SETELAH tujuh bulan jasad Sawi, 25 tahun, tercampak begitu saja di jurang Nglambreh, Setren, Wonogiri, Jawa Tengah. Sementara itu, pembunuhnya, suaminya sendiri, Sarmin, dengan tenang menyebutkan istrinya itu masih di Jakarta -- Sawi memang menjadi pelacur di Ibu Kota. Ternyata, roh wanita muda itu tak tenang, dan konon membongkar sendiri kejahatan itu. Berkat itu, Senin dua pekan lalu, si pembunuh bisa dibekuk polisi. Suatu malam 11 Oktober 1988, adik mendiang, Tino, kaget karena tiba-tiba dibangunkan istrinya, Sawitri. Si istri, ceritanya, bermimpi disuruh kakak iparnya, Sawi, menggoreng tempe. Tapi tempe itu, katanya, tiba-tiba berubah menjadi merah darah. Setelah itu, entah kenapa Sawi menuntunnya ke jurang Nglambreh, Setren. Tapi Tino tak begitu peduli. "Tenang saja, nggak ada apa-apa. Sawi ada di Jakarta," kata Tino mencoba menenteramkan istrinya. Sawitri tidur kembali. Tapi tak lama kemudian, Sawitri terbangun lagi dan bagai orang kesurupan, ia berteriak-teriak. "Rumahku bukan di Jakarta, tapi di jurang Nglambreh," teriaknya berkali-kali. "Ia" juga berpesan agar kedua anaknya, Sarimi (8 tahun) dan Sarjo (6 tahun) -- anak hasil perkawinan Sawi dan Sarmin dijaga baik-baik. Gara-gara kasus kesurupan itu, Tino dan juga tetangga yang ikut mendengar teriakan itu jadi curiga. Benarkah Sawi masih di Jakarta? Wanita itu memang diketahui penduduk bekerja sebagai pelacur di Jakarta. Sementara itu, suaminya, Sarmin, seorang buruh tani, bertugas menjaga anaknya di desa. Hanya setiap empat bulan keluarga itu bisa berkumpul, bila Sawi pulang ke desanya. Desas-desus pun berkembang. Sebab, sudah tujuh bulan Sawi tak pernah muncul di desa itu. Polisi, yang belakangan mendengar isu itu, mengaduk Jurang Nglambreh, yang disebut-sebut Sawitri ketika kesurupan. Ternyata, di jurang itu -- sekitar 3 kilometer dari rumah Sawi -- ditemukan seonggok rambut, BH, dan sobekan baju batik. Hari itu juga, Senin, 31 Oktober lalu, polisi menangkap Sarmin. Lelaki bertubuh kecil yang tak mengenyam pendidikan sekolah ini mengaku terus terang telah membunuh istrinya. Ia pun menangis. "Waktu itu saya emosi dan tidak sadar," katanya kepada TEMPO. Suatu hari, di bulan Puasa, 28 April lalu, cerita Sarmin, ia lagi asyik menyabit rumput bersama Sayem, 26 tahun, kakak kandung Sawi sendiri. Tiba-tiba muncul Sawi membawa kayu pemukul. Tampaknya, Sawi cemburu melihat suaminya menyabit rumput bersama kakaknya. "Bagus, ya. Sekarang yang mati aku atau kamu," kata Sawi, seperti diceritakan Sarmin. Melihat Sawi marah, Sayem menjauh. "Saya takut karena adik saya itu cerewet dan galak," kata Sayem. Sawi, yang bertubuh besar itu, konon, tak main-main. Dengan kayu tadi, Sarmin dihajar, mengenai kepala dan mulutnya. Masih cerita Sarmin, ia kemudian bangkit membalas. Sekali tendang istrinya itu terjungkal. Ketika itulah ia mencekik leher Sawi. Wanita itu meronta-ronta. Tapi tubuhnya kemudian didorong Sarmin ke jurang sedalam 500 meter itu. Dari dasar jurang tersebut, lambat-lambat Sarmin masih mendengar erangan istrinya. "Uuhh ... uuhh ... uuhh ...!" Selesai membereskan Sawi, Sarmin menemui Sayem, yang ketika itu sudah pindah mencari rumput ke tempat lain. "Istrimu di mana?" Jawab Sarmin enteng: "Mati di sana, aku bunuh." Sejak itulah kematian Sawi hanya diketahui mereka berdua. Kepada semua tetangga, Sarmin hanya menyebutkan istrinya ke Jakarta. Sementara itu, Sayem tak pula melaporkan kejadian itu kendati tak pernah diancam Sarmin. "Saya juga takut dibunuh," kata Sayem. Wanita itu juga membantah mempunyai hubungan cinta dengan Sarmin. "Tidak. Dia 'kan ipar saya. Lagi pula, waktu itu saya masih punya suami," kata Sayem, yang baru dua bulan lalu menjanda. Sarmin juga membantah mempunyai hubungan gelap dengan Sayem. "Saya sangat mencintai istri saya, walaupun dia sering marah dan cemburuan," kata Sarmin. Bahkan, profesi Sawi sebagai pelacur pun, katanya, tak melunturkan cintanya kepada wanita itu. Yang belum bisa diungkapkan agaknya hanyalah soal Sawitri, yang kesurupan sehingga pembunuhan itu terbongkar. Benarkah roh Almarhumah tak puas dan membongkar sendiri pembunuhnya? Wallahualam. Laporan Biro Yogyakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini