ALAT pendingin (AC) mobil, rupanya, selain menjanjikan kenyamanan juga keamanan. Sungguh, ini bukan kalimat iklan, tapi pendapat L.H. Roger, ahli lalu lintas dari Bank Dunia yang sudah 10 tahun lebih diperbantukan pada Direktorat Jenderal Perhubungan Darat. Setelah meneliti lalu lintas di 21 provinsi di Indonesia, Roger berkesimpulan bahwa mobil yang dipasarkan kemari dibikin dengan desain yang keliru. Sebab, mobil itu memang dirancang untuk negara maju yang merupakan pasar terbesar pabrik mobil. Ketika pabrik mobil - yang berada di negara maju seperti Jepang atau Amerika Serikat - menoleh ke pasaran negara berkembang, para perancangnya kiranya terlalu repot jika harus membuat desain khusus untuk pasar yang masih kecil. Maka, kualitasnya saja yang mereka turunkan agar sesual dengan kantung pembeli setempat. Hal itu diungkapkan Roger dalam suatu seminar bertema keselamatan lalu lintas di jalan raya. yang diadakan oleh Lembaga Keselamatan Lalu Lintas Jalan Raya (Traffic Safety Institute) di Jakarta, akhir bulan lalu. Konsekuensinya maca-macam. Desain ventilasi udara, misalnya, disiapkan untuk mobil yang dilengkapi alat pendingin, sehingga kalau mobil itu dipakai di sini tanpa AC, akan terlalu pengap rasanya. Kondisi tak nyaman itu akan menyebabkan emosi si pengendara mobil terlalu peka - dan in bisa menjadi salah satu faktor terjadinya kecelakaan "Jangan heran kalau tingkal laku sopir taksi di Jakarta kurang ramah," kata ahli tamatan Universitas Washington itu. Begitu pula kemudi dan rem mobil, katanya, sistem nya didesain dengan menggunakan power steering dan power brake - peralatan yang digerakkan listrik yang membuat kemudi dan ren mobil terasa lebih ringan Mobil yang dipasarkan disini umumnya tanpa peralatan itu, karena harganya memang mahal, kecuali tentu pada jenis mobil mewah. Untuk memasang power steering saja dibutuhkan biaya tambahan sekitar Rp 1,5 juta. Padahal, menurut Roger kepada Bambang Harymurti dari TEMPO, "Mengendarai mobil tanpa AC, power steering, dan power brake selama dua Jam, bisa sama lelahnya mengendarai mobil dengan fasilitas itu selama 10 jam." Roger, 43, yang sudah mengelilingi sekitar 100 negara itu masih melihat cacat lain dari seragamnya desain itu, di antaranya kemiringan kaca mobil. Karena disiapkan bagi konsumen di negara yang umumnya beriklim subtropis, kaca depan sengaja dipasang miring 37 derajat. "Itu sudut kemiringan yang cocok, karena disana kedudukan matahari agak condong," ujarnya. Padahal, di negara tropis seperti Indonesia - tempat matahari berkisar dalam posisi yang hampir tanpa sudut kemiringan kaca mengakibatkan cahaya terpantul (glare), yang akan menyilaukan mata pengemudi lain. Itu juga salah satu penyebab kecelakaan, tentu. BeIum lagi Soal postur tubuh orang Indonesia yang dianggap terlalu kecil untuk duduk di belakang setir mobil yang dirancang untuk orang Eropa atau Amerika. Itu terutama bisa dilihat pada sopir bis dan truk raksasa yang tak jarang harus mengganjal joknya dengan bantal. Sedangkan sebenarnya tinggi jok, permukaan kaca depan, dan jarak instrumen mobil sangat mempengaruhi kesigapan pengemudi. Semua itu, menurut Roger, menyebabkan kecelakaan lalu lintas di sini cukup tinggi. Dari data tahun 1979/1980 diketahui bahwa tingkat kecelakaan di Indonesia adalah 22 orang per 100 juta km Ini adalah salah satu model besaran yang biasa digunakan untuk mengukur tingkat kecelakaan. Data di atas menunjukkan bahwa setiap satu kendaraan menempuh,jarak 100 juta km sudah menabrak mati 22 korban. Angka itu, menurut Rogcr, mirip dengandi Nigeria pada tahun yang sama, atau dengan angka kecelakaan di Amerika Serikat 67 tahun yang silam. Dibandingkan dengan sesama negara ASEAN, kata Roger, angka kecelakaan di sini masih tertinggi, meski tak berapa berbeda dengan Muangthai dan Filipina: setiap hari terdapat 35-40 kematian korban kecelakaan lalu lintas. Selain desain yang sudah banyak disebut, Roger masih mengkritik karoseri kendaraan umum, yang sering kali mengabaikan keselamatan penumpang. Juga kaca-kaca yang dipakai, seperti ditemukan Roger pada mobil angkutan kota di Bandung, adalah kaca biasa, bukan kaca khusus untuk mobil (tempered glass). Akibatnya kalau pecah, karena tabrakan misalnya, kaca itu akan berbentuk runcing dan bisa menikam para penumpangnya. Dalam rangkaian observasinya, Roger mengungkapkan bahwa dalam suatu kecelakaan bis di Malang, 1980, dua dari 15 korban tewas cuma karena tertusuk kaca mobil. Itu dibenarkan Ir. Wibisarto Setiadjat, 47, Kepala Seksi Teknik Mesin, Balai Besar Industri Logam dan Mesin, Departemen Perindustrian, instansi yang mengawasi standar mobil di sini. "Kaca biasa terlarang dipakai mobil," katanya. Untuk itu, balai itu sudah membuat standar kaca khusus untuk mobil. Tentang desain yang digugat Roger? "Memang perlu dipikirkan desain mobll yang cocok di sini," jawabnya. Sementara itu, Wibisarto menjamin bah!a mobil yang telah melewati tes intansinya sudah memadai standar keamanannya. Sebab, katanya, "Di sini dipakai standar SAE Amerika."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini