan Islam untuk menembusnya.
Satu soal ada diceritakan oleh Dr. Saparinah Sadli. Psikolog itu
membenarkan, bahwa metode da'wah Islam yang dipakai di kalangan
para tahanan banyak membuat mereka takut. Seperti yang
dilihatnya di Plantungan, PekaIongan, misalnya, da'wah ini
bersifat menuntut taubat para tapol atau mengungkit dosa mereka
-- kemudian membebani mereka dengan seluruh kewajiban komplit
sebagai seorang muslim.
Itu tentulah patut dipertanyakan kepada lembaga resmi yang
mengurus para da'i bagi sasaran tersebut -- Departemen Agama.
Namun masalah pendekatan kemanusiaan dalam da'wah, yang malam
itu tidak dibicarakan dari seginya yang mendasar, sebenarnya
lebih dari sekedar masalah operasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini