Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Aspek terlupakan dari sumpah pemuda

Pembentukan organisasi pemuda dari berbagai organisasi ke dalam "indonesia muda" merupakan peristiwa penting. itulah tonggak persatuan indonesia yang terwujud secara organisatoris pada 31 des 1930.

1 November 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

8 Oktober 1928. Tengah malam. Para peserta kongres telah makin letih. Ketika seorang pembicara masih asyik berpidato, sekretaris kongres berbisik kepada ketua."Saya punya rumusan resolusi yang lebih elegant." Ketua membaca kertas yang disodorkan. Dan segera menulis kata "Setuju". Walaupun agak terheran-heran, yang lain, yang duduk di meja pimpinan, juga menuliskan kata yang sama. Demikianlah, konon ceritanya terciptanya rumusan keramat "Sumpah Pemuda". Begitu sederhana kisahnya. Maka van der Plas, pejabat dari Kantor Penasihat Urusan Bumiputra, yang hadir pada waktu itu, pun menulis dalam laporan rahasianya bahwa putusan Kongres Pemuda Il itu sama sekali tidak "praktis" . Bahkan, katanya, hasil itu tidaklah penting benar dalam pergerakan pemuda umumnya. Mungkin dugaannya tak begitu salah. Apakah artinya resolusi, jika belum di wujudkan pada kesediaan organisatoris untuk mendukungnya. Jika pun ini telah selesai, apakah akan didukung oleh organisasi-organisasi lain, yang ikut kongres atau pun yang tidak? Ia pun memperkirakan bahwa kongres Jong Java yang akan diadakan bakal lebih menentukan. Setelah mengusahakannya sejak tahun 1921 akhirnya beberapa organisasi pemuda setuju untuk melebur diri mereka ke dalam suatu organisasi nasional, Indonesia Muda, pada tanggal 31 Desember 1930. Maka mereka pun menukilkan kata-kata ini dalam resolusi hasil rapat yang menentukan itu (dengan memakai ejaan yang disempurnakan), "Sudah sesungguh-sungguhnyalah putra dan putri yang bertumpah darah di sini memperingatkan dan memperingati hari raya yang maha tinggi, yaitu ketika kita bersama-sama mendirikan perkumpulan yang selaras dengan semangat bangsa kita, perkumpulan Indonesia Muda. Dan ahli sejarah tentulah akan menuliskan saat ini dalam kitab Tambo Nasional dengan tinta emas dan hati yang gembira." Salahkah mereka, para pimpinan pemuda itu jika mereka memberi nilai historis yang demikian tinggi terhadap peristiwa yang baru dilalui? Mungkin tidak. Inilah klimaks dari berbagai usaha yang kadang-kadang disertai konflik yang menyentuh hati, dan yang telah dirintis sejak hampir sepuluh tahun . Bukankah dengan dileburnya berbagai organisasi pemuda ke dalam Indonesia Muda berarti terwujudnya tekad dan hasrat "Persatuan Indonesia" secara organisatoris'? Adakah yang lebih menegangkan daripada proses terjadinya peralihan dari "kemungkinan" menjadi "ada"? Dan pandangan historis siapa yang tidak akan tergugah dengan peristiwa ini? Pemberian nilai historis terhadap peristiwa yang sedang dialami bukan saja bertolak dari kemampuan kognitif terhadap kemungkinan tempat peristiwa tersebut dalam untaian kausalitas, tetapi juga dari hasrat normatif yang dirasakan Jadi ia bisa pula merupakan pantulan dari kedirian--diri yang ingin menyediakan skenario bagi tempat pengalaman. Karena itu keadaan yang terbalik yang terjadi, yaitu 28 Oktober dirayakan, sedangkan 31 Desember dibiarkan lewat, tidaklah harus dianggap sebagai suatu kesalahan. Juga mungkin tidak suatu ironi. Hal ini menunjukkan bahwa dinamik sejarah tidaklah hanya terkait secara langsung pada untaian peristiwa, yang satu mengikuti yang lain, tetapi juga menyentuh kesadaran, yang pada gilirannya dapat memberi corak yang kadang-kadang keras terhadap untaian kausalitas. Jika masalahnya soal untaian kausalitas dari peristiwa-peristiwa yang nyata, maka tidaklah terlalu salah harapan dari para tokoh organisasi pemuda yang demikian tinggi menilai peristiwa fusi dan organisasi-organisasi mereka. Tetapi betapa pun besarnya hasrat persatuan, karena adanya berbagai hal yang dianggap mendasar menyebabkan beberapa organisasi pemuda enggan meleburkan diri ke dalam Indonesia Muda. Bahkan kemudian berbagai macam dan corak organisasi pemuda pun berjamuran pula. Betapa pun aktivitas Indonesia Muda menyebabkan pemerintah Hindia Belanda memperkuat kontrol politiknya, kehadiran berbagai organisasi pemuda serta merta menurunkan nilai historis dari penilaian normatif yang dirumuskan pada tanggal 31 Desember itu. Jadi benarlah rupanya bahwa nilai sejarah tidaklah tergantung pada perwujudan kelembagaan dari cita-cita yang telah dipatrikan. Jika peristiwa sejarah dirasakan sebagai memenuhi kepuasan kultural dan bila peristiwa yang mendahului dan mengikutinya dinilai sebagai telah memperkuat makna yang dipantulkannya, maka terjadinya mithologisasi dari peristiwa tersebut adalah hal yang lumrah saja. Tetapi dengan begini sejarah tak lagi merupakan suatu masaiah, yang meminta jawaban, tetapi tautologi, yang mengingkari bertungsinya jawaban. Begitulah "Sumpah Pemuda" telah merupakan mithologi modern kita. Padanya telah terlekat bcrbagai nilai serba baik dan daripadanya telah pula diambil berbagai cerita yang bisa memperkuat makna peristiwa itu dalam kesadaran nasional. Terlepas dari kecenderungan kultural umum ini bangsa mana yang tak memerlukan mithos perneguh? - pengembalian peristiwa "Sumpah Pemuda pada konteks sejarahnya akan juga memperlihatkan tongkat pentingnya (significance) yang tinggi. Mungkin kedengarannya suatu paradoks, tetapi sumpah yang serba romantik dan idealistis itu adalah sesungguhnya pengakhiran dari periode romantika, yang sibuk mencari kesamaan-kesamaan kultural bagi terciptanya suatu bangsa baru. Sumpah Pemuda adalah pernyataan sikap, bahwa identitas diri yang baru, yang mengingkari batas-batas ethnis. di bawah dominasi kolonial, adalah terutama masalah kehendak politik, bukan soal kesamaan kultural. Namun serenta sikap ini diambil maka bukan saja konsensus politik telah tercipta, tetapi sumber legitimasi dalam pencarian dasar kultural bagi bangsa baru itu telah pula dirumuskan. Dalam suasana inilah seorang S.T. Alisyahballa tanpa ragu-ragu menginginkan rasionalisme Barat sebagai dasar budaya Indonesia baru. Ia tak merasa himpitan psikologis yang harus membedakan antara "Timur" dan "Barat", seperti yang dialami Budi Utomo dulu. Mungkin dokter Tjipto Mangunkusumo benar pula, ketika ia mengatakan bahwa baginya Taman Siswa "terlalu berbau Jawa". Namun K.H. Dewantara, bukan saja ingin mencari alternatif yang bercorak nasional - jadi Indonesia--terhadap sistem kolonial, tetapi juga, seperti katanya, ingin bertolak dari Indonesia "realia", sebagaimana realitas kini menampakkan dirinya, bukan "futura" yang masih ada dalam angan-angan . Bertolak dari konsensus ini pula seorang Natsir atau Salim ingin memberi dasar Islam terhadap konlullitas politik nasional yang ingin dibina itu. Maka tiada lagi kemungkinan keterombang-ambingan antara aspirasi politik pan-lslam dengan nasionalisme yang berdasarkan ke-lslam-an. Dan lihatlah catatan atau buku teks betapa beranekanya gagasan yang dilontarkan dalam berbagai bentuk. Konsensus dasar rupanya telah membuka kesempatan bagi pluralitas dari pencarian kultural. "Sumpah Pemuda" jadinya telah pula menjadi dasar bertolak dari berbagai corak kreativitas. Cita persatuan yang diletakkannya dan rasa keterikatan yang dipatrikan ternyata dalam perspektil sejarah telall berperan sebagai pembebasan Kultural. Tekanan politik kolonial yang nlakin diperkeras tak berdaya apa-apa membendung proses pembebasan ini. Setelah kemerdekaan, berbagai krisis politik telah dilalui. Dalam tinjauan ke belakang tampaklah bahwa krisis-krisis itu bukan saja makin memperkuat makna "Sumpah Pemuda', tetapi makin memperteguh pula konsensus ]ain yang sangat fundamental yaitu Pancasila. Namun suatu pertanyaan terlintas pula, apakah dengan begini, pembebasan dalam kreativitas kultural seperti yang dirangsang oleh Sumpah Pemuda, harus dianggap sesuatu yang anakronistik?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus