Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RASA capai itu luruh. Su-dah empat purnama Didy Indriani Haryono pontang-panting ber-buru tiket Piala Dunia. Tapi hasilnya nol besar. Kepala-nya dipenuhi rasa frustrasi. ”Ba-yangkan, aku sudah empat bulan lalu minta kepada Dian Purba (koordinator acara seputar Piala Dunia dari SCTV),” katanya. Dan akhirnya, sebuah kabar menyenangkan datang dari Dubai, Uni Emirat Arab. Seorang sohibnya mengabari, ”Kamu dapat ti-ket semifinal dan final.” Dadanya serasa meledak karena bahagia
Tiket, siapa pun tahu, adalah sumber kerepotan menonton pertandingan Piala Dunia di Jerman. Pertengahan bulan lalu Jerman telah menjual lebih dari tiga juta tiket dan tetap saja fans bola mengeluh susah memperoleh ti-ket karena sudah diborong calo dan biro wisata. ”Sekarang ini hampir mustahil mendapat ti-ket pertandingan Belanda me-lawan Argentina,” kata Michael Paz, yang berencana menerbangkan se-ribu ”bonek” dari Meksiko, se-perti dikutip Miami Herald. Apalagi untuk pertandingan semifinal dan final—yang harga tiketnya Rp 258 ribu hingga Rp 904 ribu (untuk semifinal) dan Rp 380 ribu sampai Rp 1,6 juta—orang akan berebut setengah mati.
Keberuntungan Didi da-tang pada hari yang panas dan berdebu di sebuah sudut Dubai. Itu terjadi sebulan lalu. Saat itu ahli waris harian Surabaya Post itu mengikuti pameran di kota pa-ling metrop-olis di Timur Te-ngah itu. Pemilik DY Gallery itu memang rajin berdagang barang antik. Salah satu ko-leksinya adalah tenunan tradisio-nal beberapa daerah di Indonesia yang umurnya sudah tua. Di pameran dagang itulah, konsultan psikologi industri ini bertemu banyak pengusaha Timur Tengah yang rupanya punya hobi sama: sepak bola. Salah satunya adalah Sayed, yang mengirimi-nya tiket yang tak terduga itu.
Jerman kini ada di depan mata penggemar tim Brasil yang selalu menonton langsung Piala Dunia sejak di Prancis pada 1998. Urus-an menginap gampang. Dia p-u-nya banyak teman dan saudara yang tinggal di Negeri Seribu Bir itu. ”Yang penting ada tempat tidur dan kamar mandi,” kata pria yang gemar membalap di sirkuit Sentul sekali sebulan itu. ”Mudah-mudahan saja di sana bisa dapat lagi tiket pertandingan Ing-gris atau Jerman.
Histeria Piala Dunia juga menyedot perhatian Tamara Geral-dine. Artis yang gila bola itu te-lah memesan tiket final melalui Internet. ”Inginnya nonton bersama suami. Tapi dia masih menyesuaikan jadwal kerjanya,” katanya kepada Tempo, dua pekan lalu.
Tamara sebetulnya ingin larut dengan kemeriahan Jerman sejak babak penyisihan. Apalagi negeri itu bukanlah tempat yang asing bagi putri Batak ini. Saat masih memandu Liga Jerman di stasiun televisi RCTI, dia sudah melanglang ke semua stadion yang akan dipakai untuk Piala Dunia. ”Saya sudah hafal jalan-jalannya,” kata dia. Lagi pula, sang suami, Tien Thinh Pham, meski keturun-an Vietnam, ada-lah warga nega-ra Jerman. Makanya Ta-ma-ra tak khawa-tir soal tempat tinggal se-lama lima hari di sana. ”Te-manku banyak di sana, apa-lagi teman suamiku. Gam-panglah ka-lau soal itu,” kata penggemar tim Spa-nyol itu tertawa.
Bagi Tamara, menonton bola bukan hal baru. Selain ke Jerman, dia pun sudah beberapa kali hadir di pertandingan besar seperti final Piala Eropa di Turki enam tahun lalu. Di Turki Tamara larut bersama pendukung Galatasaray. Di sana ia tak miris. Menurut dia, bergabung dengan suporter di luar negeri lebih aman, meskipun dia perempuan. Suporter Indonesia, kata dia, belum punya mental menerima kekalahan.
Lagi pula Piala Dunia pu-nya ni-lai tersendiri di mata Tamara. ”Ka-lau boleh membandingkan de-ngan ajaran Islam, menonton Pia-la Eropa itu seperti umrah, sedang-kan Piala Dunia adalah naik haji,” tutur Tamara de-ngan mimik muka serius. Yang terpenting dari Piala Dunia itu b-u-kan hanya pertanding-annya. Ta-pi yang menye-nangkan: ”Ikut euforia massalnya itu lho.”
Sementara Tamara dan De-ddy sa-ngat ambisius berburu tiket Piala Dunia, tidak demikian de-ngan- Mariamah Nugraha. Hanya de-ngan ongkang-ongkang kaki duduk di rumah pun istri Nu-gra-ha Besoes, Sekretaris Jende-ral PSSI itu, bisa dapat tiket- Pi-a-la Du-nia. Jabatan suaminya itulah yang membuat ia selalu kebagian ton-tonan langsung dari stadion. Ke-be-tulan pada saat pembukaan Pi-a-la Dunia kali ini, sang sua-mi- meng-hadiri kongres Fe-de-ra-si Sepak Bola Internasio-nal (FIFA) di Jerman. Ka-re-na per-ka-wi-nan-nya itulah Mariamah ke-cem-plung di tengah bau keri-ngat- dunia sepak bola. ”Jadi saya ma-u tidak mau ikut nonton,” kata pe-nga-gum tim nasional Argentina ini.-
Mariamah pernah nonton Piala Du-nia di Meksiko pada 1986 dan di Amerika Serikat pada 1994. Ki-ni-, untuk ke Jerman, Mariamah ting-gal me-nung-gu keluarnya vi-sa. Di-a ber-ha-rap kejadian saat Piala Du-nia di Prancis pada 1998 tak ber-ulang. Sa-at itu, dia batal be-rang-kat karena visa baru keluar -ham-pir bersamaan dengan saat sang su-ami pulang dari sana.
Di Jerman, Mariamah rencananya hanya akan menyaksikan- pertan-dingan-pertandingan awal, bersa-maan dengan kong-res FIFA yang ber-lang-sung m-ulai 4 Juni sam-pai 12 Juni. Se-te-lah itu dia a-kan kembali ke Ja-kar-ta karena pe-ker-jaan tak bi-sa membuatnya li-bur ber-la-ma-la-ma. Sebaliknya, su-a-mi-nya akan kembali ke Jer-man- saat babak final de-ngan bia-ya- sen-di-ri.
Ini pernah dilakoni Nugraha da-lam Piala Dunia 2002 di Jepang dan Korea Selatan. Saat itu Nugraha berangkat bersama teman-temannya dari Indonesia. Mereka tinggal selama sepekan di Negeri Sakura sampai pertandingan final, saat Brasil memboyong trofi Jules Rimet setelah menaklukkan Jerman 2-0 di Yokohama. Pia-la Dunia selalu menebar sihir-nya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo