Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia seorang konglomerat yang memiliki "kerajaan" di Karawaci. Bisnisnya merambah dari perbankan, keuangan, properti, industri, hingga retail. Dia juga seorang ayah dari tiga anak hasil perkawinannya dengan wanita jelita bernama Aylin. Tapi tiba-tiba saja masyarakat dunia mengenalnya pada 1996 ketika tiba-tiba saja wajahnya terpampang di berbagai media cetak dan elektronik sedunia bersama Presiden AS Bill Clinton. Dan tiba-tiba saja istilah Riady gate menjadi sebuah kosakata baru--terutama untuk media AS.
James Tjahaja Riady adalah putra keempat dari enam bersaudara dari taipan tersohor Mochtar Riady. James memang berkawan dengan Bill Clinton jauh sebelum Clinton menjabat sebagai orang nomor satu AS. Karena itu, ketika pertengahan Oktober dua tahun silam James disebut-sebut sebagai salah satu warga Indonesia--di antara nama-nama lain--yang menyumbangkan sejumlah US$ 200 ribu untuk dana kampanye Clinton untuk pemilihan Presiden AS tahun 1992, tentu saja ia menjadi "buruan" pers yang ingin mengetahui latar belakang kisah itu.
Lahir di Jakarta, 7 Januari 1957, James lebih banyak mendapatkan pendidikannya di mancanegara. James menyelesaikan pendidikan menengahnya hingga perguruan tinggi di Melbourne, Australia, sebelum mengikuti kursus perbankan internasional di Irving Trust Company dan Investment Bank, New York, AS. Mulai 1977, ia banyak berkecimpung di dunia perbankan di Australia, AS, dan Hong Kong, hingga akhirnya berlabuh sebagai staf di BCA, Jakarta. Pada 1986, barulah ia dipercaya menjadi Direktur Lippo Banking, salah satu perusahaan yang dipimpin ayahnya.
Sosok James menjadi unik--selain karena kisah Clinton--juga karena perannya di negeri ini. Dia mengaku tidak tertarik berkecimpung di dalam politik, tapi sesungguhnya dia sudah berada dalam lingkaran politik dalam arti yang luas. Selain tercatat sebagai anggota MPR Utusan Golongan, ia memiliki jabatan Duta Besar Utusan Khusus untuk Asia Pasifik. Ini adalah jabatan khusus dari Presiden B.J. Habibie, yang tugasnya, antara lain, menjelaskan persoalan yang tengah dihadapi Indonesia kepada pemimpin negara dan pengusaha di kawasan Asia Pasifik.
Setelah berkeliling, ia memberikan rekomendasi pada Presiden B.J. Habibie agar "proses reformasi dan perbaikan diri harus dilakukan. Harus kita akui bahwa di dalam negeri sendiri ada masalah yang harus dikoreksi," tutur James.
Pada saat James dan timnya dari Grup Lippo, antara lain Presiden Grup Lippo Roy E. Tirtadji, mengunjungi Kantor TEMPO, ia bersedia menjawab semua pertanyaan Tim Tempo. Sayang sekali, James tampak terlalu berhati-hati dalam menjawab, bahkan untuk pertanyaan yang terbilang netral. Ketika ia ditanyai perihal kasus Clinton, tentu saja karena kasus ini belum selesai di AS, wajar jika tema ini masih belum bisa dipublikasikan secara terbuka. Namun, untuk topik lain yang sesungguhnya sangat ringan--terutama di masa reformasi ini--tampaknya James masih belum berani bersikap terbuka. Berikut ini adalah petikan wawancara Tim Tempo bersama James.
Akibat kerusuhan Mei lalu, banyak masyarakat keturunan Tionghoa yang meninggalkan Indonesia. Bagaimana Anda melihat hal ini berkaitan dengan prospek bisnis di Indonesia?
Masalahnya bukan terletak pada masyarakat keturunan Tionghoa yang pergi ke luar negeri. Kita menghadapi proses reformasi yang cukup dahsyat. Situasi sedang berubah. Nah, masalah inilah yang menjadi fokus kita sekarang. Sebenarnya, apa yang ditulis (media massa) melebihi keadaan sebenarnya. Saya melihat masyarakat keturunan (Tionghoa) yang pergi dan kembali tidak lebih dari 20 ribu orang jumlahnya dalam periode yang sama.
Apakah 20 ribu orang itu masih berada di luar negeri?
Betul. Dari jumlah itu ada juga yang berstatus pelajar (sekolah). Masalah ini juga didramatisir dengan jumlah uang sebanyak US$ 180 miliar yang, katanya, dibawa lari ke luar negeri. Ini berlebihan. Sebab, devisa yang dimiliki pemerintah saja mencapai US$ 24 miliar dan paling rendah US$ 14 miliar. Selisihnya hanya US$ 10 miliar. Penyebabnya bukan pelarian modal, tapi karena adanya penarikan modal asing di pasar modal. Di pasar modal, ini lebih dikenal dengan nama hot money (dana investasi jangka pendek yang mudah dipindahkan--Red.). Dalam tiga tahun terakhir, banyak pembelian commercial paper, tapi uangnya dibawa ke luar negeri. Taksiran saya, capital flight (pelarian modal--Red.) dari semua orang Indonesia tidak lebih dari US$ 4 miliar.
Kalau 20 ribu orang yang ada di luar negeri tiap bulannya menghabiskan US$ 10 ribu dan bertahan empat-lima bulan di sana, bukankah jumlahnya lebih besar?
Saya kira pengeluarannya tidak sebesar itu. Di luar negeri, mereka juga menghadapi masalah berbeda, antara lain masalah pendidikan, kebudayaan, bahasa, dan anak-anak. Saya sebenarnya tidak ingin membesarkan masalah itu. Yang terpenting adalah bagaimana agar reformasi bisa berjalan. Jumlah 20 ribu orang itu merupakan kumpulan dari semua golongan, bukan golongan tertentu saja. Dari 200 juta penduduk, angka 11 juta orang merupakan angka yang kecil. Seharusnya yang menjadi perhatian masyarakat dan pemerintah sekarang adalah berapa banyak orang yang akan ke luar negeri dalam dua-tiga tahun mendatang karena faktor ekonomi. Mereka ingin mendapat pekerjaan yang baik atau tempat tinggal. Nah, dampaknya akan menjadi luas bagi Indonesia.
Menurut Anda sebagai pengusaha, bagaimana dengan ekonomi Indonesia yang mengalami kemerosotan luar biasa?
Dalam waktu dekat ini, kita akan mengalami reformasi yang penuh dengan ekses. Ekonomi kita akan mengalami kontraksi antara 15 persen dan 20 persen dari GDP. Tahun depan, pertumbuhan ekonomi akan negatif 3 hingga 5 persen. Nah, ini mengerikan. Sebab, negatif dari 5 ke 10 persen itu dampaknya empat hingga enam kali lipat terhadap rakyat. Kita juga melihat suku bunga yang naik hingga 70 persen dalam waktu beberapa lama. Lalu inflasi yang mencapai 70-80 persen. Ini semua kenyataan, ditambah lagi proses politik yang terus berjalan dan berdampak negatif terhadap perekonomian. Namun, semua yang diprediksikan oleh IMF, pemerintah, dan Bank Dunia, bahwa ekonomi Indonesia akan membaik, menurut saya, itu sangat reasonable. Dan pada akhir tahun depan, saya pikir ekonomi Indonesia tidak minus lagi, melainkan nol.
Biasanya pengusaha keturuan Tionghoa selalu dikaitkan dengan pemerintahan Orde Baru dan bekingnya. Nah, bagaimana pengalaman dan pendapat Anda?
Anda bertanya seolah-olah ekonomi Indonesia dikuasai oleh etnis Cina. Itu tidak benar. Faktanya, total ekonomi swasta tidak lebih dari 15 persen ekonomi nasional. Mungkin saja etnis Cina menguasai 70 persen dari total ekonomi yang dikuasai swasta. Sebanyak 85 persennya dikuasai pemerintah. Minyak dan gas bumi, pertambangan, perkebunan, perbankan, air, dan lainnya dikuasai pemerintah. Ini hampir 55 persen. Sedangkan pertanian mencapai 17 persen dan swasta asing mencapai 15 persen.
Kalau Anda katakan tahun 2000 pengusaha akan bangkit, apakah keaktifan para pengusaha di luar bisnis akan Anda sambut?
Saya berpendapat, setiap orang diberi talenta dan beban yang berbeda. Nah, itu merupakan hak mereka. Dan semua warga negara punya hak yang sama. Saya pribadi lebih fokus memikirkan ekonomi karena saya mempekerjakan 30 ribu orang karyawan. Ini merupakan beban yang tidak ringan. Dan kita tidak tahu sampai kapan krisis ini masih akan berlanjut dan apakah krisis ini akan cepat selesai atau tidak.
Di Malaysia, persoalan etnis Tionghoa sudah tidak menjadi masalah seusai tahun 1969. Bagaimana dengan Indonesia, yang sekarang tengah menggebu-gebu membela ekonomi kerakyatan?
Untuk jangka panjang, ekonomi rakyat harus diangkat. Dan ekonomi rakyat, sebagian besar, diwakili oleh petani. Di masa silam, harga pertanian sering ditekan dan terjadi distorsi. Akibatnya, semangat dan produktivitas petani menurun. Masalah ini akan terus muncul. Saya pribadi sangat setuju bahwa ekonomi kerakyatan harus didorong dengan pemberian insentif. Dengan demikian, petani bisa berproduksi dan bekerja keras untuk memperoleh penghasilan yang lebih tinggi. Nah, harga di pasar dijamin oleh pemerintah. Apabila harga dunia anjlok, pemerintah masuk untuk menstabilkannya. Dan subsidi untuk bahan baku tidak diperlukan lagi. Dalam masa transisi sekarang ini, modal kerja memang memerlukan bantuan. Pemerintah harus memikirkan kebijakan atau instrumen moneter dan fiskal untuk bisa digunakan oleh masyarakat. Sebab, ekonomi rakyat bukan berarti yang besar itu diturunkan. Ekonomi rakyat tidak antibisnis. Kepentingannya sama dengan yang besar. Jika ekonomi rakyat tumbuh, standar hidup mereka akan meningkat. Dan ini sudah terbukti di banyak negara.
Artinya, konsep ekonomi kerakyatan yang dijalankan oleh Adi Sasono sangat feasible?
Ini harus diklarifikasi. Ekonomi rakyat adalah suatu upaya agar pemain yang kecil ini diangkat. Nah, cara mengangkatnya dengan segala upaya. Yang terbaik adalah memberikan insentif yang tinggi. Pemerintah harus masuk untuk menstabilkan harga apabila harga sedang turun. Dengan demikian, ekonomi rakyat itu harus dengan kerja keras agar didapatkan harga yang menguntungkan, bukan dengan subsidi.
Di Malaysia, Perdana Menteri Mahathir Mohamad membuat kebijakan ekonomi yang secara sengaja memberikan kesempatan kepada pengusaha pribumi, sementara pengusaha keturunan Cina diajak berbicara. Apakah, menurut Anda, sebaiknya hal itu juga dilakukan di Indonesia?
Kita sekarang menjalani masa transisi dari sistem lama ke sistem baru. Semua sistem baru yang baik perlu dipertimbangkan. Malaysia nyatanya telah menghasilkan sesuatu yang harmonis. Dan yang dilakukan oleh Malaysia tidak semuanya jelek. Jadi, tidak semua affirmative action itu buruk. Misalnya, ketika BUMN masuk bursa, tidak hanya pengusaha kecil pribumi yang dilibatkan. Masyarakat kecil juga ikut. Ini merupakan sesuatu yang positif. Di sini bisa dilakukan dengan cara, misalnya, PLN masuk bursa, sehingga masyarakat diberi kesempatan memiliki 10 saham dengan harga yang jauh lebih murah. Di sana juga ada program pembangunan real estate yang diusahakan agar ada pembauran. Dengan kata lain, tidak hanya dikuasai oleh kelompok tertentu.
Pengusaha keturunan Tionghoa identik dengan sogok-menyogok dalam menjalankan usahanya. Menurut Anda, apakah hal ini merupakan hal biasa di zaman Soeharto?
Tidak benar kebudayaan etnis Tionghoa adalah sogok-menyogok. Lihat saja, RRC, Singapura, dan Hong Kong adalah pusat perekonomian yang paling efisien. Kita juga jangan mengingkari adanya kelemahan-kelemahan di dalam pemerintahan Indonesia. Dan ini merupakan tanggung jawab kita untuk memperbaikinya.
Menurut Anda, apakah ada tendensi dari pemerintahan kini untuk memojokkan pengusaha keturunan Tionghoa?
Krisis yang dihadapi begitu serius. Pemerintah berupaya mengonsolidasikan semua kekuatan untuk menghadapi krisis. Kalau Anda tanyakan apakah proses ini menimbulkan ekses negatif kepada golongan, saya tidak merasakan demikian. Kesan saya, sekarang semua orang tengah sibuk menghadapi krisis, termasuk pemerintah.
Apakah Keluarga Cendana pernah mendekati Anda untuk mengajak bekerja sama? Bukankah Anda juga terlibat dalam proyek perumahan Sentul?
Proyek Sentul adalah proyek yang sudah berjalan lima tahun. Dan kami diminta membantu agar proyek yang tidak jalan bisa kembali berjalan. Jadi, kami masuk ke Sentul setelah proyek itu jalan selama lima tahun. Dan mereka meminta terus agar kami ikut dalam proyek itu. Kami tidak memiliki saham, melainkan berupa portofolio.
Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil dan Menengah Adi Sasono dipandang sebagai sosok yang kontroversial karena kebijakan yang dikeluarkannya. Bagaimana pertemuan Anda dan kesan Anda terhadap Adi Sasono?
Saya merasa Adi Sasono adalah orang yang sangat pintar dan memiliki wawasan luas. Di benaknya, saya lihat dia ingin mengangkat ekonomi rakyat yang selama ini tertinggal. Kita harus memberikan dukungan kepadanya. Nah, caranya, setiap orang punya cara berbeda menyampaikan pendapatnya. Tentang orang yang berbeda pendapat dengan gaya Adi, saya tidak bisa berkomentar.
Ekonomi kerakyatan sebenarnya sudah lama didengungkan. Di zaman Soekarno, ada program Benteng, yang bertujuan mengangkat pengusaha pribumi, tapi yang tumbuh hanya pengusaha tertentu. Lalu, pada 1980-an, ada Keputusan Presiden Nomor 10, dan yang tumbuh menjadi besar hanya orang tertentu. Nah, apakah Anda melihat konsep ekonomi kerakyatan ini masih bisa jalan?
Andaikata ekonomi kita dikuasai oleh konglomerat, ekonomi kita akan macet total. Nyatanya, kan, terus berjalan. Ini karena masih ada sektor ekonomi informal. Nasabah Lippo di masa lalu hanya mencapai 45 ribu orang, tapi sekarang sudah mencapai 2 juta orang. Memang ada yang namanya konglomerat, tapi kan tidak banyak. Ini menunjukkan yang kecil terus tumbuh. Yang perlu diangkat adalah yang namanya petani.
Apa saja pengalaman Anda selama menjadi utusan khusus pemerintah?
Kami berkeliling menemui kepala negara dan pejabat senior. Hasilnya cukup baik. Semula, banyak hal yang kami ceritakan yang sebelumnya tidak mereka pahami. Mereka hanya tahu bahwa Indonesia sudah tidak memiliki harapan, misalnya dalam soal perbankan. Memang di Indonesia ada 200 bank, tapi hanya 15 bank yang merupakan persentase terbesar dari total aset bank di Indonesia. Saya sampaikan kepada mereka bahwa total aset perbankan di Indonesia hanya US$ 60 miliar, yang berarti hanya setengahnya dari Bank Nasional Australia.
Apa yang sulit untuk meyakinkan mereka?
Yang sulit adalah mengajak mereka (para pengusaha luar negeri--Red.) masuk untuk berinvestasi saat ini. Mereka menunggu hingga proses pemilu. Tapi ini bukan berarti tidak ada investasi yang masuk. Hanya berbeda orangnya. Hingga bulan Agustus, yang sudah approval senilai US$ 8,11 miliar. Kami harus mengakui bahwa realisasinya biasanya mencapai 30 persen. Tapi ini untuk pertama kalinya investor dari Inggris masuk dengan US$ 4,6 miliar. Dan kebanyakan mereka masuk di sektor pertambangan dan infrastruktur. Investor Australia yang akan masuk kebanyakan di pertambangan. Lalu, bukti lainnya, masuk investor membeli saham Semen Gresik. Siapa yang menyangka sahamnya akan diburu, padahal semen saja sudah mengalami over-capacity. Jadi, sebenarnya bukannya tak ada investasi yang mau masuk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo