SORE itu Kornalia, 40 tahun, tengah sibuk memanen jagung bersama anak laki-lakinya, Eklopas, 10 tahun. Tiba-tiba dua orang laki-laki, masing-masing menggenggam parang, berkelebat meloncat ke kebun itu. Kornalia terkesiap, dan dengan suara menghiba ia meminta belas kasihan. "Jangan, jangan ...." Tapi kedua lelaki tadi, Andreas Finit, 50 tahun, dan anaknya, Dominggus Finit, 29 tahun, tak punya rasa kasihan. Parang Andreas segera menghajar ibu malang ini. Lengan kiri Kornalia nyaris putus. Jerit kesakitannya lenyap ketika parang itu mampir lagi di kepalanya. Ia ambruk, tewas di tempat itu. Eklopas, yang ketakutan melihat kejadian itu, mencoba lari. Tapi baru lima langkah, bocah itu sudah dihadang Dominggus. Sekejam ayahnya Dominggus menyudahi anak kecil itu. Mayat ibu dan anak itu kemudian mereka campakkan ke kali kering dan ditutupi daun jagung. Kedua pembunuh kejam yang menggegerkan Desa Nonbes, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur itu Jumat dua pekan lalu mendapat ganjaran setimpal di Pengadilan Negeri Kupang. Mereka, Andreas Finit dan Dominggus Finit, divonis majelis hakim yang diketuai H. Zainal Arifin masing-masing 20 tahun penjara. "Kesadistisan mereka mengakibatkan duka yang amat dalam bagi keluarga korban," kata Zainal. Jaksa Guritno, yang sebelumnya menuntut Andreas penjara seumur hidup, dan untuk Dominggus 15 tahun penjara, cukup puas atas vonis itu. "Mereka memang harus diberi pelajaran setimpal," ujar Guritno. Kasus pembunuhan ini berawal dari sengketa antara Andreas dan Petrus Nome suami Kornalia. Andreas mengklaim kebun jagung Petrus itu adalah miliknya. Karena tak diladeni, konon, Andreas pernah membakar kebun itu. Masih belum puas rupanya, ia kemudian membantai anak dan istri Petrus. Dua orang penduduk yang tampil sebagai saksi, Ferdinan dan Marten, mengaku bahwa pada pagi hari sebelum pembunuhan terjadi mendengar niat Andreas. "Hari ini saya mau potong orang. Kamu tak usah tahu siapa dia. Pokoknya, kamu jangan bilang siapa-siapa," ujar Andreas. Benar saja, hari itu, 18 April lalu, Kornalia dan anaknya tewas terbunuh. Setelah melaksanakan niatnya, Andreas, konon, masih menyempatkan diri datang ke rumah Petrus. Ia berpura-pura menanyakan Kornalia kepada anak Petrus yang tertua, Adonia Nome, 14 tahun. Ketika dijawab belum pulang, Andreas berlalu begitu saja. Adonia rupanya curiga. Ia buru-buru mencari Petrus, yang waktu itu berada di kebun lain. Petrus segera mencari istri dan anaknya setelah diberi tahu Adonia. Tapi kedua orang itu tak ditemukannya. Baru keesokan harinya, Andreas menemukan mayat Kornalia dan Eklopas, yang ditutupi daun jagung, Desa Nonbes pun geger. Keluarga Petrus menduga Andreaslah pelakunya. Isu pun beredar bahwa Petrus akan menuntut balas. Mendengar itu, Andreas hari itu juga meminta perlindungan ke kantor polisi. Tapi polisi menyuruhnya pulang. Namun, keesokan harinya, Andreas dan Dominggus kembali ke Polsek Amarasi. Kali ini untuk menyerahkan diri. "Sayalah pembunuhnya," katanya. Ia mengaku tak menyukai keluarga Petrus. "Tanah saya diambilnya," tambah Andreas. Tapi di persidangan Andreas dan Dominggus membantah kembali pengakuannya di polisi. Pada hari kejadian itu mereka mengaku berada di desa lain, Desa Tua Tuka. Tentang Berita Acara Pemeriksaan, katanya, itu dibikin-bikin polisi. "Kami disiksa. Semua pengakuan karangan polisi," kata Andreas di persidangan. Bahkan mereka mengatakan tak mengenal saksi yang dihadapkan ke persidangan. Jaksa Guritno tak sedikit pun percaya atas bantahan itu. "Alibi maupun sangkalan itu tak sedikit pun menggugurkan dakwaan," kata Guritno. Hakim Zainal sependapat. "Terdakwa hanya coba-coba berkelit," ujar Zainal. Laporan Jalil Hakim (Biro Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini