PENONTON Teater Arena TIM 10 Oktober yang lalu -- bertepuk riuh
untuk "Leo Kristi". Grup asal Surabaya ini berhasil memberikan
tampang yang jelas untuk konsernya yang seperti melata ke
masyarakat nelayan. Mereka memiliki kesederhanaan yang mirip
dengan kesederhanaan Bimbo pada saat-saat grup Kota Kembang itu
baru muncul. Entah karena kesederhanaan sedang menjadi
"pelarian" pada saat ini, atau kerinduan pada"rakyat" memang
sudah waktunya, "Leo Kristi" yang memulai penampilannya dengan
memekik: "Hai! Hai! Hai!" memikat perhatian sampai usai.
"Apakah yang terjadi, hai di situ/kiranya nelayan muda kembali
hanya perahu/tinggallah isteri lama bersedih menunggu...",
terdengar sebagian lirik mereka. Leo dan Nanil menggiringnya
dengan gitar akustik. Sementara Mung memegang bass, Lita dan
adiknya Jilly dengan bersungguh-sungguh menarik suaranya,
membuat pertunjukan tersebut manis. Kadangkala agak
kekanak-kanakan, serta kadangkala juga sedikit kelewatan
manakala muncul keinginan untuk membuat intro yang berbobot
sementara materi yang mau disuguhkan terlalu sederhana.
"Yah lumayan", kata Slamet Abdul Syukur, seorang dosen LPKJ yang
baru saja hijrah dari Perancis. Ia menandai warna Latin dan
Spanyol dalam musik anak-anak muda itu tetapi yang sekedar
pengaruh-pengaruh permukaan. Hal mana mudah sekali terjadi pada
setiap orang yang sedang membukakan dirinya. Amat berbeda dengan
percobaan almarhum grup "Beatles" yang sengaja mempelajari musik
India dahulu di negeri asalnya. "Beatles" ke sana karena memilih
dan berusaha menyentuh inti suara sitar. Album-album mereka yang
kemudian lahir akibat pergeseran dengan musik tersebut bukan
semata-mata hasil operan tetapi ekspresi "Beatles" yang utuh.
"Barangkali sudah waktunya sekarang untuk berhenti menutup diri
untuk mencari orijinalitas, sebagaimana sering dilakukan oleh
banyak orang", kata Syukur, "dengan lancarnya komunikasi kita
sekarang harus mendengar sebanyak-banyaknya untuk bisa orisinil
dalam musik". Abdul Syukur yang pernah mencatat kemenangan untuk
komposisinya dalam sebuah kompetisi yang bersifat internasional
di Paris.
Kembali pada "Leo" Surabaya ini keseriusan publik pada malam itu
banyak sekali membantu. Leo Imam Sukarno sendiri merasa kagum,
sehingga lagu Mana yang dilantunkan oleh Monica Maria Lita
Jonathans -- 16 tahun -- dengan suara lirih dan lembut, sampai
dengan bagus. Lagu ini diciptakan oleh Leo yang beragama Islam,
27 tahun, dan ternyata jebolan Institut Teknologi Surabaya. Ia
berharap benar agar temperamen grupnya yang didirikan pada awal
1976 dibedakan dari "Bimbo". "Mereka itu seperti petani, yang
mempunyai masa menunggu sebelum panenan. Mempunyai kesabaran dan
ketelatenan untuk mengusir hama", ujar Leo,"berbeda dengan kami
yang tinggal di Surabaya dekat laut. Kesabaran memang tipis,
perangai ibarat nelayan, yak opo tek lek kuli-kuli pelabuhan
nyanyi".
Temperamen Laut
Sebelas buah lagu disampaikan malam itu. Aransemennya digarap
sendiri dan dilaksanakan dengan kompak. Dinamik dan cukup
terkendali. Leo Kristi telah membuat penonton penasaran untuk
berteriak: "Tambah! Tambah! Terus!"
Dengan peluh berceceran, mengenakan seragam hitam mereka
kemudian menyanyikan lagu yang bernama Katis, Kaita dan Aku. Ada
sesuatu yang puitis dalam suguhan-suguhan mereka. Leo dan
kawan-kawannya sering melakukan "observasi langsung" ke
masyarakat nelayan. Tidur bersama mereka, lalu mencoba menyelami
hidup sehari-hari mereka. Tapi di samping melata, Leo sempat
juga menyanyi untuk rakyat Timor Timur sambil berkata: "Saya
tertarik akan kembalinya saudara kandung kita, itu kan hal yang
serius, kami tertarik bukan karena peristiwa politiknya".
Leo mengaku telah punya sekitar 30 buah lagu, seluruhnya
berbahasa Indonesia. Tak lama lagi dia akan masuk ke dalam dunia
kaset, lalu besar kemungkinan akan mulai berdagang juga sebagai
grup-grup lainnya setelah musiknya nanti mulai
diperjual-belikan. Temperamen laut yang menjadi tulang punggung
musiknya, sebagaimana mereka akui sendiri, barangkali benar
hanya menyentuh permukaan. "Saya membicarakan kehidupan
sehari-hari secara sederhana, yang menarik dan lucu. Bicara
tentang rakyat kecil? Omong kosong!" Demikianlah: kendati telah
sering bergaul dengan para nelayan, toh mereka tak yakin bahwa
orang yang langsung bergumul otomatis peka terhadap persoalan.
"Leo Kristi" dengan awak 5 menyebut dirinya Konser Rakyat. Belum
tergiur untuk menampilkan lagu-lagu protes. Dan terhadap
pertanyaan mengapa ia nyontek petikan gitar Spanyol, jawabannya
nyelekit juga: "Habis, petikan gitar yang asli Indonesia yang
mana sih?"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini