Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
USIA Undang-Undang Arbitrase Tahun 1999 belum lagi setahun. Tapi peraturan tentang penyelesaian sengketa bisnis lewat wasit (arbiter) tak henti-henti diamendemen pihak pengadilan. Senin pekan lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengalahkan PT Roche Indonesia setelah digugat PT Tempo. Padahal, pengadilan seharusnya tak boleh menguji perkara itu karena perjanjian bisnis antara Roche dan Tempo mencantumkan klausul arbitrase.
Beberapa waktu lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga telah memutus dua perkara listrik swasta antara Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan PT Paiton Energy serta Mid American Energy. Dalam dua perkara itu, perjanjiannya pun memuat pilihan hukum lewat forum arbitrase. Tapi hakim menganggap bisa mengadili perkara itu. Alasannya, yang dipersoalkan adalah keabsahan kontraknya, bukan isi kontrak. Jadi, bila yang disengketakan menyangkut isi kontrak, barulah itu menjadi wewenang arbitrase.
Memang, dua perkara listrik swasta itu tak berkelanjutan. Soalnya, Presiden K.H. Abdurrahman Wahid menyarankan agar PLN mencabut gugatan tersebut. Rupanya, Gus Dur tak mau repot-repot dengan kasus listrik swasta—hampir semua kontraknya dibuat semasa Presiden Soeharto—yang sarat bermuatan kolusi itu. Namun, pencabutan perkara itu membuat Direktur Utama PLN Adhi Satriya mengundurkan diri dari jabatannya.
Dalam perkara Roche melawan Tempo, lain lagi kisahnya. Kedua pihak sesungguhnya sudah menjalin hubungan bisnis selama 25 tahun. Roche menjadi produsen obat dan bermarkas di Swiss. Sedangkan Tempo bertindak selaku distributor tunggalnya di Indonesia. Mendadak, pada 31 Agustus 1999, Roche memutuskan perjanjian distribusi itu secara sepihak.
Menurut kuasa hukum Roche, T. Mulya Lubis, sesuai dengan perjanjiannya, setiap pihak bisa membatalkan salah satu divisi tanpa pemberitahuan kepada pihak lainnya. Yang dibatalkan tak lain perjanjian menyangkut divisi obat bebas, sedangkan perjanjian untuk divisi obat dengan resep dokter tetap berlanjut.
PT Tempo tak bisa menerima tindakan sewenang-wenang itu. Menurut kuasa hukum Tempo, Amir Syamsuddin, rencana pemutusan kontrak itu tak pernah dibicarakan dulu dengan Tempo. Lagi pula, "Selama mengembangkan bisnis obat produk Roche, Tempo tak pernah melakukan wanprestasi," kata Amir. Jelas, pemutusan itu sangat merugikan Tempo, yang kemudian memerkarakannya ke pengadilan.
Mulya Lubis menganggap gugatan itu tidak tepat. Alasannya, perjanjian distribusi obat antara Roche dan Tempo memuat ketentuan arbitrase bila terjadi sengketa. Dengan demikian, pengadilan tak boleh menangani perkara yang menjadi wewenang arbitrase itu.
Menghadapi dalil itu, Amir Syamsuddin menyatakan bahwa perkara itu menyangkut perbuatan melawan hukum yang dilakukan tergugat. Karena itu, pengadilan berwenang mengadilinya. Bila perkaranya menyangkut masalah teknis bisnis, misalnya pembayaran, pengangkutan, atau perhitungan komisi, barulah itu menjadi wewenang arbitrase.
Ternyata, majelis hakim yang diketuai R. Soenarto membenarkan argumentasi Amir. Majelis hakim juga berpendapat bahwa begitu Roche memutuskan kontrak secara sepihak tanpa melalui arbitrase, sejak saat itu pula Roche telah melepaskan haknya untuk menggunakan arbitrase. Atas dasar itu, Roche diharuskan membayar ganti rugi Rp 281 miliar kepada Tempo. Selain itu, pengadilan mengesahkan penyitaan pabrik Roche di Cimanggis, Bogor.
Sementara Amir menganggap vonis itu sudah tepat, sebaliknyalah buat Mulya. "Putusan itu semacam penyelundupan hukum oleh hakim. Itu preseden buruk bagi iklim investasi," ujar Mulya, yang menyatakan naik banding. Menurut Mulya, dalam sengketa bisnis, tak ada pembedaan antara masalah teknis hukum yang bisa ditangani arbitrase dan perbuatan melawan hukum yang boleh diuji pengadilan. Karena itu, begitu semua pihak berjanji menyelesaikan sengketa melalui arbitrase, perjanjian itu berlaku sebagai undang-undang dan mengikat mereka.
Sementara itu, Ketua Badan Arbitrase Nasional Indonesia, Prijatna Abdul Rasyid, menyesalkan sikap pengadilan yang menganulir wewenang arbitrase. "Kalau perjanjian bisnisnya mengandung klausul arbitrase, pengadilan tak boleh ikut campur. Itu dilarang Undang-Undang Arbitrase," kata Prijatna. Prinsip hukum itu, katanya lagi, sudah dipraktekkan di dunia internasional.
Happy S., Hendriko L. Wiremmer
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo