8 Oktober 1928. Tengah malam. Para peserta kongres telah
makin letih. Ketika seorang pembicara masih asyik berpidato,
sekretaris kongres berbisik kepada ketua."Saya punya rumusan
resolusi yang lebih elegant." Ketua membaca kertas yang
disodorkan. Dan segera menulis kata "Setuju". Walaupun agak
terheran-heran, yang lain, yang duduk di meja pimpinan, juga
menuliskan kata yang sama. Demikianlah, konon ceritanya
terciptanya rumusan keramat "Sumpah Pemuda". Begitu sederhana
kisahnya.
Maka van der Plas, pejabat dari Kantor Penasihat Urusan
Bumiputra, yang hadir pada waktu itu, pun menulis dalam laporan
rahasianya bahwa putusan Kongres Pemuda Il itu sama sekali tidak
"praktis" . Bahkan, katanya, hasil itu tidaklah penting benar
dalam pergerakan pemuda umumnya.
Mungkin dugaannya tak begitu salah. Apakah artinya resolusi,
jika belum di wujudkan pada kesediaan organisatoris untuk
mendukungnya. Jika pun ini telah selesai, apakah akan didukung
oleh organisasi-organisasi lain, yang ikut kongres atau pun yang
tidak? Ia pun memperkirakan bahwa kongres Jong Java yang akan
diadakan bakal lebih menentukan.
Setelah mengusahakannya sejak tahun 1921 akhirnya beberapa
organisasi pemuda setuju untuk melebur diri mereka ke dalam
suatu organisasi nasional, Indonesia Muda, pada tanggal 31
Desember 1930. Maka mereka pun menukilkan kata-kata ini dalam
resolusi hasil rapat yang menentukan itu (dengan memakai ejaan
yang disempurnakan), "Sudah sesungguh-sungguhnyalah putra dan
putri yang bertumpah darah di sini memperingatkan dan
memperingati hari raya yang maha tinggi, yaitu ketika kita
bersama-sama mendirikan perkumpulan yang selaras dengan semangat
bangsa kita, perkumpulan Indonesia Muda. Dan ahli sejarah
tentulah akan menuliskan saat ini dalam kitab Tambo Nasional
dengan tinta emas dan hati yang gembira."
Salahkah mereka, para pimpinan pemuda itu jika mereka memberi
nilai historis yang demikian tinggi terhadap peristiwa yang baru
dilalui? Mungkin tidak. Inilah klimaks dari berbagai usaha yang
kadang-kadang disertai konflik yang menyentuh hati, dan yang
telah dirintis sejak hampir sepuluh tahun .
Bukankah dengan dileburnya berbagai organisasi pemuda ke
dalam Indonesia Muda berarti terwujudnya tekad dan hasrat
"Persatuan Indonesia" secara organisatoris'? Adakah yang lebih
menegangkan daripada proses terjadinya peralihan dari
"kemungkinan" menjadi "ada"? Dan pandangan historis siapa yang
tidak akan tergugah dengan peristiwa ini?
Pemberian nilai historis terhadap peristiwa yang sedang
dialami bukan saja bertolak dari kemampuan kognitif terhadap
kemungkinan tempat peristiwa tersebut dalam untaian
kausalitas, tetapi juga dari hasrat normatif yang dirasakan Jadi
ia bisa pula merupakan pantulan dari kedirian--diri yang ingin
menyediakan skenario bagi tempat pengalaman.
Karena itu keadaan yang terbalik yang terjadi, yaitu 28
Oktober dirayakan, sedangkan 31 Desember dibiarkan lewat,
tidaklah harus dianggap sebagai suatu kesalahan. Juga mungkin
tidak suatu ironi. Hal ini menunjukkan bahwa dinamik sejarah
tidaklah hanya terkait secara langsung pada untaian peristiwa,
yang satu mengikuti yang lain, tetapi juga menyentuh kesadaran,
yang pada gilirannya dapat memberi corak yang kadang-kadang
keras terhadap untaian kausalitas.
Jika masalahnya soal untaian kausalitas dari
peristiwa-peristiwa yang nyata, maka tidaklah terlalu salah
harapan dari para tokoh organisasi pemuda yang demikian tinggi
menilai peristiwa fusi dan organisasi-organisasi mereka. Tetapi
betapa pun besarnya hasrat persatuan, karena adanya berbagai hal
yang dianggap mendasar menyebabkan beberapa organisasi pemuda
enggan meleburkan diri ke dalam Indonesia Muda. Bahkan kemudian
berbagai macam dan corak organisasi pemuda pun berjamuran pula.
Betapa pun aktivitas Indonesia Muda menyebabkan pemerintah
Hindia Belanda memperkuat kontrol politiknya, kehadiran berbagai
organisasi pemuda serta merta menurunkan nilai historis dari
penilaian normatif yang dirumuskan pada tanggal 31 Desember itu.
Jadi benarlah rupanya bahwa nilai sejarah tidaklah tergantung
pada perwujudan kelembagaan dari cita-cita yang telah
dipatrikan.
Jika peristiwa sejarah dirasakan sebagai memenuhi kepuasan
kultural dan bila peristiwa yang mendahului dan mengikutinya
dinilai sebagai telah memperkuat makna yang dipantulkannya, maka
terjadinya mithologisasi dari peristiwa tersebut adalah hal yang
lumrah saja. Tetapi dengan begini sejarah tak lagi merupakan
suatu masaiah, yang meminta jawaban, tetapi tautologi, yang
mengingkari bertungsinya jawaban. Begitulah "Sumpah Pemuda"
telah merupakan mithologi modern kita. Padanya telah terlekat
bcrbagai nilai serba baik dan daripadanya telah pula diambil
berbagai cerita yang bisa memperkuat makna peristiwa itu dalam
kesadaran nasional.
Terlepas dari kecenderungan kultural umum ini bangsa mana
yang tak memerlukan mithos perneguh? - pengembalian peristiwa
"Sumpah Pemuda pada konteks sejarahnya akan juga memperlihatkan
tongkat pentingnya (significance) yang tinggi.
Mungkin kedengarannya suatu paradoks, tetapi sumpah yang
serba romantik dan idealistis itu adalah sesungguhnya
pengakhiran dari periode romantika, yang sibuk mencari
kesamaan-kesamaan kultural bagi terciptanya suatu bangsa baru.
Sumpah Pemuda adalah pernyataan sikap, bahwa identitas diri yang
baru, yang mengingkari batas-batas ethnis. di bawah dominasi
kolonial, adalah terutama masalah kehendak politik, bukan soal
kesamaan kultural. Namun serenta sikap ini diambil maka bukan
saja konsensus politik telah tercipta, tetapi sumber legitimasi
dalam pencarian dasar kultural bagi bangsa baru itu telah pula
dirumuskan.
Dalam suasana inilah seorang S.T. Alisyahballa tanpa
ragu-ragu menginginkan rasionalisme Barat sebagai dasar budaya
Indonesia baru. Ia tak merasa himpitan psikologis yang harus
membedakan antara "Timur" dan "Barat", seperti yang dialami Budi
Utomo dulu.
Mungkin dokter Tjipto Mangunkusumo benar pula, ketika ia
mengatakan bahwa baginya Taman Siswa "terlalu berbau Jawa".
Namun K.H. Dewantara, bukan saja ingin mencari alternatif yang
bercorak nasional - jadi Indonesia--terhadap sistem kolonial,
tetapi juga, seperti katanya, ingin bertolak dari Indonesia
"realia", sebagaimana realitas kini menampakkan dirinya, bukan
"futura" yang masih ada dalam angan-angan .
Bertolak dari konsensus ini pula seorang Natsir atau Salim
ingin memberi dasar Islam terhadap konlullitas politik nasional
yang ingin dibina itu. Maka tiada lagi kemungkinan
keterombang-ambingan antara aspirasi politik pan-lslam dengan
nasionalisme yang berdasarkan ke-lslam-an.
Dan lihatlah catatan atau buku teks betapa beranekanya
gagasan yang dilontarkan dalam berbagai bentuk. Konsensus dasar
rupanya telah membuka kesempatan bagi pluralitas dari pencarian
kultural.
"Sumpah Pemuda" jadinya telah pula menjadi dasar bertolak dari
berbagai corak kreativitas. Cita persatuan yang diletakkannya
dan rasa keterikatan yang dipatrikan ternyata dalam perspektil
sejarah telall berperan sebagai pembebasan Kultural. Tekanan
politik kolonial yang nlakin diperkeras tak berdaya apa-apa
membendung proses pembebasan ini.
Setelah kemerdekaan, berbagai krisis politik telah dilalui.
Dalam tinjauan ke belakang tampaklah bahwa krisis-krisis itu
bukan saja makin memperkuat makna "Sumpah Pemuda', tetapi makin
memperteguh pula konsensus ]ain yang sangat fundamental yaitu
Pancasila. Namun suatu pertanyaan terlintas pula, apakah dengan
begini, pembebasan dalam kreativitas kultural seperti yang
dirangsang oleh Sumpah Pemuda, harus dianggap sesuatu yang
anakronistik?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini