SENIN malam 21 Oktober Studio V RRI terasa dingin. Di luar,
sepanjang sore, hujan lebat.
Tapi, kemudian, hawa dingin terkalahkan suasana hangat dan
intim, yang datang dari alunan bunyi khas dan memikat Empat
musisi Prancis, semuanya pemain suling (di antaranya seorang
wanita) menyuguhkan karya komponis Claude Gervaise (abad 16), G.
Ph. Telemann (1681-1767), Anton Reicha (1770-1836), Jacques
Casterede (1930) dan Marc Berthomieu. Semuanya karya orisinal,
bukan gubahan atau aransemen.
Kwartet Suling Arcadie ini memang boleh. Permainan yang
sangat cermat dan sikap profesional yang melekat pada kelompok
ini tidak sempat pudar sepanjang acara, yang hampir dua jam itu.
Keempatnya, Pierre Alain Biget, Pierre Yves Artaud, Nicolas
Brochot dan Nyonya Arlette Leroy-B1get, masing-masing pemegang
Premier Prix dari Conservatoire National Superieure de Musique
di Paris. Dan kecuali Nicolas (yang baru bergabumg tiga tahun
yang lalu) mereka telah bersatu sejak 1965 . di samping,
mengadakan konser keliling pada musim tertentu, mereka juga
pengajar utama pada berbagai akademi musik di Prancis.
Teknik permainan yansg halus dan jernih, sempat membuat kita
termenung sejenak. Permainan mereka mengingatkan pada
suling-suling tradisi kita--untuk menyebut beberapa saja--dari
minanng, Sunda, Jawa, Bali. Menyelinap pertanyaan mengapa tidak
ada komponis kita yang mendalami kemungkinan perkembangan suling
kita? Suling kontrabas yang digunakan dalam menyajikan karya
Casterede, 6 Bagatelles, itu misalnya, menurut Pierre Artaud
baru beredar 7 tahun belakangan ini, dan di seluruh dunia baru
terdapat lima buah alat seperti itu.
Grup ini memang terasa mempunyai ciri khas. Terutama ketika
menyajikan 6 Bagatelles dengan menggunakan macam-macam ukuran
flut, kwartet Arcadie menunjukkan satu gelombang arus warna,
Irama napas, dan anyaman suara yang berpegang pada konsep yang
jelas dan kuat Dari suling yang paling kecil (niccolo) , suling
sopran, alto, sampai pada suling bas dan kontrabas, semuanya
berfungsi dengan pas. Satu keunggulan lagi yang menarik: gaya
yang mewakili tiap abad mereka sajikan dengan penyelesaian yang
utuh, tanpa menggunakan cara-cara murahan untuk memproyeksikan
diri.
Dan rupanya mereka tak pilih-pilih gaya tertentu. Mereka
hanya suka pada musik yang baik. Bila ada karya baru, dan (dalam
latihan) ternyata, menurut mereka, musiknya miskin, langsung
mereka tinggalkan. Spontanitas ini rupanya menjadi dasar.
Hasilnya setiap anggota menuntut dirinya sendiri satu pengucapan
kreatif yang tidak mengenal pasang surut
Yang menarik, bagaimana grup ini menghadapi perkembangan
musik di negaranya. Prancis terkenal subur dengan perkembangan
musik avant-garde. Sambil ketawa mereka terangkan, bahwa di
negerinya kedua aliran ini hidup dalam ko-eksistensi,
bersama-sama dan saling menghormati.
Sayang, pertunjukan Kwartet Suling Arcadie ini tak begitu
mendapat sambutan. Studio V RRI hanya dipenuhi setengahnya saja.
Dan sedikit sekali terlihat anak muda. Padahal sekolah dan
kursus musik kini berlimpah pengikutnya. Agaknya mereka lebih
suka mendengarkan petikan gitar daripada alunan suling. Mengapa?
Irayati Sudiarso.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini