SEBAGAI mahasiswa, Budhy, 26 tahun, dikenal ulet dan punya semangat menggebu. Setahun belakangan dia asyik memeram diri di Laboratorium Biokimia ITB, bergelut dengan spesimen mikroba, lensa mikroskop, dan berbagai macam larutan kimia. Tak sia-sia. Dia berhasil membidani kelahiran sejenis "makhluk baru", yang kelak bisa jadi makhluk penting pada dunia industri. "Makhluk baru" itu merupakan produk perdana dari ladang rekayasa genetika di republik ini. Dia muncul sebagai perpaduan antara jamur Penicillium chrysogenum, yang dikenal berjasa sebagai penghasil obat penisilin, dan bakteri Escherichiacoli. Kelahiran mikroba baru ini dilaporkan oleh Apel Budhy Susetyo dalam Seminar Rekayasa Genetika di Kampus ITB dua pekan silam. Budhy mengutak-atik struktur genetik mikroba itu untuk tugas akademisnya sebagai mahasiswa program pascasarjana (S2) di ITB. Dalam riset inl, dia menggunakan Escherichia coli, yang sering disebut bakteri Coli, sebagai inang, dan jamur P. chrysogenum sebagai penyumbang material genetik. Perpaduan dua jenis bahan genetik dari dua makhluk yang berbeda kelas ini tentu akan menghasilkan individu baru yang mewarisi sifat-sifat kedua tetua. Dalam kondisi alamiah, hanya keajaiban yang bisa memadukan dua unsur gen yang berbeda jenis itu. Keberhasilan pencangkokan gen itu baru tercatat di awal 1970-an. Transfer material genetik ini dimaksudkan untuk memperoleh kombinasi sifat yang menguntungkan pada satu individu. Sifat baik digabung dengan sifat baik. Namun, di negara maju seperti Amerika, Jerman, atau Jepang, keberhasilan pencangkokan gen ini baru pada tingkat makhluk berderajat rendah semacam bakteri atau jamur. Teknologi rekayasa genetika itu kini memang telah menampilkan sosoknya secara jelas. Proses pengambilan materi pembawa sifat menurun, yang disebut DNA (Deoxyribo Nucleic Acid), misalnya, telah punya teknik yang standar. Teknik baku itu juga tersedia untuk mentransfer materi genetik itu. Namun, Budhy tak menjiplak teknologi Barat itu secara mentah-mentah. Dia memodifikasi Metode Marmur -- salah satu teknik isolasi dan pencangkokan DNA yang paling populer -- dengan pemakaian enzim selulosa yang diambil dari tubuh bekicot. Enzim ini ternyata mempermudah Budhy mentransfer DNA jamur ke tubuh bakteri Coli. "Ini yang pertama di dunia," ujar Budhy tentang pemakaian enzim bekicot itu. Mula-mula Budhy menghadapi persoalan pelik dalam mengisolasi asam nukleat jamur itu. Teknik Marmur ternyata sulit untuk dipakai membongkar kulit sel jamur yang tebal, tanpa mengusik benda-benda di dalamnya. Bujangan kelahiran Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah ini berpikir keras. Lantas, "Saya teringat bekicot," tutur Budhy, sarjana biologi ITB 1986 yang kini menjadi mahasiswa S2 tanpa beasiswa ini. Bekicot tak punya mulut. Namun, dia mampu memproduksi lendir yang bisa menghancurkan sel-sel dinding daun, yang terbuat dari bahan selulosa. Lendir itu disebut enzim selulosa. Budhy pun mencobanya. Enzim itu dimasukkan ke dalam larutan nutrisi yang berisi biakan jamur P. chrysogenum. Biakan itu diinkubasikan selama 24 jam, pada suhu 37 Celsius. Setelah ditambah dengan pelbagai macam bahan kimia, media berisi jamur yang telah dikuliti itu dipanaskan, ditambah bahan kimia lagi, dikocok-kocok, dan dimasukkan ke dalam-centrifuge, alat putar yang memisahkan partikel-partikel itu berdasarkan bobotnya. Lima menit larutan itu diputar dengan kecepatan tinggi. Hasilnya: ada selapis larutan kental yang jernih. Itulah emulsi protein -- DNA ada di dalamnya. Lantas, emulsi itu ditambah dengan bermacam bahan kimia lagi, dan menghasilkan serabut DNA. Pencucian dengan alkohol bisa memisahkan serabut DNA dari bahan-bahan lain. Agar tak rusak, serabut itu disimpan dalam freezer bersuhu 2 Celsius. Enzim bekicot itu kembali berjasa dalam riset ini. Dinding terluar sel bakteri Coli rupanya tak tahan terhadap olesan enzim selulosa itu, dan mengelupas. Yang tersisa tinggal dinding tipis yang mudah ditembus DNA. Lantas, acara transfer itu dilakukan dengan mencampur DNA dan bakteri itu ke dalam alat centrifuge yang diputar selama 30 menit. Agar penerobosan itu berlangsung sukses, Budhy menambahkan pula ion kalsium, magnesium, dan larutan PEG (Polyethylene glycol), sebagai penginduksi. Dalam transfer ini, Budhy tak mengikuti pola baku, yang memanfaatkan jasa virus atau plasmid sebagai pengantar (vektor) DNA masuk ke dalam sel bakteri. Pada mulanya banyak yang menyangsikan cara kerja Budhy. "Ahli-ahli asing yang membantu penelitian di ITB pun meragukan keberhasilannya," tutur Dr. Muhammad Wirahadikusuma, dosen pembimbing Budhy. Kendati belum menghasilkan penisilin, mikroba karya Budhy Susetyo ini diyakini sebagai makhluk baru. Serangkaian pengujian telah menunjukkan bahwa mikroba baru ini berbeda dengan inangnya. Bakteri Coli diketahui tak mampu menguraikan zat gula sukrose. Sedangkan mikroba baru itu mampu menguraikan sukrose lewat metabolismenya. Kemampuan ini merupakan warisan P. chrysogenum. yang memang doyan sukrose. Dalam uji lanjutan, juga terbukti bahwa mikroba baru ini tak berkutik jika berada dalam larutan standar Mc. Conkey. Di lain pihak, Coli yang asli betah tinggal dalam media berisi amino Triptofan itu, dan menguraikannya menjadi asam. Mikroba baru hasil transformasi itu ternyata juga masih mewarisi sifat Coli: bisa mengurai gula maltosa dan manitol. Putut Tri Husodo (Jakarta) dan Sigit Haryato (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini