KAPAL ferry jenis roll on roll off bernama Km. Lembar yang
tubuhnya bersusun tiga. Selain mampu mengangkut penumpang dalam
jumlah di atas 100 orang kapal ini juga mampu memuat 12 mobil.
Km Lembar sudah lebih satu bulan beroperasi menyibak laut selat
Lombok. Dengan kehadiran ferry ini, kegiatan pelayaran lokal
yang menghubungkan pulau Lombok dengan pulau Bali jadi makin
ramai. Dalam suasana laut tidak bergelombang, jarak sejauh 32
mil antara Lombok - Bali ini mampu ditempuh Km. Lembar dalam
tempo tak lebih dari 3 jam. Tapi kalau musim barat tiba dan
perut laut tiap sebentar menggelembung, waktu yang 3 jam itu
terpaksa mulur sampai 2 atau 3 jam lagi.
"You tentunya memaklumi, betapa ganasnya gelombang laut di selat
Lombok ini. Sudah berapa jumlah kapal yang terpaksa terkubur di
dasar laut, atau hanyut ke samudera Indonesia karena tak mampu
menentang gelombang. Jangan lagi bicara soal perahu dan
sampan-sampan nelayan", kata seorang petugas pelabuhan yang
sering berlayar di selat Lombok.
Kapal-Kapal Tua
Tadinya, sebelum ferry Km. Lembar yang berkecepatan 10,6 knot
ini muncul. selat Lombok uma dihiruk-pikukkan oleh kapal-kapal
tua berukuran mini terbuat dari kayu, motor boat, LCM yang juga
sudah tua, dan sebuah ferry swasta bernama Km. Kuda Putih
berukuran 150 ton yang sering-sering mogok. Kapal-kapal tua ini
secara bertahap akan digeser ke selat Alas antara p. Lombok dan
p. Sumbawa yang lebarnya lebih kurang 20 mil. "Untuk kemudian,
nantinya kegiatan pelayaran antar-pulau di selat Lombok hanya
akan dilakukan oleh kapal-kapal ferry saja", ucap Mayor (Laut)
Oetji Sanusi kepada TEMPO.
Selanjutnya, deputy Kedapel IV NTB itu mengatakan, bahwa
pelabuhan Lembar yang letaknya 20 kilometer dari Mataram,
nantinya akan ditetapkan sebagai pangkalan ferry, yang bukan
saja untuk penyeberangan antara Lombok-Bali, tapi juga untuk
menghubungkan Lombok - Sumbawa dan Lombok - NTT. Untuk itu,
lanjutnya, pelabuhan Lembar akan terus dibenahi sambil
melengkapi fasilitasnya. Saat ini jumlah pos penjagaan di
pelabuhan ini masih sangat kurang. Begitu juga rambu-rambu suar
yang ada selama ini cuma berfungsi sebagai penuntun kapal di
siang hari saja. Belum ada untuk malam hari. Ditambah lagi belum
dimilikinya peta alur pelab uhan selama ini. Akan halnya ferry
Km. Lembar yang kini rajin hilir mudik di selat Lombok ini,
menurut keterangan beberapa orang penumpang, masih terasa oleng,
padahal suasana laut tenang-tenang saja. Mereka menilai
kelebihan ferry Km Lembar ini daripada Km. Kuda Putih dalam soal
perlengkapan dan fasilitasnya yang cukup aduhai.
Di seluruh NTB sekurangnya terdapat 8 buah pelabuhan laut. Namun
yang resmi ditunjuk berdasarkan SKP Menhub cuma 4: Ampenan dan
Lembar di p. Lombok, dan Badas dan Bima di p. Sumbawa. Tapi di
antara yang 4 dan ber-SKP Menhub itu kini cuma tinggal tiga,
yaitu Lembar - Badas dan Bima. Sedangkan Ampenan, sejak beberapa
tahun terakhir ini praktis sudah tak lagi berfungsi sebagai
pelabuhan bongkar muat. Karena dalam setahunnya ia cuma mampu
berfungsi selama 6 bulan saja, yaitu manakala angin musim barat
yang juga beroperasi selama 6 bulan tiap tahun itu mengucapkan
selamat tinggal kepada selat Lombok. Dengan kata lain, di musim
barat kegiatan bongkar muat di pelabuhan Ampenan ini praktis
lumpuh. Kini Ampenan berubah jadi sebuah pelabuhan yang sepi
dari kegiatan pelayaran umum. Cuma sesekali saja disinggahi
kapal, itu pun kapal milik Pertamina. Dan pantainya kini cuma
diramaikan oleh perkampungan nelayan, sementara jembatan
pelabuhan yang menjorok ke laut tinggal berupa kerangka besi tua
yang dibiarkan berkarat.
Di antara Lembar, Badas & Bima, yang paling memenuhi syarat
sebagai pelabuhan bongkar muat untuk kegiatan perdagangan umum
mulai dari antar pulau -- ekspor dan impor adalah Lembar yang
dasar lautnya sudah dikeruk tahun 1971 yang lalu. Sedangkan
pelabuhan Badas, cuma terbatas untuk kegiatan perdagangan antar
pulau, sementara pelabuhan Bima dibikin khusus sebagai pelabuhan
untuk pengiriman ternak dari pulau Sumbawa. Mengenai kegiatan
bongkar muat di pelabuhan Lembar dalam semester I tahun 1976
ini, menurut Oetji Sanusi, tidak naik dan juga tidak turun.
Yaitu sebanyak 2945 ton hasil bumi dan 530 ekor ternak.
Penumpang yang turun sebanyak 1499 orang dan yang berangkat 997
orang. "Kegiatan perdagangan sedang lesu", kata Oetji Sanusi.
Terutama perdagangan ekspornya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini