Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Mencoba kembali realisme

Produksi : studi klub teater bandung pemain : yati s., ricky h., silalahi, dll. naskah : tennessee william sutradara : suyatna anirun.

19 November 1988 | 00.00 WIB

Mencoba kembali realisme
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
JANGAN BIARKAN PAGI DATANG Produksi: Studi Klub Teater Bandung Pemain: Yati S., Ricky H., Silalahi, Deddy S., Adhimiharja Naskah: Tennessee William Sutradara: Suyatna Anirun TERSEBUTLAH Beni Togar, pemuda petualang yang melanglang dengan jaket kulit ular dan gitarnya. Ia terdampar ke toko milik Jabe Tombaya di pinggiran kota. Di sana ia bekerja, atas bantuan Weni Turang, seorang pelukis -- istri Sersan Turang yang berkuasa di kawasan itu. Mira Tombaya, pemilik toko yang mula-mula bersikap dingin, akhirnya bersimpati pada Beni. Ia bahkan membiarkan Beni menghuni salah satu ruangan di dalam toko. Suaminya yang hampir menjelang ajal sempat tak diacuhkannya. Sikapnya ini membuat keki Sandra, wanita lain yang bersimpati pada Beni. Tapi Beni juga bersikap manis pada Weni, sehingga suaminya jadi berang. Beni, yang mengaku kesepian sepanjang hidupnya, seperti menemukan sesuatu pada Mira. Ia jatuh cinta, lantas mengajak wanita itu lari. Tetapi Mira tak sanggup. Sebelum semuanya berkelanjutan, tiba-tiba muncul Tombaya dari tangga atas dengan sepucuk pistol, dan menembak. Beni terpaksa kabur. Sersan Turang pun muncul memburu Beni. Tennessee William, salah seorang penulis drama di Amerika Serikat, terkenal karena beberapa karyanya, antara lain, The Glass Menagerie, The Rose Tattoo, A Street Car Named Desire. Penulis ini besar perhatiannya pada rasa sunyi dalam diri manusia. Ia mengetengahkan pribadi-pribadi yang pecah sehingga muncullah sosok-sosok yang aneh. Karya-karyanya sudah meluncur ke layar putih. Sekarang, meskipun menjadi klasik di Amerika, karya Tennessee tetap dikaji, di samping karya Arthur Miller dan O'Neil. Diterjemahkan oleh Asrul Sani, naskah ini terdengar seperti puisi. Kalimat-kalimatnya melayang di atas kenyataan, menjadi bahasa buku. Ungkapan-ungkapannya aneh diucapkan sebagai dialog. Suyatna Anirun telah mencoba mengganti nama-nama dalam lakon itu, sehingga dapat ditempelkan di peta bumi kita. Tetapi persoalan-persoalan kejiwaan yang dipidatokan oleh beberapa karakter, membuat naskah itu tetap kikuk. Terutama bahasanya yang tidak hidup dengan alam pikiran bahasa Inggris membuat ia menjadi lahan indo yang alot untuk dimainkan dalam gaya realistik. Sayang, materi para pemain STB nampak tak mendukung ide tersebut. Sebuah teater yang realistik menuntut persyaratan permainan individu yang tinggi. Tidak hanya pada vokal atau hal-hal teknis lainnya, tetapi juga pada kematangan jiwa karena letak persoalannya adalah pada pameran perkembangan watak tokoh. Dengan barisan pemain-pemain muda, pertunjukan STB kali ini kelihatan di bawal reputasi mereka sebelumnya. Naskah yang dipenuhi kalimat-kalimat yang tak hidup telah menciduk para pemain pada kotal kata-kata. Tak sempat terjadi percakapan dan peristiwa di panggung. Kadang terlihar pemain sama-sama menunggu giliran bicara. Ketika sejumlah orang berkumpul dalam satu adegan, yang muncul bukan suasana, tetapi aktivitas sendiri-sendiri, dengan kalimat-kalimat "formal" yang tak berjiwa. Suyatna Anirun, yang kita kenal sebagai pemain jempolan, tak sempat menulari pemain-pemainnya dengan keunggulannya itu. Sebagai sutradara, ketelitiannya kali ini dikalahkan oleh kesabarannya. Kepaduan tontonan tak bisa dijaga oleh pemain, sehingga persembahan menjadi lamban, bukan terlalu intens, tetapi karena individu-individu tidak hidup. Sebenarnya, materi pemain tak terlalu miskin. Deddy Adhimiharja (Tombaya), Raksa Muhammad, dan Ricky (Beni Togar), misalnya, memiliki vokal yang baik. Tetapi Tombaya hanya muncul sekejap. Beni, sebagai peran utama, terlalu polos, ia belum mengembangkan peluangnya. Sedangkan Raksa, yang main sebagai dukun, hanya orang lewat. Penata artistik sudah mencoba mengisi panggung Rumentang Siang yang terbilang sempit itu dengan rajin. Dari sudut penggarapan set STB mungkin dapat dibandingkan dengan Teater Populer di masa lalu atau Teater Koma saat ini di Jakarta. Ketekunannya menarik, mengingat sudah semakin langkanya usaha menampilkan set yang realistik. Bahkan tak jarang set realistik dianggap sebagai tanda "keterbelakangan". Lebih penting dari semua itu, saya kira wawasan yang ada di balik pementasan kali ini terasa ragu-ragu. Saya sempat menonton pertunjukan STB sebelumnya. Terlepas dari nilai pertunjukannya, terasa ada garis yang jelas: akar budaya Sunda. Dalam pertunjukan hali ini, akar tersebut tak terasa lagi. Yang muncul adalah usaha untuk menghidupkan kembali sandiwara realis, dan entah kenapa, itu langsung mengikis warna yang telah dimiiki STB. Akibatnya, pertunjukan menjadi tak berdarah. Apakah realisme bertentangan dengan nilai teater tradisional? Dalam usia 30 tahun, aktivitas dan organisasi STB mencatat sejarah penting dalam peta teater modern Indonesia. Dokumentasi yang rapi (seperti yang nampak dalam ruang pameran di samping gedung pertunjukan), sejak STB masih dipimpin Jim Adilimas (kini di Paris), merupakan bukti hebatnya kelompok ini. Embah teater di Kota Bandung ini kini hanya kekurangan greget untuk memberikan darah dalam setiap gebrakannya. Bila wawasan ditegaskan lagi dan pentolan-pentolan STB yang lain berikut Suyatna sendiri kembali turun ke panggung, saya yakin STB akan lain. Putu wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus