Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni
Ketoprak

Berita Tempo Plus

Panggung Ketoprak Nyaris Tak Bergerak

Dua festival ketoprak digelar di Solo dan Yogya beberapa waktu lalu. Sayang, selain semangat, tak banyak hal baru muncul.

28 Desember 1998 | 00.00 WIB

Panggung Ketoprak Nyaris Tak Bergerak
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
MALANG benar suratan nasib Dewi Sekartaji. Setelah berpisah dari suaminya, Panji Asmarabangun, sang penguasa Kediri, ia terpaksa berjualan jamu untuk menyambung hidup. Alih-alih mengundang iba, perjalanan Sekartaji mencari suaminya justru sangat kocak sehingga mengundang tawa penonton. Betapa tidak, ketika salah satu punggawa bicara serius, tiba-tiba dari samping panggung muncul pemain lain yang melintas dengan sepeda sambil cengar-cengir.

Lakon ketoprak dagelan Sekartaji Dodol Jamu yang dibawakan kelompok Kahuripan pimpinan pelawak Kirun ini adalah salah satu yang hadir dalam festival ketoprak di Solo beberapa pekan silam. Bila dibandingkan dengan lakon lain, Sekartaji memang lebih menghibur. Tampaknya Kirun cs. hanya ingin menghibur, sehingga penggarapannya tidak maksimal.

Kelemahan ini bukan milik Kahuripan semata, kelompok lain pun hampir tak menampilkan sesuatu yang baru. Ternyata pola klasik masih banyak dipakai dalam penggarapan lakon. Misalnya, panggung masih ditata dengan menggunakan kelir dan layar bagian belakang yang berhiaskan gambar menjelaskan lokasi adegan yang berlangsung. Yogya Budaya adalah satu-satunya kelompok yang tampil dengan seting teater modern. Mereka cukup menampilkan layar hitam di bagian belakang.

Sekalipun tak ada pembaruan yang berarti, minat penonton Solo cukup tinggi untuk menyaksikan delapan kelompok peserta festival. Sejak hari pertama, gedung pertunjukan Sri Wedari tak pernah sepi dari pengunjung. Padahal, gedung yang biasanya menggelar wayang orang itu hanya didatangi segelintir orang. Barangkali, selain gratis, bentuk pertunjukan ketoprak memang lebih menarik daripada wayang orang.

Kelebihan ketoprak yang menonjol adalah keluwesan dan tema-temanya yang progesif. Dalam festival kali ini, tema-tema aktual muncul seperti yang disajikan Kelompok Barata dari Jakarta, yang muncul sebagai pemenang pertama. Mereka menampilkan lakon Ronggolawe, yang menyindir "koncoisme" semasa awal Majapahit berdiri. Sebenarnya, Ronggolawe terhitung lakon lama, tapi kehadirannya kali ini terasa sangat kontekstual.

Kelebihan lain dari ketoprak adalah sifat militansi yang dimiliki para senimannya. Kelompok yang tampil rata-rata adalah ketoprak tobong yang mencari nafkah dengan pentas keliling. Kelompok Bahureksa dari Kendal, Jawa Tengah, bahkan terhitung sangat minim dari segi pendanaan. Tokoh ketoprak Solo, Sidik Rahmadi, berpendapat bahwa kelompok Bahureksa, yang anggotanya kebanyakan anak muda, meski penampilannya belum istimewa, menyimpan potensi yang besar. "Ajang seperti festival ini bisa dijadikan arena berguru," ujar Sidik.

Yang menggembirakan, kegetolan para seniman menggeluti ketoprak ini ternyata mendapat dukungan yang cukup bagus dari pihak lain. Festival ini terselenggara karena jasa baik Romo Tunggul Panuntun, salah seorang kerabat Pakubuwono XII dari Keraton Solo, yang menyediakan dana Rp 50 juta. "Saya terharu, ing atase krismon (dalam masa krismon), kok masih mau memperhatikan ketoprak," ujar Yati Pesek dari Yogya Budaya.

Dalam festival di Yogya, pengamat ketoprak Bondan Nusantara menilai kelompok yang tampil sudah memasukkan unsur teater modern sehingga lebih padat dan menarik. Namun, unsur baru dalam penggarapan ini "tercemar" oleh pesan titipan dari Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta selaku penyelenggara festival. "Pesan-pesan P4-nya masih mencolok, sehingga cerita jadi kurang bagus," ujar Bondan.

Widayat, tokoh ketoprak dari Yogya, menilai ada dua kelemahan yang mencolok dari kelompok ketoprak saat ini. Yang pertama, ketoprak masa kini masih menggunakan pola konvensional. Kelemahan lainnya adalah tema ketoprak masih dibebani pesanan. Bila melihat semangat para seniman ketoprak, kondisi ini memang seharusnya bisa diperbaiki, apalagi kini pemerintah (mudah-mudahan) tidak lagi dalam posisi mendikte tema yang memiliki misi pemerintah.

Yusi A. Pareanom dan L.N. Idayanie (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus