Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERTANDANGLAH ke bar-bar di kota Abi-djan-, Pantai Gading. Ha-rihari ini, jika Anda me-mesan ”satu Drogba”-, ma-ka satu liter bir dalam botol a-kan disorongkan kepada Anda. A-ta-u, mampirlah ke diskotek-dis-ko-tek. Jangan kaget kalau ada yang tiba-tiba menarik l-e-ngan An-da mengajak ”menari Drog-ba”-.
Didier Drogba, pemain sepak bo-la 28 tahun yang ”merumput” di klub Inggris, Chelsea, memang idola di kampung halamannya. ”Bir Drogba” dan ”Tarian Drogba”—sepasang pria dan wanita- bersama-sama bergerak maju dan mundur bak tengah meng-gi-ring- bola—adalah cara penggila bo-la di negara Sub-Sahara Afri-ka- itu merayakan keberhasilan timnya meraih tiket ke putaran fi-nal Piala Dunia di Jerman.
Pantai Gading terhitung ne-ga-ra mis-kin. Pendapatan per ka-pi-ta-nya- tahun lalu hanya US$ 770 do-lar- (sekitar Rp 6,7 juta). Ban-ding-kan- dengan Indonesia- yang US$ 1.140 (sekitar Rp 9,9 juta). Nega-ra- itu juga tengah re-muk- redam di-ha-jar- pe-rang saudara-. Pan-tas-lah kesuk-se-san Drog-ba dan te-man-te-man-nya itu dirasakan bak ka-do is-ti-mewa.
Suka cita yang sama juga -menye-limuti seantero Togo. B-e-gitu tim nasionalnya memastikan diri lo-los ke Jerman, jalanan di Lome, i-bu kota negara itu, dipenuhi war-ga- yang berpesta ria. Nama Em-ma-nuel Adebayor, p-enyerang di klub Inggris, Arsenal, dan te-mantemannya di-sebut pe-nuh pu-japuji.
Bagi Togo, Piala Dunia kali ini spe-sial. Bukan cuma karena ini yang pertama kalinya mereka maju ke putaran final. Lebih dari itu, mereka akan tampil di Jerman, bekas ”tuan besar” mereka. Negara di Afrika Barat itu pernah menjadi koloni Jerman sebelum jatuh ke Prancis pada 1914 dan merdeka pada 1960. Penjelajah Jerman Gustav Nachtigal yang pertama kali mendarat di sebuah wilayah di selatan negara itu pada 1800-an yang bernama Town of Togo pada masa itu. Sejak itulah Jerman mengu-asai Togo. Nama Town of Togo sendi-ri kini sudah berubah menjadi Togoville.
Presiden Togo Faure Gnasingbe sangat bangga tim Togo bisa berangkat ke Jerman. Saat Togo diumumkan berhak ikut berlaga di Piala Dunia, sang Presiden menyatakan hari itu sebagai libur nasional.
Tapi hari-hari rakyat Togo merayakan timnya lolos ke Jerman su-dah berlalu. Bagi negara peser-ta- Piala Dunia termiskin ini—pen-dapatan per kapitanya pada 2005 cuma US$ 380 (sekitar Rp 3,3 ju-ta)—uang menjadi masalah be-sar. Segera setelah lolos kualifi-ka-si Piala Dunia, dan hanya se-ming-gu sebelum beraksi di Piala- A-fri-ka di Mesir, Januari lalu, pa-ra pemain melancarkan aksi mo-gok-.
Mereka berang lantaran untuk per-siapan menjelang Piala Afrika dan biaya hidup selama turnamen ha-nya mendapat 500 ribu Commu-na-ute Financiere Africaine (CFA) atau sekitar Rp 9 juta. Pa-da-hal-, me-reka yang dijuluki Pa-su-kan Elang itu juga digenjot untuk- tam-pil- istimewa di Jerman nanti.
Kisruh soal uang ini memun-cak- ma-nakala striker Emmanuel Adeba-yor melalui radio nasional meng-an-cam akan balik ke London dan- tak mau memperkuat Elang pa-da Piala Afrika di Mesir. Ade-ba-yor, yang belum lama ini di-be-li- klub Arsenal senilai 7 juta pound (sekitar Rp 114,9 miliar) itu ge-rah. Soalnya, federasi sepak bo-la negara itu (FTF) mengaku tak punya uang sementara seti-ap- pemain tahu FTF mendapatkan- subsidi US$ 250 ribu (sek-itar Rp 2,18 miliar) dari federasi sepak bola du-nia (FIFA) setiap t-ahun. Ke ma-na- dana itu mengalir? ”Uang hi-lang- begitu saja,” ujar Tino Adje-te-, bendahara FTF, orang yang pa-ling bertanggung jawab atas mi-nim-nya dana bagi tim Elang. ”Ada masalah di luar kendali saya,” katanya.
Sehari setelah pernyataan Adebayor, sekitar 6.000 orang membanjiri jalanan di Lome. Mereka mendukung protes para pemain dan menuntut pemerintah t-urun tangan. Adebayor akhirnya tak jadi pulang ke Arsenal. Ken-dati demikian, dalam pertan-dingan uji coba melawan Guinea, pasukan Adebayor kalah 0-1.
Tergerak oleh ribut-ribut itu, ko-ran Forum De La Semaine me-lakukan investigasi. Temuan me-reka mengejutkan. Ternyata, pa-ra- pesepak bola negeri itu hanya di-bayar US$ 100 dolar (sekitar Rp 930 ribu) per bulan. Pemerintah tak banyak berperan. Dana sub-si-di FIFA sebagian besar ternya-ta- tenggelam ke dalam kantong-kan-tong- para jenderal negara itu.
Khawatir para pemain tak mau ke Piala Afrika di Mesir, para pe-tinggi FTF akhirnya sepakat mem-berikan bonus sebesar US$ 40 ri-bu (sekitar Rp 348 juta). FTF ju-ga berjanji untuk memper-baiki keuangan tim menjelang final P-ia-la Dunia. Bonus akhirnya diberikan, meski hanya setengahnya.
Adebayor beserta teman-te-man- ja-di ke Mesir, namun mereka ga-gal-. ”Persoalan uang telah mem-pe-ngaruhi fokus para pema-in,-” ujar pelatih Stephen Keshi- ke-pada BBC Sport. Kegagalan di Me-sir menyebabkan Keshi dide-pak-. Posisi Keshi digantikan Otto Pfis-ter, pelatih asal Jerman. Un-tuk- tugas ini Pfister mendapat ba-ya-ran US$ 12 ribu (sekitar Rp 104 juta) per bulan.
Nasib lebih baik hinggap di Gha-na, tetangga sebelah barat Togo. Tanpa ribut-ribut, negara yang juga terhitung miskin itu—pen-dapatan per kapitanya juga US$ 380 dolar—tak menghadapi ke-sulitan mengirimkan tim me-re-ka- ke Jerman. Sebenarnya, pa-da ma-sa-masa kualifikasi Piala Du-ni-a, kesulitan sempat menyer-gap Gha-na. Mencari sponsor untuk -se-ra-gam saja mereka nyaris gagal. Spon-sor terbesar mereka 10 ta-hun- terakhir, Adidas, te-lah memu-tus-kan kontrak. Pres-ta-si Ghana di level in-ter-na-si-o-nal yang tak el-ok dise-but yang membuat Adi-das- e-moh mem-per-pan-jang kontraknya.
Rupanya ini tidak membuat me-reka lantas kendur. Dimotori Michael Essien, pemain Afrika termahal saat ini setelah Chelsea membelinya dari klub Prancis, Lyon, 24,4 juta pound (sekitar Rp 393,8 miliar), Bintang Hitam—ini julukan tim Ghana—lolos ke Jerman. Lalu, rezeki pun deras meng-alir. Sponsor antre berderet, antara lain Nike, Puma, Umbro, dan Pony.
Bintang Hitam akhirnya memi-lih Puma. Selain menyiapkan seragam untuk tim, perusahaan alat olahraga yang berpusat di Jerman itu juga memberikan US$ 100 ribu (sekitar Rp 870 juta) sebagai uang komitmen. Lantas ada bonus lagi bagi pemain untuk setiap kali berlaga di ajang internasional. Yang membuat Essien dan teman-temannya nyaman, perusahaan tambang emas internasional yang beroperasi di sana, Gold Fields, juga siap menjadi sponsor utama. Kehadiran Puma dan Gold Fields memastikan langkah Ghana ke Jerman tak akan terbendung.
Lalu bagaimana dengan Pantai Gading? Tim dengan julukan Gajah itu memang tak seberuntung Ghana, tapi juga tak mengalami konflik tajam seperti tim Togo. Ini bisa jadi karena sejak awal pemerintah Pantai Gading peduli pada para pemainnya. Presi-den Laurent Gbagbo, misalnya, menghadiahi masing-masing pemain sebuah rumah di Abidjan atas kesuksesan mereka mengantar tim Gajah ke Jerman.
Bagi pemain Gajah sen-diri, konflik berdarah yang tak habis-habis melanda negeri mereka jauh lebih penting mendapat perhatian ketimbang meributkan soal duit. Keprihatinan itu tergambar pada doa Drogba dan kawan-kawannya di kamar ganti setelah mengalahkan Sudan se-kaligus memastikan beroleh tiket ke Jerman: ”Ivorians, saya mo-hon, mari kita saling mema-af-kan. Mari bersatu dan tinggalkan perang ini,” ujar Drogba saat memimpin doa.
Barangkali karena kepedulian-nya itu pula, setelah membawa timnya menjadi runner up Pi-ala Afrika, Drogba pernah mengancam tak akan tampil di Jerman jika saudara-saudaranya di kampungnya tak segera berdamai. Di beberapa blog khusus Piala Dunia yang rajin dikunjungi para penggemar tim Gajah, ancaman Drogba hingga kini masih menjadi bahan gunjingan. Kend-ati demikian, kegembiraan di Abi-djan, ibu kota Pantai Ga-ding, te-rus berpendar. Jalan-jalan pro-tokol di kota itu dipenuhi televisi layar lebar, lengkap dengan pesan sponsor, yang siap mena-yangkan aksi Drogba. Dan di bar-barnya, ”bir Drogba” akan terus meng-alir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo