Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERTAHUN-tahun sudah wabah pupuk urea melanda petani. Meski fungsi utama pupuk itu lebih pada pertumbuhan tanaman, petani seperti dirasuki harapan seolah-olah urea pasti bisa meningkatkan hasil tanaman. Tak aneh bila urea, yang disuplai industri pupuk secara besar-besaran, selalu digunakan petani dalam berbagai bentuk dan cara. Demikian gencarnya penggunaan pupuk urea, sampai-sampai jenis pupuk alternatif lainnya, misalnya zeolit, seakan-akan ''diharamkan".
Padahal, penggunaan zeolit bersamaan dengan urea bisa menurunkan ongkos produksi pertanian. Sekadar gambaran, untuk suatu usaha pertanian skala tertentu, penggunaan zeolit ternyata bisa menurunkan kebutuhan urea sampai 23 persen. Sedangkan harga zeolit, yang penampilannya seperti bongkahan batu kapur tapi berwarna kehijauan, hanya Rp 350 per kilogram. Harga ini jauh lebih murah ketimbang harga urea yang Rp 1.100 per kilogram itu.
Namun, wabah urea telanjur meminggirkan posisi zeolit. Akibatnya, mineral alam itu nyaris tak terdengar—meski materi tersebut bukan barang langka karena endapan debu vulkanis jutaan tahun itu tersebar di 50 wilayah di Indonesia. Zeolit, yang juga disebut batuan mendidih, merupakan senyawa kristal aluminosilikat yang terhidrat.
Kini, pamor zeolit sebagai pupuk alternatif mulai diangkat. Fungsinya selaku materi yang bisa mengefektifkan penggunaan pupuk konvensional, terutama urea, diperkenalkan melalui sebuah seminar di Yogyakarta, akhir Mei 2000. Karena strukturnya berupa tiga dimensi terbuka yang berongga dengan saluran-saluran, zeolit bisa berfungsi sebagai penyerap, penukar kation, dan katalisator.
Untuk pertanian, zeolit bisa menjadikan pupuk tidak mudah larut dan lebih cepat diserap tanah untuk kemudian dikonsumsi oleh tanaman. Ada empat cara penggunaan zeolit, yaitu penyebaran terpisah, pencampuran dengan butiran pupuk lalu ditaburkan, pembuatan pelet, dan pelapisan.
Menurut Dr. Yateman Arryanto, Ketua Ikatan Zeolit Indonesia, cara yang paling efisien adalah penggunaan zeolit dalam bentuk pelet. Dengan cara itu, ''Penggunaan pupuk pun bisa dihemat, sementara produksi tanaman semakin meningkat," kata Yateman.
Kesimpulan Yateman didukung oleh hasil penelitian di Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi, Subang, Jawa Barat. Dengan cara sebagaimana disebutkan di atas, ternyata produksi tanaman padi meningkat antara lima dan sepuluh persen, dengan catatan: panen optimal tersebut dicapai dalam kondisi penggunaan zeolit berkonsentrasi 20 persen zeolit, baik pada takaran 150 kilogram maupun 200 kilogram pupuk per hektare.
Untuk tanaman palawija, seperti jagung dan kedelai, peningkatan hasil serupa juga diperoleh. Demikian pula untuk pohon jati. Hal itu setidaknya diutarakan oleh Bambang Setiaji, dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, yang mengangkat zeolit dalam disertasinya. Bahkan, untuk tanaman tebu, ternyata penggunaan zeolit, melalui uji coba di laboratorium, bisa meningkatkan kadar gula antara 11 dan 12 persen. ''Peningkatan itu cukup signifikan," ujar Bambang.
Sekalipun demikian, zeolit tak bisa digunakan pada sembarang jenis tanah. Pada tanah berkapur yang berkalsium tinggi, penaburan zeolit justru akan membuat tanah mengeras. Sebaliknya, pada tanah masam, seperti tanah gambut di sebagian besar daerah pertanian di Kalimantan, pemberian zeolit akan mengakibatkan pengikatan unsur aluminium secara besar-besaran. Dua keadaan itu jelas bukan kondisi yang baik bagi tanaman. Karena itu, penggunaan zeolit paling baik pada tanah podsolik, jenis tanah yang tak terlalu masam dan tak terlalu bersifat basa, seperti di daerah Pulau Jawa dan Sumatra.
Sebetulnya, fungsi zeolit tak terbatas untuk pertanian. Zeolit bisa juga dipakai untuk industri, misalnya untuk bahan penukar ion dalam proses penjernihan air serta katalisator dalam pemurnian minyak dan cat, bahan bangunan, dan pelbagai industri kimia lainnya. Di bidang lingkungan, zeolit digunakan sebagai bahan penyerap bau, penyerap logam berat, serta penjernih air pada tambak ikan dan udang. Bahkan, senyawa itu dapat pula digunakan sebagai bahan penyerap limbah nuklir.
Untuk Indonesia, tentu pemanfaatan zeolit punya prospek bagus. Apalagi zeolit di sini tak perlu sampai diproduksi lewat industri seperti di Jepang, contohnya, yang memproduksi zeolit buatan sebanyak 150 ribu ton setahun. Di Indonesia, sudah ditemukan 50 lokasi yang berpotensi menghasilkan zeolit. Sampai saat ini, baru lokasi di Jawa dan Sumatra yang telah ditambang.
Yusi A. Pareanom, L.N. Idayanie (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo