Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Tungku pak hadi

Hadi sutomo dari kampung nagreg, bandung, menciptakan tungku pemusnah sampah dengan memakai tenaga listrik. (ilt)

16 Juni 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HADI Sutomo, 57, tidak suka merokok, Suatu hari pensiunan kapten ini asyik memperhatikan orang merokok: rokok dibakar, menghasilkan abu dan cairan nikotin. Ia lantas berpikir, prinsip pembakaran ini barangkali bisa diterapkan untuk membakar sampah - yang memang bertumpuk di sekitar rumahnya. Tamatan STM aman Belanda yang suka membuat mesin itu kemudian mencoba mengutak-ngatik gagasannya. Keluarganya tak heran lagi dengan "kegilaan" seperti itu. Sebab, sebelumnya, 1964, kakek 11 cucu itu juga pernah berhari-hari bekerja di bengkel. Ketika itulah Hadi berhasil menciptakan mesin penghalus mineral, yang kini sudah dipergunakan PD Pertambangan di beberapa provinsi, dan oleh pabrik petrokimia di Gresik, Jawa Timur. Sepuluh tahun setelah itu, 1974, Hadi Sutomo kembali mencoba membuat mesin baru. Dua tahun bekerja keras, pada 1976 Hadi berhasil menciptakan prototip tungku pemusnah sampah. Dan sejak itu ia Iebih sering berada di bengkelnya yang terletak di Kampung Nagreg, Desa Citaman, sekitar 36 km dari Bandung. Tungku yang tidak memerlukan energi BBM ini, 1 Juni lalu diperkenalkan kepada Menteri Negara PPLH Emil Salim di Jakarta. Setiap saat, Hadi Sutomo siap mendemonstrasikan cara kerja tungkunya di Nagreg. Di halaman bengkelnya yang cukup luas, tungku yang seluruhnya (berikut cerobong) tingginya sekitar 10 meter itu berdiri tegak. Seluruhnya terbuat dari besi baja yang dilapis isolator mineral antipanas dan batu tahan api sehingga mampu menahan suhu 1.600 C. Dengan tenaga listrik 67 KVA, scmua instalasi berikut dua unit elevator serta lima buah pendingin (exhaust blower), digerakkan dengan sistem panci monitor elektronik. Selama sampah masih ada, tungku sanggup mengunyah nonstop. Sampah dimasukkan ke lubang elevator lantas diangkut ke tabung kontainer, kemudian disulut dengan pompa kompor. Api akan terus-menerus menyala membakar sampah, berkat perputaran udara yang diatur dengan nozzle (semacam spuyer pada lampu petromaks) yang dipasang menurut kebutuhan. Untuk kapasitas pembakaran 100 meter kubik, diperlukan tiga nozzle ukuran tiga inci. Bukan hanya sampah yang bisa dibakar tungku Pak Hadi itu. Batu perlit (obsidian), yang diletakkan bersaf-saf dengan sampah dan eceng gondok, keluar dalam bentuk batu apung. "Batu apung hanya bisa terjadi setelah mengalami pembakaran tinggi sekali dalam magma. Itu sebabnya tungku ini saya sebut Tungku Magma," kata Hadi Sutomo. Batu apung, seringan kerupuk itu oleh Hadi dimanfaatkan sebagai bahan bangunan. Kerikilnya untuk campuran beton, tepungnya untuk bahan pembuat genting. Sedangkan remah kerikil, dipakai sebagai kerikil hidrofonik di bidang pertanian. Dari hasil pembakaran batu perlit ini pun, Hadi juga bisa membuat arang briket, "Yang panasnya bukan main bila dibakar kembali," katanya. Tungkunya juga mampu membakar kapur serta lempung, menjadi alwa (artificial light-weigt aggrgate) - alias kerikil ringan, bahan beton, untuk bangunan bertingkat tinggi. Sementara sampahnya musnah, dan asap putih yang mengepul dari cerobong udak menimbulkan polusi, "hasil samping" tungku ialah cairan semacam ter yang berguna sebagai pengawet kayu. Karena fungsinya bermacam-ragam, Hadi juga menyebut hasil ciptaannya "Tungku Serba Guna". DKI Jakarta, yang dipusingkan masalah sampah, memesan 17 unit, Kodya Bogor 4 unit, Kodya Cirebon 7 unit, Provinsi Jambi 1 unit - khusus untuk membasmi eceng gondok di Danau Kerinci. "Saya tertarik karena tungku itu bisa membersihkan sampah langsung di pasar-pasar," kata Darul Tahkik, kepala Dinas Kebersihan Kotamadya Bogor. Meski pembuatan Tungku Magma, yang hak patennya sedang diusahakan lewat Kantor Pengacara Adnan Buyung Nasution, itu hanya Rp. 1 juta per unit, penciptanya tidak menghendaki pemesanan dengan cara jual beli. Hadi Sutomo, yang berkeluarga besar itu (12 anak, 11 cucu), meminta semacam royalti, misalnya Rp 500 untuk setiap meter kubik. Katanya, "Dengan cara seperti itu saya dapat hidup, dan pemerintah juga mendapat keuntungan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus