Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa modus di antaranya dijalankan lewat politik uang. Ada pula praktik intimidasi yang meminjam tangan aparat. Skandal itu diulas dalam artikel Tempo berjudul “Misteri di Kotak Suara?”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Upaya membongkar kecurangan dalam pemilihan umum tampaknya bagaikan menegakkan benang basah: sama-sama sulit. PPP mempunyai buku setebal lebih dari 100 halaman berisi laporan berbagai daerah tentang adanya kecurangan dalam Pemilu 1987. PDI kabarnya mempunyai catatan kecurangan yang tak kalah tebalnya. Tapi tak satu pun yang akhirnya masuk pengadilan. Kini laporan kecurangan pemilu yang baru saja usai tampaknya tak juga mengendur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Umum PPP Ismail Hasan Metareum bertekad membawa beberapa kasus ini ke meja hijau. Konon, Buya Ismail bahkan akan mengadukan Gubernur Aceh Ibrahim Hasan ke panitia pemilu. Tuduhannya, Gubernur membagi-bagikan uang dalam jumlah besar untuk memenangkan Golkar. -Ibrahim menyangkal tuduhan Buya Ismail.
Meski begitu, Ibrahim mengakui ada jatah Rp 500 ribu untuk tiap camat dan Rp 100 ribu buat kepala desa di Aceh. “Tapi itu bukan dari saya. Uang itu sumbangan pengusaha Aceh, terutama yang berdiam di Jakarta. Itu hanyalah uang lelah dan tak ada kaitannya dengan memenangkan Golkar,” ujar Ibrahim Hasan, yang berhasil menambah satu kursi Golkar di Aceh dari lima kursi pada Pemilu 1987.
Dijelaskan Ibrahim, ide mengumpulkan uang ratusan juta rupiah itu datang dari Kepala Bulog dan Menteri Koperasi Bustanil Arifin, yang selama sebulan penuh berkampanye di Aceh. Biasanya dana yang disumbangkan pengusaha Aceh setiap tahun itu dipakai untuk membangun masjid atau diberikan kepada rakyat Aceh. Tapi, karena tahun ini ada pemilu, kata Ibrahim, “Dana tadi dialokasikan sebagai hadiah untuk para camat dan lurah.”
Di Sumatera Barat, main kayu ternyata lebih kasar. Syofyan Yusuf, 33 tahun, saksi PPP di Desa Pinang Makmur, Pulau Punjung, Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung, sudah sepekan ini tak berani pulang ke kampungnya. Usup—begitu Syofyan biasa dipanggil—menginap di kantor pengurus wilayah PPP di Kota Padang. Pengalaman buruk disiksa di kantor polisi masih menghantuinya.
Kisahnya, dua hari menjelang hari pencoblosan, rumah Usup digedor keras. Begitu pintu terkuak, sebuah batu sebesar kepalan tangan menghajarnya. Usup roboh. Dan, ketika dia bangkit, sepucuk pistol sudah bertengger di batang hidungnya. Dia dituduh merobek tanda gambar Golkar dan menukarnya dengan tanda gambar PDI. Percuma saja dia membela diri dengan berkata, “Saya orang PPP, buat apa memasang tanda gambar PDI.”
Bak penjahat kelas berat, dengan kaki dan tangan terborgol, Usup diseret ke Kepolisian Sektor Pulau Punjung. Interogasi berlanjut. Usup digasak habis sampai wajah dan hidungnya berdarah. Baru lima hari kemudian Usup diantar ke balai desa, setelah dipaksa menandatangani pernyataan tak pernah ditahan. “Saya memang tak ditahan karena tak ada surat penahanan. Tapi disiksa dan dikurung selama lima hari di sel, siapa yang berani membantah,” ujarnya.
Di Bangkalan, Madura, ada soal pelanggaran yang tak bisa didamaikan. Haji Muhammad, 62 tahun, warga senior Nahdlatul Ulama yang menjadi saksi PPP di TPS II Desa Sanggra Agung, menangkap basah Rifai, anggota pertahanan sipil, yang memegang sepuluh surat suara dan siap memasukkannya ke kotak suara saat kelompok penyelenggara pemungutan suara serta para saksi menunaikan salat zuhur. Ketika Rifai disergap, di tangannya ada surat suara yang sudah dicoblos pada nomor dua.
Muhammad juga menaruh curiga pada Roshid, ketua rukun tetangga setempat, yang dianggapnya terlalu lama berada di bilik suara. Ketika Muhammad nekat menggeledah Roshid, di saku ketua RT itu ada 20 kartu suara—dan lagi-lagi dengan coblosan sah pada tanda gambar Beringin. Roshid tak mengelak ketika ditanyai Tempo tentang kartu suara yang dikantonginya. “Saya melakukan itu karena disuruh Pak Kepala Desa,” ucap Roshid, terus terang.
Akankah kasus-kasus ini dibawa ke pengadilan? Ini tentu bergantung pada seberapa kuat bukti-bukti yang dimiliki si pengadu. Misalnya apakah para saksi berani hadir di pengadilan. Seperti dikatakan Wakil Ketua DPD PDI Jawa Timur Djamawi, ia ragu ada saksi yang mau maju kalau kasus dilanjutkan ke pengadilan. Sudah bisa ditebak, nasib laporan itu hanya akan mempertebal laporan-laporan serupa yang selama ini dibikin dari pemilu ke pemilu.
Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi 4 Juli 1992. Dapatkan arsip digitalnya di:
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo