Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sepakbola

Angan yang Terempas

Mereka punya nama besar, tapi sama sekali tak pernah merasakan Piala Dunia. Sebuah gengsi yang berakhir di angan-angan.

29 Mei 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA yang kurang dari George Weah? Dia ada-lah keajaiban. Ge-larnya setumpuk: orang Af-rika pertama yang menerima anu-ge-rah pemain terbaik dunia dan pemain Eropa pada 1995. Gajinya di masa jayanya selangit. Lelaki plontos itu pula yang mengantarkan klub AC Milan dan Paris Saint Germain sebagai juara liga di negaranya masing-masing.

Tapi sejumlah kebanggaan itu masih tak punya banyak arti ba-gi Weah. Impian terbesarnya tak per-nah bisa ia wujudkan: berlaga di Piala Dunia. ”Banyak penghar-ga-an yang telah saya raih. Tapi, yang lebih besar dari semua itu ada-lah jika saya bersama negara saya ber-main di Piala Dunia, se-kalipun ka-mi dihajar 9-0 oleh tim lain,” ucap pemain asal Liberia itu.

Di puncak kejayaannya, Weah selalu menjadi pilihan pelatih di tim mana pun ia singgah. Setelah sukses di berbagai klub Eropa, George Manneh Oppong Ousman Weah bermimpi melolos-kan The Lone Star—julukan bagi Liberia—ke putaran kedua babak kualifikasi Afrika pada 2002. Na-mun, seperti julukan timnya, Weah akhirnya menjadi bintang yang kesepian ketika Liberia ter-singkir oleh Tunisia. Sendirian di depan gawang lawan, sendiri-an pula menanggung akomodasi tim nasionalnya, Weah pun me-ngubur dalam-dalam mimpinya.

Weah bukan satu-satunya pemain besar yang gagal mengukir mimpi di ajang Piala Dunia. Ryan Giggs, George Best, dan Alfredo Di Stefano juga bernasib sial. Ajang sepak bola empat tahunan itu hanya menjadi ritus bergengsi yang hidup di angan-angan me-re-ka. ”Ia hilang dari perjalanan ka-rier saya,” kata Giggs, pemain sayap Manchester United (MU) asal Wales.

Giggs lebih nahas dari Weah. Dia membela Wales pada e-mpat kali kualifikasi tanpa sekali pun menembus ajang Piala D-unia. Kini, mendekati penghujung ka-riernya, Giggs hanya bisa menonton rekan-rekannya di Man-chester United yang tampil di Jerman.

Memulai karier sebagai pemain profesional pada usia 17 tahun di MU, Giggs digadang-gadang bakal meloloskan Wales ke Piala Dunia untuk pertama kali sejak 1958. Pemain berjulukan The Welsh Wizard ini dinobatkan sebagai pemain muda terbaik Liga Inggris seusai debut musim pertamanya, 1991/1992. Gelar yang sama juga menjadi milik Giggs pada periode berikutnya. Pada tahun yang sama, pemain yang disebut-sebut sebagai ahli waris legenda MU, George Best, itu ditabalkan sebagai pemain terbaik Eropa U-23.

Giggs akhirnya hanya berk-ibar bersama MU. Ia menjadi pemain The Red Devils yang paling ba-nyak (dan lengkap) merasakan gelar. Delapan juara Liga Primer, empat gelar FA, satu gelar Liga Champions, Piala Liga Inggris, dan Piala Interkontinental. Setumpuk prestasi itu tak pernah mengantarnya ke Piala Dunia.

Ironi seperti Gigs juga dialami Alfredo Di Stefano. Pemain cerdas kelahiran Buenos Aires, Argentina, ini berhasil membawa Real Madrid menjadi juara Pi-ala Champions lima kali berturut-turut pada paruh terakhir dekade 1950-an. Kekuatan fisiknya mencengangkan lawan. Dia mampu ber-lari sepanjang pertandingan. Ia tercatat sebagai pencetak gol terbanyak bagi Real Madrid, 216 gol dari 282 pertandingan pada periode 1953–1964. ”Maradona mungkin tidak sebaik Pele, tapi Pele tak lebih baik dari Di Stefano,” ujar Diego Maradona.

Namun, prestasi itu tak sekalipun membawa Di Stefano merasa-kan rumput hijau ajang Piala Du-nia. Pada Piala Dunia 1954 di Swiss, Di Stefano absen ka-rena negaranya, Argentina, menolak ikut serta. Karena kesal ia pun ia pindah kewarganegaraan ke Ko-lombia. Namun, kecilnya peluang negeri penghasil -opium itu untuk tampil di Piala Dunia membuat Di Stefano hijrah ke Spa-nyol. Sa-yang, pada 1958 Spanyol gagal di babak kualifikasi.

Empat tahun kemudian, pemain kelahiran Buenos Aires ini memupuk impian ke Piala Dunia setelah dia meloloskan Spa-nyol ke Cile pada 1962. Namun, cedera punggung membuat Di Ste-fano kembali menjadi penonton kejua-raan yang paling ba-nyak ditonton penggemar sepak bola se-jagat itu.

Weah, Giggs, dan Di Stef-ano hanyalah segelintir pemain yang cuma bisa berangan-angan tam-pil di Piala Dunia. Masih ada George Best, Eric Cantona, David Ginola, Ian Rush, Kevin Keegan, dan Mark Hughes yang bernasib sama. Sepiawai apa pun menggiring bola, mereka tak ma-mpu membawa negaranya ”me-ru-m-pu-t” di Piala Dunia.

Toh, tanpa kehadiran bintang-bintang itu, ajang Piala Dunia sendiri tak pernah kekurangan -pa-mor.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus