PENGACARA Mr. Yap Thiam Hien pernah dituduh menyerang kehormatan
atau nama baik pejabat kepolisian dan kejaksaan. Tuduhan
terbukti. Tapi Mahkamah Agung toh membebaskannya dari tuntutan
hukum (1973). Sebab apapun juga yang dikemukakan di pengadilan
-- walau dirasa menghina seseorang atau pejabat --bukan
merupakan kejahatan atau pelanggaran. Yaitu selama masih dalam
rangka pembelaan atau pleidoi: semata-mata upaya membela diri
dari tuduhan.
Tuntutan terhadap pleidoi Yap, di awal masa orde-baru (kasus
tersebut mulai masuk pengadilan 1968, oleh kalangan hukum
dianggap batu penguji kebebasan bersuara di pengadilan. Yap
menang. Peradin membukukan pleidoi Yap sebagai salah satu bagian
dari seluruh proses peradilannya.
Lain halnya dengan pleidoi Heri Akhmadi. Pembelaan mahasiswa ITB
Bandung ini, berjudul -- cukup panas -- Mendobrak Belenggu
Penindasan Rakyat Indonesia," memang tak menimbulkan tuntutan
hukum. Walaupun isinya, yang dinilai Kejaksaan Agung sebagai
dapat mengganggu keamanan & ketertiban umum, jelas lebih pedas
dibanding pleidoi Yap. Tapi karena LBH dan DM ITB membukukan dan
menyebarluaskannya kepada umum (dijual dengan harga sedikitnya
Rp 1500 per eksemplar), kejaksaan melarang peredarannya.
Tak hanya Sepotong
Mula-mula, 3 Juli, Kejaksaan Tinggi di Bandung hanya melarang
peredaran buku tersebut di seluruh wilayah hukum Jawa Barat
(TEMPO, 14 Juli, Nasional). Besoknya Kejaksaan Agung melarangnya
secara nasional.
Menurut Humas Kejaksaan Agung Tomasouw SH, ada dua persoalan
yang berbeda pleidoi dan buku Mendobrak Belenggu. Katanya,
"pemeriksaan dan pembelaan di pengadilan yang terbuka memang
tidak disensor untuk diketahui umum." Artinya, seluruh isi
pembelaan Heri Akhmadi, menurut Tomasouw "tidak dilarang untuk
diketahui umum."
Tapi sebagai "barang cetakan", kata Tomasouw, dengan alasan
tertentu Kejaksaan Agung punya wewenang untuk melarang
peredarannya. Keberatan instansi ini terhadap penerbitan dan
peredaran pleidoi Heri Akhmadi, kata Tomasouw, karena isinya
tidak persis seperti yang dibacanya di muka hakim. "Ada
tambahan, misalnya gambar karikatur. Kalau penerbitan pembelaan
saja mungkin tidak dilarang," kata Tomasouw lagi. Tapi
"tambahannya itulah, yang jadi alasan pelarangan."
Bagaimana dengan buku dari pcngadilan perkara Gestapu (Mahmilub)
dan peristiwa Cikini (tersangka penggeranatan Presiden Sukarno)
atau perkara Sawito yang juga pernah beredar? "Itu bukan
perbandingannya," ujar Tomasouw. Buku-buku tersebut, katanya,
tak hanya memuat sepotong tapi seluruh bagian proses peradilan.
Jika Tomasouw memisahkan, Adnan Buyung Nasution malah mengaitkan
antara pleidoi dengan penerbitan dan pengedaran bukunya.
Pengadilan diminta bersikap terhadap larangan Jaksa Agung itu.
Sebab, menurut Buyung, larangan tersebut telah melanggar asas
dan mengancam kedudukan peradilan.
Senin minggu ini pengadilan akan mengumumkan sikapnya. Tapi
sementara itu, boleh didengar juga pendapat beberapa ahli hukum:
Minang Warman SH, Wakil Direktur LBH, yang bekerja sama
menerbitkan buku Mendobrak Belenggu:
Larangan Jaksa Agung karena menganggap buku tersebut mengganggu
ketertiban umum. Dus, materinya yang dilarang diedarkan. Berarti
pleidoinya juga dianggap melanggar ketertiban umum. Berarti juga
isi tuduhan dan tuntutan jaksa melanggar ketertiban umum. Tidak
bisa dilihat terpisah-pisah.
Larangan Jaksa Agung tidak menyinggung prosedur penerbitan dan
pengedaran buku tersebut yang memang tidak meminta izin lebih
dulb. Jadi larangan itu jelas soal materi pembelaan, bukan
prosedur.
J.Z. Loudoe SH dan Henky Izmu Azhar SH, hakim pada Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat:
Jangan campur-adukkan antara pleidoi dengan hasutan. Seperti
pembelaan Sawito, misalnya, kami tidak menilainya sebagai
pleidoi karena bukan murni membela diri. Pleidoi Akhmadi juga
berisi hasutan. Kalau pembelaan, mengapa harus diedarkan? Toh
setiap hari ada pleidoi di pengadilan -- tidak disebarluaskan.
Begitu Loudoe.
Menurut Henky ada dua persoalan: pleidoi yang dibacakan di muka
umum dan bukunya sebagai barang-cetakan. Yang pertama tak ada
persoalan. Sedangkan yang kedua, itu urusan kejaksaan, tak patut
dimintakan penyelesaian dari hakim.
RO. Tambunan SH, Ketua Umum Pusat Bantuan dan Pengabdi Hukum:
Pleidoi ialah pembelaan terdakwa untuk dipertimbangkan hakim.
Kalau sudah diedar-edarkan, tujuannya sudah lain. Pembacaan
pleidoi memang bebas boleh memaki atau menghina siapa saja --
kalau perlu. Tapi kebebasan jangan disalahgunakan. Pengadilan
lembaga suci, jadikanlah arena mencari keadilan.
Penyalahgunaan, misalnya mencetak pleidoi dan dijual kepada
umum. Apabila isinya dianggap meresahkan, pemerintah berhak
mengadakan pembatasan.
Berdiri bulu roma saya membaca buku itu. Semuanya dikatakan
sudah bobrok. Isinya memang dapat meresahkan masyarakat. Pantas
kalau Jaksa Agung melarangnya.
Soegondo Kartanegara SH, hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta
Utara-Timur dan pernah jadi hakim anggota Mahmilub:
Sebenarnya tak ada larangan menerbitkan jalannya sidang
pengadilan. Lewat pers atau radio. Tapi caranya harus fair
lengkap dan seimbang. Tidak hanya menerbitkan hal-hal yang
menguntungkan saja. Menerbitkan sepihak saja, seperti pembelaan
Heri Akhmadi saja, bisa diyolongkan usaha manipulasi proses
peradilan.
Larangan Jaksa Agung hanya berupa penyebar luasannya saja. Isi
pembelaan tidak pernah dilarang dibacakan di muka pengadilan
atau dilarang dimasukkan ke berkas berita acara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini