Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Berita Tempo Plus

1998 (Soeharto), Bukan 1966 (Soekarno)

28 Desember 1998 | 00.00 WIB

1998 (Soeharto), Bukan 1966 (Soekarno)
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
APA yang sama dan tidak sama antara 1998 dan 1966? Perbandingan ini memang tak terelakkan. Keduanya menyaksikan sebuah pergantian politik besar. Pada kedua tahun itu, sejarah Indonesia mendadak berubah di pucuk. Presiden, dengan kekuasaan yang hampir tak terbatas, jatuh. 1966: Soekarno. 1998: Soeharto. Kedua tokoh itu dapat peluang dari sebuah undang-undang dasar yang memberi mereka wewenang yang luar biasa. Mereka tegak di atas lembaga-lembaga lain, termasuk lembaga peradilan. Kedua pemimpin itu lahir dari situasi darurat. Bung Karno: ketika ia mengumumkan berlakunya "Demokrasi Terpimpin" di tahun 1958, di Sumatra dan di Sulawesi Utara pemberontakan bersenjata oleh perwira-perwira Angkatan Darat masih belum tuntas. Keadaan perang diberlakukan ke seantero Republik. Soeharto: ketika ia muncul, Indonesia baru terkejut oleh penculikan dan pembunuhan jenderal-jenderal di pagi pertama Oktober 1965. Kabinet lumpuh, Presiden menyingkir dari Istana. Sejak itu, langkah-langkah "pemulihan ketertiban dan keamanan" dilembagakan. Keadaan darurat dan tindakan darurat - itulah yang menyebabkan represi seakan-akan halal. Indonesia kehilangan suasana demokratis yang pernah terasa ketika Republik lahir di tahun 1945. 1945 - itu memang suatu peristiwa besar. Berangkat dari keinginan bertahun-tahun untuk tidak dibungkam dan didiskriminasi, bangsa Indonesia membuat sebuah negeri yang menampik represi dan menginginkan persamaan antarmanusia. Lahir dari puing-puing penjajahan Jepang yang bertahan dengan pedang dan senjata api, bangsa Indonesia merayakan kebebasan bersuara dan berhimpun. Pers pun berkembang tanpa izin dan tak mengenal sensor, partai-partai politik pun ramai, dan parlemen serta lembaga peradilan mandiri. Tetapi kebebasan punya risiko dan problemnya sendiri. Merasa bahwa risiko itu terlalu besar dan problem itu terlalu menakutkan, kian lama kian kuat dorongan untuk mengakhiri demokrasi parlementer waktu itu. 1958 - itulah akhir dari suasana kebebasan itu. Indonesia memasuki apa yang oleh Bung Karno disebut sebagai "Demokrasi Terpimpin". Pers mulai diberangus. Partai-partai dikekang atau dibubarkan. Parlemen diganti dengan mereka yang jinak. Lembaga peradilan ditaruh di bawah; Presiden Soekarno meletakkan Ketua Mahkamah Agung hanya setingkat menteri dalam kabinetnya. Ketika pada 1966 Bung Karno diganti dan "Demokrasi Terpimpin" dibongkar, banyak harapan bahwa pers akan kembali bebas, juga peradilan dan parlemen. Tetapi kemudian ternyata tidak. Berangsur-angsur makin jelas, Soeharto hendak mengabadikan sebuah sistem yang lahir dari suasana darurat. Soeharto, seorang jenderal, naik ke atas dengan lingkungan militernya, dan militer hanya punya arti besar dalam keadaan mirip perang. Tapi juga bukan hanya itu. Jika ada semacam kesinambungan antara "Demokrasi Terpimpin" Bung Karno dan "Demokrasi Pancasila" Soeharto, itu karena ada persamaan penyokongnya. Di tahun 1958, Angkatan Darat ikut mendesakkan berakhirnya suasana kebebasan yang pernah ada sejak 1945. Sejak tahun 1966, ketika para jenderal berkuasa, itu juga yang dikukuhkan. Yang tidak diduga oleh para pendukung baik "Demokrasi Terpimpin" dan "Demokrasi Pancasila" ialah berkembangnya sebuah otokrasi. Kepala negara menjadi sedemikian dominan. Hampir semua hal tergantung kepada keputusan sang pemimpin. Lahirnya "Orde Baru" sebetulnya membawa perubahan ke arah pembangunan lembaga. Sistem dan prosedur di pelbagai sektor diperbaiki. Tetapi semua proses itu tidak disertai kontrol dari luar yang efektif. Parlemen dibungkam, terutama di tingkat daerah, di mana berkecamuk problem yang paling langsung menyangkut masyarakat. Korupsi merajalela, juga di peradilan, dan menyebabkan aturan bisa dibengkokkan dengan mudah. Berbareng dengan itu, "Orde Baru" akhirnya kembali seperti "Orde Lama": memberi presiden posisi serba kuasa dan serba bisa. Berangsur-angsur sistem dan prosedur yang sudah dibangun itu pun tidak lagi konsisten, terutama ketika Soeharto mulai mementingkan bisnis anak dan keluarganya di atas kepentingan nasional--misal yang paling mencolok adalah fasilitas luar biasa istimewa buat proyek mobil "nasional" Timor. Perlahan-lahan, bagi Soeharto, ia identik dengan "Indonesia". Siapa yang menentang dia berarti musuh bagi Republik. Otokrasi ala Bung Karno dilanjutkan dalam otokrasi ala Soeharto. Maka, ketika di tahun 1998 ia turun dari tahta, ada harapan bahwa perubahan besar akan terjadi - seperti halnya perubahan ketika Bung Karno jatuh. Tetapi di situlah tampak bedanya. Tahun 1998 adalah tahun ke-32 dalam tarikh Soeharto. Sebaliknya, tahun 1966, ketika Bung Karno jatuh, adalah tahun ke-8 setelah proklamator itu menyebut diri "Pemimpin Besar Revolusi". Soeharto menikmati waktu yang empat kali lebih panjang. Represinya berlanjut sampai satu generasi. Generasi yang lahir setelah 1966--jumlahnya mungkin lebih dari 125 juta--memiliki ingatan kolektif yang dalam banyak hal telah terbiasa dengan tiga dasawarsa "Orde Baru". Tidak mengherankan bila perubahan di pucuk yang terjadi di tahun 1998 tidak segera menimbulkan transformasi besar--yang dipekikkan sebagai "reformasi" itu. Hampir tidak ada agenda alternatif yang jelas untuk mengubah Indonesia. Tetapi tentu saja ada faktor lain di sini: di mana pun tampaknya gagasan besar alternatif tidak cukup tersedia. Di tahun 1966, ketika "Orde Baru" lahir, yang terjadi adalah ditinggalkannya perekonomian cara sosialis - dengan Negara sebagai pemegang kendali. Ekonomi pasar, yang dalam kata lain adalah sistem kapitalis, masuk. Di tahun 1998, belum ada agenda besar yang bisa menggantikan itu. Di seluruh dunia, juga di Rusia, Cina, dan Vietnam, justru ekonomi pasar itu yang sedang melaju, tak tertandingi. Dua perekonomian sosialis, Kuba dan Korea Utara, tetap bukan pilihan yang menarik dan mudah. Tidak segera terjadinya perubahan juga disebabkan karena selama tiga dasawarsa "Orde Baru", benturan sosial politik antara kekuatan yang punya skala nasional hampir tidak ada. Ketika perubahan politik terjadi di tahun 1965-1966, ada benturan antara ABRI dan PKI. Maka, pembantaian terjadi. Orang yang dianggap komunis atau memang komunis dibunuh atau dipenjarakan. Jumlah korban tak bisa dipastikan; ada yang menyebut 80 ribu, ada yang mengatakan satu juta. Ketika perubahan politik berlangsung di tahun 1998, sejumlah mahasiwa gugur. Ada sekitar 2.000 orang mati terbakar di toko-toko, dibunuh, diperkosa, dirusak. Bagaimanapun menyedihkannya, tapi itu tidak semengerikan dan semeluas apa yang terjadi di tahun 1965-1966. Kenapa? Mustahil untuk mengatakan bahwa tak ada konflik sosial politik yang terpendam selama "Orde Baru". Bahwa sebelum Mei 1998, ketika pemerintahan berganti, kerusuhan meledak di Kalimantan Barat, di Banjarmasin, Ujungpandang, Jayapura, Situbondo, Tasikmalaya, Rangkasdengklok, menunjukkan bahwa konflik itu seperti bara dalam sekam. Tapi semua itu insiden lokal. Ketika "Orde Baru" berakhir, tidak ada sebuah kekuasaan yang mengatur pembersihan dalam skala nasional seperti ABRI memutuskan untuk menumpas PKI di tahun 1965-1966. Dalam banyak hal, cetusan-cetusan spontan dan lokal itu memang belum punya dampak untuk sebuah perubahan yang berarti. Bukan berarti kesempatan tak terbuka untuk membentuk sebuah Indonesia yang lebih baik. Kesempatan historis itu tampaknya luput di saat yang menentukan ketika Soeharto turun. Soeharto turun bukan karena revolusi. Ia sendiri menunjuk penggantinya. Orang yang ditunjuk, Habibie, sayang tak terpanggil untuk membuat sejarah yang berarti. Ia bukan Juan Carlos yang ditunjuk Diktatur Franco di Spanyol dan dengan segera mengubah negeri menjadi sebuah demokrasi yang hidup dengan ekonomi yang maju. Habibie lebih menampakkan diri sebagai seorang yang lebih menyenangi posisinya sebagai presiden - dan ingin melanjutkan itu, bukannya membangkitkan inspirasi pembaharuan. Dalam arti ini, ada yang tragis yang diwariskan "Orde Baru". Krisis ekonomi membawa Republik ke ngarai yang mencemaskan, pertumbuhan ekonomi yang negatif di tahun ini dan tahun depan merupakan salah satu kemerosotan produktivitas yang terbesar dalam sejarah sejak zaman depresi di tahun 1920-an. Tapi tak ada organisasi yang siap untuk mengatasinya, kecuali organisasi birokrasi yang rusak dan korup yang ditinggalkan Soeharto. Tak ada kekuatan alternatif yang siap. Dan lebih buruk lagi, tak ada pemimpin yang siap. Yang ada hanya ambruknya tatanan sosial, dan permusuhan antarkelompok masyarakat--terutama antara sebagian umat Islam dan umat Kristen--yang tidak menemukan manajemen yang mumpuni untuk mengatasinya. Tahun 1998 mungkin awal sebuah kesempatan, mungkin awal sebuah bahaya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus