Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Berita Tempo Plus

Antara Semar dan Don Corleone

Soeharto merasa terlahir menjadi "Raja Indonesia". Dia terbakar oleh kekuasaannya.

28 Desember 1998 | 00.00 WIB

Antara Semar dan Don Corleone
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Kepada seorang tamu asing yang mengunjunginya pada 1988, Soeharto meminta pendapat yang jarang dilakukannya. "Beri tahu saya," katanya, "sampai kapan, menurut Anda, saya harus terus menjabat." Sang tamu, Prof. Dr. Donald W. Wilson, Rektor Universitas Pittsburg, AS, sempat ragu-ragu sebelum mengelak diplomatis, "Tuan Presiden, Anda akan tahu kapan waktu yang tepat untuk berhenti."

Wilson sendiri, yang belakangan menulis buku berisi kisah sukses Soeharto, The Long Journey from Turmoil to Self-Sufficiency, meramal sang Presiden akan turun lima tahun kemudian pada 1993, yakni ketika masa jabatannya yang kelima usai.

Wilson salah untuk dua hal. Pertama, Soeharto tak puas hanya lima masa jabatan. Pada 1998, dia "terpilih" menjadi presiden untuk ketujuh kalinya. Kedua, Soeharto ternyata tidak tahu kapan waktu yang tepat untuk berhenti. Dia dipaksa turun.

Dalam sebuah drama terbesar tahun ini, dengan krisis ekonomi dan keresahan mahasiswa sebagai latarnya, dengan darah dan api menciprati panggungnya, Soeharto turun. Masa kepresidenannya tancep kayon setelah selama 32 tahun malang-melintang, setelah hampir selama hayat anak-anak muda yang berdemonstrasi itu dia menjadi dalang satu-satunya untuk banyak hal yang terjadi di republik ini. Banyak hal: sukses dan kebobrokannya.

Sumpah serapah dan hujatan datang bertubi-tubi setelah itu--suatu hal yang tidak terbayangkan bisa terjadi beberapa bulan sebelumnya. Suatu hal yang hampir muskil dalam atmosfer politik selama tiga dasawarsa yang kehilangan selera lain kecuali satu mantra bernama pembangunan. Suatu hal yang hampir mustahil di tengah riuhnya doa politik dan kebulatan tekad setiap lima tahun sekali. Dan, oh, betapa pendek ingatan bangsa ini pada sejarah.

Soeharto adalah tragedi, baik bagi dirinya maupun bagi bangsa ini. "Jika saja Soeharto berhenti sepuluh tahun silam, dia akan menjadi pahlawan bagi bangsanya," tulis Paul Wolfowitz, mantan Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, dalam artikelnya di harian The Wall Street Journal sepekan setelah sang presiden turun.

Dengan Orde Baru ciptaannya, Soeharto memang sempat membuat sihir terutama di lapangan ekonomi--angka kemiskinan ditekan, pertumbuhan ekonomi berkibar, dan swasembada pangan terpenuhi, untuk menyebut beberapa.

Namun, bahkan 10 tahun-nya Wolfowitz adalah sebuah penyederhanaan. Melihat ke belakang, Indonesia mungkin akan lebih baik jika Soeharto hanya menjabat dua periode--suatu hal yang kini dibakukan dalam pembatasan masa jabatan presiden. Sukses ekonomi, dengan teknokrat Berkeley dan gedung-gedung Jakarta yang mencakar langit sebagai simbolnya, telah terbukti keropos. Dan harus dicapai dengan harga yang teramat mahal: musnahnya peluang bangsa ini untuk belajar mengatur hidupnya sendiri di lapangan politik dan daya kreatif bangsa ini untuk mencari cara-cara baru dalam memecahkan soal.

Orde Baru, dalam kata-kata peneliti LIPI Mochtar Pabottingi, adalah format darurat yang coba dilestarikan terus-menerus. Sudah jauh lebih awal semestinya Soeharto berhenti. Atau diberhentikan. Tapi, kenapa Soeharto bisa bertahan demikian lama? Sebagian jawabannya terletak pada gaya kekuasaan Jawa feodalistik dan paternalistik yang sukses ditorehkan Soeharto, sedikit demi sedikit. Dengan senyumnya yang khas. Dengan intrik dan senjata.

Soeharto, anak petani Desa Kemusuk, Yogyakarta, itu muncul dari balik kabut pada 1966. Dia datang sebagai Semar--tokoh punakawan dalam dunia wayang yang kepadanya Soeharto sering dinisbahkan: sederhana dan murah senyum. Seperti Semar, Soeharto melakukan hal yang bahkan tak bisa ditunaikan oleh para ksatria ketika datang masa-masa kritis. Dia dielu-elukan sebagai pahlawan yang sukses menyelamatkan Indonesia dari bencana komunisme--meski dengan banjir darah besar sebagai ongkosnya. Juga dari bencana ekonomi akibat hiperinflasi.

Dan Supersemar, Surat Perintah 11 Maret, adalah legitimasi Soeharto untuk memperoleh peralihan kekuasaan dari Bung Karno. Dalam restrospeksi, tanggal keramat itu bahkan mungkin bukan sebuah kebetulan belaka. Soeharto--seperti sejarah kemudian menegaskannya--adalah seorang "master". Otobiografinya yang terbit pada 1989, Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, mengesankan bahwa dia sendirilah, bukan Sudjana Humardani seperti sangkaan orang, sang arsitek Orde Baru.

Tak heran sekarang ini, pada era reformasi, orang mulai bertanya-tanya tentang peran misteriusnya di balik tragedi G30S/PKI. Tidakkah dia sendiri yang menciptakan peristiwa itu, dan mengambil keuntungan darinya, seperti yang dikesankan oleh Cornell Paper karya Benedict Anderson dan Ruth McVey?

Tapi pada awal Orde Baru, Soeharto lebih dikenal sebagai sekadar jenderal sederhana yang murah senyum, dengan semangat anti-komunismenya yang membuat senang rekan-rekannya di Barat. Kalangan agama, khususnya Islam, juga menyukainya. Dan tak kurang Bung Hatta memberikan ucapan selamat dalam sepucuk suratnya pada awal Orde Baru. Tokoh mahasiswa seperti Nono Anwar Makarim dan Arief Budiman memujinya sebagai pembawa atmosfer baru menyertai ambruknya Rezim Bung Karno dan Demokrasi Terpimpin-nya yang dekaden.

Majalah TEMPO ini sendiri, dengan bahasa yang ramah, mempersilakan Soeharto untuk "menuliskan namanya sendiri dengan tinta emas dalam sejarah Indonesia" ketika pada 1973 dia terpilih untuk menjadi presiden kedua kalinya.

"Bulan madu" itu tidak terlalu lama. Bung Hatta patah arang dengan pembangunan ekonomi yang kelewat kapitalistik dan sistem politik yang tidak demokratis (Bapak Bangsa itu tak diizinkan mendirikan partainya sendiri). Demikian pula mahasiswa yang turun ke jalan pada 1974 untuk memprotes masuknya modal asing. Protes disambut dengan rekayasa kerusuhan, peristiwa Malari, untuk membungkamnya. Sejumlah koran yang kritis, termasuk Indonesia Raya-nya Mochtar Lubis yang bersemangat mengungkap korupsi, dibredel.

Kalangan Islam pun dibuat kecewa. Menggelembungkan ancaman bahaya ekstrem kanan sejumlah tokoh muslim dipenjarakan. Abadi, koran Masjumi, termasuk yang dibredel dan pemimpin redaksinya dipenjarakan sampai meninggal. Parta-partai Islam dikebiri dalam fusi. Dan mereka melihat banyak kebijakan pemerintah menguntungkan kalangan nasionalis-sekuler serta non-muslim, termasuk dengan caranya yang telanjang menumbuhkan segelintir konglomerat Tionghoa non-muslim. Liem Sioe Liong, teman bisnis yang dikenalnya sejak zaman Kemerdekaan ketika Soeharto bertugas di Divisi Siliwangi, belakangan tampil menjadi salah seorang manusia terkaya di dunia.

Kelak, dua dasawarsa kemudian, kalangan nasionalis-sekuler serta non-muslim, yang pernah mengamini azas tunggal Pancasila sebagai mantra penangkal ideologi Islam, dibuat kecewa ketika Soeharto lebih menampakkan citranya sebagai muslim. Dia naik haji, dan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) berada di sandingnya.

Pecah-belah adalah salah satu taktik yang disempurnakan Soeharto bersama akumulasi kekuasaannya dari tahun ke tahun. Tak ada yang bisa melawannya. Tak ada bintang yang bisa bersinar di sampingnya. Untuk menyebut beberapa: A.H. Nasution, Ali Murtopo, Benny Moerdani, dan Ali Sadikin (yang pernah oleh para mahasiswa dicalonkan jadi presiden pada 1978).

Dari seorang Semar dia tumbuh menjadi seorang raja Jawa, pelan tapi pasti, alon-alon waton kelakon. Dan kelembutannya, secara paradoksal, tetap menjadi senjatanya yang justru sangat digdaya.

Seperti pendahulunya, Soeharto punya ikatan kuat dengan dunia kebatinan Jawa, mitologi, simbol, dan taktiknya. Namun, berbeda dengan Bung Karno yang flamboyan dan sadar benar akan perannya sebagai seorang ksatria Pandawa, setidaknya Arjuna, kekuatan Soeharto justru terletak pada sikapnya yang konservatif dalam memegang nilai keluarga dan tak tampak terlalu berpretensi.

Dia dikenal sebagai ayah dan suami yang baik. Affair dengan wanita hanya satu kali terdengar, dan itupun berbau rumor. Di Tapos, kawasan pertanian dan peternakan yang belakangan digugat, Soeharto menikmati hidup sebagai petani, meski bukan petani miskin. Dia menanam jagung dan kadang memerah susu sapi sendiri. Adalah ironi, bahwa gugatan Tapos belakangan mencerminkan kekecewaan para petani, sementara Soeharto hampir selamanya mengesankan diri sebagai pembela mereka.

Tak hanya itu. Ketika pada 1974 sebuah majalah menerbitkan silsilah, yang menegaskan bahwa dia anak seorang priyayi keturunan Hamengku Buwono II, Soeharto berang. Dalam sebuah konferensi pers yang jarang, dia berusaha keras meyakinkan publik--dengan bukti-bukti--bahwa dia seorang anak petani belaka, yang lahir dari rumah pedesaan berdinding bambu. Majalah itu kemudian dibredel.

Sebagai orang Jawa, Soeharto tahu benar bahwa kekuasaan tidak semata diturunkan, melainkan direinkarnasikan. Berbeda dengan konsep kekuasaan ala Barat yang abstrak (dibangun oleh popularitas dan akuntabilitas), konsep kekuasaan Jawa adalah konkret, terkonsentrasi pada seorang kuat. "Kekuasaan memancar seperti layaknya cahaya sebuah lampu," tulis Ben Anderson dalam The Idea of Power in Javanese Culture.

Dalam budaya Jawa, kekuasaan bersifat terbatas: seorang menjadi berkuasa karena mengambil kekuasaan-kekuasaan lain. Seperti yang diceriterakan dalam wayang dan Babad Tanah Jawi, kekuasaan diperoleh dari proses akumulasi, bersemadi, memiliki pusaka, dan mendatangkan "orang-orang luar biasa"--albino atau cebol--untuk disedot kekuasaannya. Sudomo, Alamsjah, dan Harmoko pada era Soeharto menemukan padanannya dengan orang bule dan kerdil di lingkungan kerajaan-kerajaan Jawa.

Dan kekuasaan adalah kehalusan. Makin berkuasa Soeharto, makin sopan dan tidak langsung dia memberikan komando. Orang yang berkuasa di Jawa tidak harus berteriak ketika memerintah, atau bahkan tak perlu memerintah sama sekali. Lihatlah, betapa setiap lima tahun sekali menjelang dia terpilih, orang harus menebak apa yang akan dilakukannya. Beberapa pejabat akan marah ketika ada orang yang mencoba menafsirkan isyaratnya terlalu maju, bahwa dia akan mundur dari kursi presiden. Lalu ramai-ramai orang akan membuat kebulatan tekad, sementara Soeharto tenggelam dalam diam.

Satu gerak jari sudah cukup menimbulkan aksi dan reaksi gerakan lain di sekitarnya. Orang mungkin masih ingat bagaimana sikap para pejabat Indonesia yang menyatakan "terluka dan terhina" ketika wartawan The Sydney Morning Herald David Jenkins menulis kekayaan keluarga Soeharto.

Atau bagaimana seorang kiai di Jawa Timur pada 1993 tidak risau memanipulasi agama untuk menggalang dukungan kepada Soeharto. Dalam salat istikharah yang dilakukannya, begitu sang kiai mengatakan, dia melihat Presiden Soeharto berada di suatu tempat dikelilingi banyak orang. Lalu muncul bayangan Kakbah. Lalu ada suara amat jelas dan menggetarkan hati, yang oleh sang kiai diyakini sebagai suara Nabi Muhammad. "Saya titip Indonesia kepada kamu, ya Soeharto....," kata suara itu. Dan begitulah, Soeharto mulus memasuki masa jabatan keenamnya.

Kekuasaan, bagi orang Jawa, adalah juga konsentrasi. Sementara difusi dipandang sebagai kelemahan. Konsep seperti inilah yang bisa menjelaskan kenapa Soekarno dan Soeharto terobsesi pada harmoni, kesatuan, dan persatuan, berapa pun ongkosnya. Itu pula yang menjelaskan kenapa negara federasi (seperti yang dulu pernah dicoba dalam Republik Indonesia Serikat) tidak laku. Sulit pula mereka menerima gagasan trias politika--pemilahan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Konsentrasi berhubungan erat dengan monopoli. Implikasinya dalam ketatanegaraan dan pengelolaan sumber daya ekonomi sangat dramatis dan terbukti merusak. Konsep kekuasaan Jawa semacam itu mengecambahkan model hubungan patron-klien yang kental dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme besar-besaran.

Dibumbui oleh ketamakan keluarga yang fantastis, Soeharto mudah tergelincir dari seorang raja Jawa yang bisa bijaksana menjadi seorang Don Corleone--tokoh mafia Sisilia itu. Intrik dan pengkhianatan berlangsung dengan demikian subtil, diselubungi oleh senyum dan pelukan yang menyimpan darah di baliknya. Dia melindungi pangeran-pangerannya, dari para jenderal hingga Yoris Raweyai, menerima loyalitas mereka, memberikan hadiah pada yang mengabdi, dan menghukum yang mbalelo.

Seperti Corleone atau Panembahan Senopati, dia paham betul dengan takdirnya untuk berkuasa. Lihatlah pertanyaannya kepada Donald Wilson, sang profesor dari Amerika itu: "Sampai kapan saya harus terus menjabat?" Soeharto tidak pernah merasa dipilih oleh rakyatnya, tidak penting sama sekali apakah rakyat mempercayainya dan apakah dia harus mempertanggungjawabkan tingkah laku kekuasaannya. Semuanya bergantung pada dia.

Pada 1998 dia terbukti salah membaca tanda-tanda zaman. Entah di lain waktu.

Farid Gaban, Ahmad Fuadi, Wenseslaus Manggut

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus