Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Wahana Nirawak Bongkar-Pasang

Lengan berbaling-baling wahana bisa dilepas sehingga proses penyimpanan dan perawatan lebih mudah. Dilengkapi pesawat terbang nirawak mini untuk memantau daerah yang sulit dijangkau.

27 April 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Wahana Nirawak Bongkar-Pasang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Material : Akrilik
Lengan baling-baling : 4
Berat : 1,4 kilogram
Bobot UAV (flapping wing) : 20 gram. Dilengkapi kamera. Bisa dilepaskan dari drone ketika terbang untuk membantu memantau kawasan yang sulit dijangkau.
Panjang diagonal : Dengan lengan baling-baling 60 sentimeter
Tanpa lengan baling-baling 35 sentimeter
Baterai : Litium-polimer 3.500 miliampere-jam
Durasi terbang : 10 menit

Wahana Nirawak Bongkar-Pasang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tim Dirgantara Project berisi para mahasiswa teknik dirgantara Institut Teknologi Bandung merancang wahana nirawak atau drone dengan desain unik. Mengusung konsep modular drone, mereka membuat wahana terbang dengan empat lengan yang dilengkapi baling-baling itu bisa dibongkar-pasang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tim yang beranggotakan Rizki Duatmaja, Damardayu A.H., Muhammad Nur -Badruddin, Arifian Sandovic, dan Rizqy Agung itu juga membuat pesawat terbang tak berawak alias unmanned aerial vehicle (UAV) mini berbentuk seperti capung yang melengkapi kinerja drone

Dibantu dosen pembimbing Mochammad Agoes Moelyadi, tim menyiapkan wahana nirawak sejak akhir 2018. Mereka menggunakan material akrilik sebagai penutup atas dan bawah mesin. Di setiap ujung lengan drone terpasang baling-baling dua bilah. Lengan yang bisa dicopot-pasang itu membuat penyimpanan drone lebih efisien. “Bongkar-pasang juga memudahkan perawatan,” kata Rizqy, Selasa, 2 April lalu. 

Drone tersebut mengantarkan tim menjuarai Singapore Amazing Flying Machine Competition kategori E (Unconventional) untuk umum di Institute of Technical Education College Central, Singapura, pada 14-23 Maret lalu. Acara ini merupakan kompetisi tahunan yang diselenggarakan DSO National Laboratories dan Science Center Singapore dengan dukungan Kementerian Pertahanan Singapura. 

Biasanya tubuh drone sebagai wadah komponen mesin dan baterai dibuat menyatu dengan setiap lengan wahana yang menjadi tempat pemasangan baling-baling. Desain ini memudahkan pemasangan jaringan kabel yang mengalirkan listrik dari baterai ke motor baling-baling. 

Konsep modular drone bisa memutus koneksi mesin dan baterai dengan lengan berbaling-baling. Agar koneksi bisa tersambung dan listrik mengalir lagi, para mahasiswa mengambil inspirasi dari bilah seng pada tempat baterai mobil mainan anak-anak. 

Bilah kecil seng yang diselipkan di sisi dalam kotak baterai itu sanggup mengalirkan daya untuk menggerakkan mobil. Konsep ini mereka terapkan di ujung-ujung lengan drone. Agar sambungan lengan lebih erat menempel, mereka menambahkan magnet kecil di setiap tepi lengan penyambungan. 

Trik tersebut berhasil membuat drone terbang. Drone itu juga bisa dipasangi roda kecil sehingga dapat meluncur layaknya mobil. Selain itu, lampu LED bisa ditambahkan sebagai indikator bahaya di sekitarnya. 

Dalam lomba, drone mahasiswa ITB tersebut menjalankan misi membawa kotak obat ke pasien melewati rintangan rak empat tingkat. Setelah pendaratan, lengan baling-baling dilepas dan drone dikendalikan sebagai mobil pengantar obat sambil membersihkan rintangan di sekitarnya. 

Dalam misi lain, drone membawa flapping wing alias UAV mini untuk memantau satu lokasi. Sementara drone terbang, UAV yang dilengkapi kamera yang tersambung dengan monitor di darat dilepas untuk memantau kawasan yang sulit dijangkau wahana nirawak itu. 

Menurut Damardayu, drone buatan timnya masih perlu dikembangkan. Magnet pada sambungan lengan baling-baling perlu diganti dengan sistem pengunci lain karena magnet ternyata mengganggu pengendali kecepatan dan membuat putaran baling-baling tidak sama. 

Sisi desain dan material drone juga perlu diperbaiki. Material akrilik yang mereka gunakan saat ini masih lebih berat dibanding panel serat karbon. “Bahan itu lebih ringan dan kuat,” tutur Damardayu. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus