Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Superman mabuk

Sutradara: richard lester skenario: david dan leslie newman pemain: christopher reeve, richard pryor. resensi oleh: isma sawitri. (fl)

24 September 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUPERMAN III Pemain: Chnstopher Reeve, Richard Pryor, Robert Vaughn Skenario: David dan Leslie Newman Sutradara: Richard Lester DI Metropolis, kawasan bumi yang dipilih Superman untuk bermukim dan berkarier, arus kehidupan bergerak menyongsong abad ke-21. Kekacauan lalu lintas yang kocak, misalnya, bisa terjadi tiba-tiba hanya karena di satu pusat komputer, orang salah menekan tombol. Fantasi pun dibiarkan jauh mengembara, sampai-sampai gambar yang berfungsi sebagai rambu lalu lintas tampak meloncat dan baku hantam. Tak ubah manusia saja layaknya. Barangkali inilah jenis humor yang bermuatan teknologi tinggi. Sutradara Lester memang sejak awal membangun suasana yang jauh berbeda untuk Superman III. Kaitan tokoh komik ini dengan planet asalnya ataupun kehidupan angkasa luar, seperti yang bisa ditemukan dalam Superman I, II, tidak nampak sama sekali. Pendek kata, cerita betul-betul membumi, sedangkan Superman tampil secara lebih manusiawi. Dia bisa lalai hingga sebuah truk terjun dari jembatan tinggi ke dasar sungai. Lain kali dia iseng dengan Lorelei Ambrosia, si cantik seksi yang berotak cemerlang. Di Smallville, Superman jatuh hati pada janda muda, Lana Lang, hingga timbul kesan wartawati Lois tidak pernah hadir dalam hidupnya. Tidak jarang ia mabuk, bertingkah sembarangan. Masyarakat pengagumnya kecewa dan bertanya-tanya: "Adakah dia Superman atau bukan?" Tapi sebagaimana layaknya film action, adegan fantastis muncul silih berganti. Selain terbang, Superman tak luput memperagakan beberapa keajaiban: membekukan air, meremas batu, meluruskan menara Pisa, sampai meniup genangan minyak di lautan. Tema yang sesungguhnya tetap berkisar pada pertarungan baik dan jahat, benar dan salah. PertarungKan terjadi di satu pihak antara jutawan tamak Ross Webster (Robert Vaughn) dan Superman (Christopher Reeve). Di pihak lain antara unsur baik dan jahat dalam diri Superman sendiri. Yang terakhir ini boleh dibilang unik, mencerminkan upaya menimba jauh ke dalam perigi jiwa Superman. Maka, tampillah sebuah dimensi lain yang tidak biasa kita kenal dalam film action. Satu eksperimen yang pantas dicatat. Cerita bermula pada programmer komputer: Gus Gorman, (Richard Pryor), seorang petugas dalam perusahaan raksasa milik Webster. Tidak puas dengan gajinya yang kecil, Negro ini memutar otak. Ia temukan siasat cerdik: setengah sen dari gaji ribuan pegawai Webster diprogramkannya sedemikian rupa hingga termasuk dan tercatat sebagai gajinya sendiri. Akal licik itu berhasil: gaji Gus melonjak sampai US$ 85.000. Ia tergagap sendiri. Rupanya dia jenius, bisa memperdayakan pusat komputer yang terbilang besar di Metropolis. Kecurangan Gus akhirnya diketahui Webster, sang bos. Tidak kalah licik, Webster bersama Vera, adiknya, memperalat Gus. Kemahirannya mengutak-atik komputer yang bisa mengirim macam-macam perintah ke satelit dimanfaatkan pertama-tama untuk menghancurkan produksi kopi di Kolumbia. Menurut Webster, negara berkembang yang bandel itu mesti dihajar. Dia jengkel karena Kolumbia tidak mau menyesuaikan harga kopi dengan mekanisme pasar yang diagung-agungkan kapitalis. Perubahan cuaca, yang diatur lewat komputer, memang berhasil menghancurkan ladang kopi seketika. Di padang salju buatan, di pelataran atau gedung bertingkat, Webster menikmati berita malapetaka itu, tanpa mengetahui bahwa Superman segera menghentikan badai mengembalikan tiap biji kopi ke tangkainya. Meski kecewa, si tamak itu tidak jera. Masih memperalat Gus, muslihat baru dialihkan ke minyak. Hampir berhasil tapi lagi-lagi digagalkan Superman. Geram dan kesal, sasaran berikutnya adalah Superman sendiri. Dengan menghadiahkan sebungkah kriptonit buatan, yang komposisi mineralnya tidak 100% benar, Superman berubah watak, tapi tidak dapat dilumpuhkan. Juru selamat abad ke-20 ini tiba-tiba jadi brengsek. Khalayak tidak percaya, tapi juga tidak dapat berbuat apa-apa. Pada tahap ini, terjadilah duel seru Superman lawan Superman. Gelanggang yang dipilih sungguh tepat: lapangan timbunan mobil bekas, khas mewakili wajah peradaban sebuah negara maju. Film ini bukanlah sekadar komik yang dipindahkan ke dalam gambar hidup. Superman III lebih mewakili protes tidak langsung terhadap kekuasaan teknologi berikut tata nilai yang dipaksakannya pada masyarakat manusia. Diramu dengan sangat cermat, ia merupakan tontonan yang lengkap: special effect tanpa cacat, cerita yang lumayan, penngenalan pada komputer berikut kerumitan kerja dan persenyawaan kimiawinya. Juga ada humor dan sentuhan ke kalbu. Pada akhirnya, yang menimbulkan haru bukan lagi kejayaan Superman di angkasa, tapi lambaian tangan mereka yang di bawah, yang terkagum-kagum dan ingin berterima kasih. Mereka semua manusia biasa yang pada dasarnya tak berdaya. Isma Sawitri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus