TENTULAH bukan apresiasi kesenian itu benar yang diinginkan
Islamic Center Sumatera Barat, ketika mereka mengadakan diskusi
'Kegiatan Kesenian Sebagai Ibadah' di Padang 7-8 Juli yang lalu.
Bertempat di Pusat Kesenian Padang, ini barangkali pertama
kalinya sebuah diskusi agama & seni diselenggarakan di sebuah
kota di luar Jawa.
Masalah yang mengusik hati Sanusi Latief, Direktur IC yang juga
Rektor IAIN Imam Bonjol Padang, ialah kenyataan seperti
diutarakannya: banyaknya kesenian daerah di Minangkabau -- yang
secara tradisional bersifat Islam atau berciri adat orang Islam
-- yang seakan "lepas" dari tangan kalangan agama. Mengapa?
Tetapi diskusi tidak secara langsung mencari sebab-sebab dengan
menguji tiap kasus atau menjejaki perkembangan sosial, misalnya.
Diskusi ingin mendapat gambaran bagaimana sebenarnya persepsi
kalangan seniman sendiri sekarang dalam hal kesenian, dan sampai
ke mana sudah tanggapan kalangan ulama. Maka prasaran diberikan
baik oleh seniman maupun ulama -- antara lain Buya Harun 'l
Ma'any, Soufyan Ras Burhany, Wisran Hadi dan disambut oleh para
aktivis seni maupun da'wah.
Kesenyawaan
Keinginan yang populer, menggunakan seni sebagai media da'wah,
diuji. Sinyalemen tentang gejala "dekadensi" dalam beberapa
jenis kesenian misalnya, dipandang tidak efektif dihadapi dengan
hanya menjadikan "seni" sebagai corong -- demikian disiratkan
dalam kesimpulan. Melainkan dengan sikap penerimaan kalangan
pemimpin agama sendiri kepada kebutuhan orang berekspresi dan
berhibur. Keterlibatan kalangan agama, haik tokoh maupun
lembaga, dalam penyelenggaraan acara kesenian, studi, pemikiran,
misalnya, sudah jelas akan mendekatkan jarak.
Sementara itu apa yang difahami sebagai "kesenian Islam," tak
akan pernah berkembang dalam lingkungan yang tidak mendukung --
yang misalnya tidak menumbuhkan suasana kontemplasi atau
pemikiran yang kompleks dan dengan demikian tidak memungkinkan
seniman memperoleh intuisinya yang bersifat keagamaan. Ini
memang bisa menyangkut banyak sektor: lembaga da'wah, lembaga
pendidikan, misalnya.
Yang menarik, dalam diskusi betapapun terlihat pengertian yang
berbeda tentang 'seni'. Padahal apa yang tidak disukai kalangan
ulama misalnya, dalam hal seni, juga ternyata bisa merupakan
hal-hal yang justru tidak disukai kalangan seni. Di segi lain,
kalangan keagamaan sendiri sebenarnya bukan pula "kering".
Madrasah Diniyah Puteri yang bersejarah di Padang Panjang,
misalnya, sejak sebelum Kemerdekaan mempunyai kegiatan sandiwara
atau juga angklung sekarang ini. Namun apa kiranya yang pernah
terjadi, sampai-sampai kalangan agama di sana ogah memakai
talempong atau salung, instrumen tradisional, seperti juga
kalangan ulama di Jawa tak suka memakai gamelan?
Jadi masalahnya kesenyawaan dengan sekitar, yang paling penting.
Sebuah masalah besar. Tapi orang di Padang sudah memulainya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini