SUPERMAN III
Pemain: Chnstopher Reeve, Richard Pryor, Robert Vaughn
Skenario: David dan Leslie Newman
Sutradara: Richard Lester
DI Metropolis, kawasan bumi yang dipilih Superman untuk bermukim
dan berkarier, arus kehidupan bergerak menyongsong abad ke-21.
Kekacauan lalu lintas yang kocak, misalnya, bisa terjadi
tiba-tiba hanya karena di satu pusat komputer, orang salah
menekan tombol. Fantasi pun dibiarkan jauh mengembara,
sampai-sampai gambar yang berfungsi sebagai rambu lalu lintas
tampak meloncat dan baku hantam. Tak ubah manusia saja layaknya.
Barangkali inilah jenis humor yang bermuatan teknologi tinggi.
Sutradara Lester memang sejak awal membangun suasana yang jauh
berbeda untuk Superman III. Kaitan tokoh komik ini dengan planet
asalnya ataupun kehidupan angkasa luar, seperti yang bisa
ditemukan dalam Superman I, II, tidak nampak sama sekali. Pendek
kata, cerita betul-betul membumi, sedangkan Superman tampil
secara lebih manusiawi. Dia bisa lalai hingga sebuah truk terjun
dari jembatan tinggi ke dasar sungai. Lain kali dia iseng dengan
Lorelei Ambrosia, si cantik seksi yang berotak cemerlang. Di
Smallville, Superman jatuh hati pada janda muda, Lana Lang,
hingga timbul kesan wartawati Lois tidak pernah hadir dalam
hidupnya. Tidak jarang ia mabuk, bertingkah sembarangan.
Masyarakat pengagumnya kecewa dan bertanya-tanya: "Adakah dia
Superman atau bukan?"
Tapi sebagaimana layaknya film action, adegan fantastis muncul
silih berganti. Selain terbang, Superman tak luput memperagakan
beberapa keajaiban: membekukan air, meremas batu, meluruskan
menara Pisa, sampai meniup genangan minyak di lautan.
Tema yang sesungguhnya tetap berkisar pada pertarungan baik dan
jahat, benar dan salah. PertarungKan terjadi di satu pihak
antara jutawan tamak Ross Webster (Robert Vaughn) dan Superman
(Christopher Reeve). Di pihak lain antara unsur baik dan jahat
dalam diri Superman sendiri. Yang terakhir ini boleh dibilang
unik, mencerminkan upaya menimba jauh ke dalam perigi jiwa
Superman. Maka, tampillah sebuah dimensi lain yang tidak biasa
kita kenal dalam film action. Satu eksperimen yang pantas
dicatat.
Cerita bermula pada programmer komputer: Gus Gorman, (Richard
Pryor), seorang petugas dalam perusahaan raksasa milik Webster.
Tidak puas dengan gajinya yang kecil, Negro ini memutar otak. Ia
temukan siasat cerdik: setengah sen dari gaji ribuan pegawai
Webster diprogramkannya sedemikian rupa hingga termasuk dan
tercatat sebagai gajinya sendiri. Akal licik itu berhasil: gaji
Gus melonjak sampai US$ 85.000. Ia tergagap sendiri. Rupanya
dia jenius, bisa memperdayakan pusat komputer yang terbilang
besar di Metropolis.
Kecurangan Gus akhirnya diketahui Webster, sang bos. Tidak kalah
licik, Webster bersama Vera, adiknya, memperalat Gus.
Kemahirannya mengutak-atik komputer yang bisa mengirim
macam-macam perintah ke satelit dimanfaatkan pertama-tama untuk
menghancurkan produksi kopi di Kolumbia. Menurut Webster, negara
berkembang yang bandel itu mesti dihajar. Dia jengkel karena
Kolumbia tidak mau menyesuaikan harga kopi dengan mekanisme
pasar yang diagung-agungkan kapitalis. Perubahan cuaca, yang
diatur lewat komputer, memang berhasil menghancurkan ladang kopi
seketika. Di padang salju buatan, di pelataran atau gedung
bertingkat, Webster menikmati berita malapetaka itu, tanpa
mengetahui bahwa Superman segera menghentikan badai
mengembalikan tiap biji kopi ke tangkainya.
Meski kecewa, si tamak itu tidak jera. Masih memperalat Gus,
muslihat baru dialihkan ke minyak. Hampir berhasil tapi
lagi-lagi digagalkan Superman. Geram dan kesal, sasaran
berikutnya adalah Superman sendiri. Dengan menghadiahkan
sebungkah kriptonit buatan, yang komposisi mineralnya tidak 100%
benar, Superman berubah watak, tapi tidak dapat dilumpuhkan.
Juru selamat abad ke-20 ini tiba-tiba jadi brengsek. Khalayak
tidak percaya, tapi juga tidak dapat berbuat apa-apa. Pada tahap
ini, terjadilah duel seru Superman lawan Superman. Gelanggang
yang dipilih sungguh tepat: lapangan timbunan mobil bekas, khas
mewakili wajah peradaban sebuah negara maju.
Film ini bukanlah sekadar komik yang dipindahkan ke dalam gambar
hidup. Superman III lebih mewakili protes tidak langsung
terhadap kekuasaan teknologi berikut tata nilai yang
dipaksakannya pada masyarakat manusia. Diramu dengan sangat
cermat, ia merupakan tontonan yang lengkap: special effect
tanpa cacat, cerita yang lumayan, penngenalan pada komputer
berikut kerumitan kerja dan persenyawaan kimiawinya. Juga ada
humor dan sentuhan ke kalbu. Pada akhirnya, yang menimbulkan
haru bukan lagi kejayaan Superman di angkasa, tapi lambaian
tangan mereka yang di bawah, yang terkagum-kagum dan ingin
berterima kasih. Mereka semua manusia biasa yang pada dasarnya
tak berdaya.
Isma Sawitri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini