Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Suara sehari-hari

Pemain musik dari essen, jerman barat, michael jullich, 28, memainkan sejumlah alat perkusi seorang diri di teater arena, tim.

1 November 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGAIMANA memainkan sejumlah alat perkusi seorang diri? Itulah pertanyaan yang muncul, begitu masuk Teater Arena TIM, Jumat malam pekan lalu. Ternyata Michael Jullich, 28 tahun, musikus kelahiran Essen Jerman Barat itu, sepertinya tak mengalami kesulitan apa pun. Dengan enak ia pukul tambur, lalu berputar, memukul gong yang ada di arah belakangnya. Kadang urut-mulai dari gong ukuran kecil sampai gong besar, kadang meloncat-loncat. lalu simbal pun mendapat bagian. Dan berkali-kali, untuk memperoleh efek bunyi yang dia kehendaki, ia mengganti alat pemukulnya: dari yang seperti pemukul gong gamelan Jawa sampai alat pemukul yang kepalanya sebesar kelereng. Atau, hanya digunakan stick yang mirip kuas cat. Tak hanya itu. Ia pun menggunakan alat penggesek untuk menggesek pinggir gong , atau pinggir simbal. Dan terkadang pula, gong yang habis dipukulnya, yang masih memperdengarkan dengung, ia angkat, dimasukkannya sedikit ke dalam ember plastik berisi air yang tersedia. Maka sejumlah tambur, berbagai jenis simbal, gong, keyboards, lembaran logam, dua per yang cukup besar, bongo, tam-tam saling berkomunikasi, kadang riuh, kadang lirih, membentuk musik yang oleh Jullich disebutnya sebagai 'musik baru'. Dan sebetulnya saja, musik ini merupakan suara-suara atau bunyi yang tak sulit didengar sehari-harinya, yang dipadukan. Ada suara mirip suara pesawat terbang, ada gemuruh kereta api, ada suara ricik hujan. Atau, ketika gaung suara-suara itu telah lenyap, dan si Jullich menggesek pinggir simbalnya, terdengarlah suara seperti suara motor di jauh sana di tengah malam. Kekhawatiran Berbeda dengan grup perkusi dari Strasborough di TIM beberapa tahun lalu, Jullich lebih menyuguhkan suara yang saling berbenturan mengempal, berdengung dan lenyap. Perkusi dari Strasborough dengan sejumlah pemain yang menyebar--bukan hanya di panggung, tapi juga di tempat penonton, menyuguhkan satu dialog suara perkusi yang sahut-menyahut. Jullich yang konon mcndapatkan berbagai hadiah di Eropa, memang trampil. Bertubuh gemuk, berkumis dengan rambut gondrong, ia nampak basah kuyup. Dan sebelum memulai satu nomor komposisi, ia selalu memberikan pengantar terlebih dahulu. "Ini musik baru, mudah-mudahan anda pahami . . ." dan seterusnya. Nah, itulah yang mengganggu suasana pertunjukan ini. Ada semacam kekhawatiran, agaknya, dalam dirinya, kalau-kalau musiknya tak terpahami oleh orang Jakarta. Padahal sejumlah pertunjukan musik yang lebih garda depan darinya sudah sering diadakan di TIM. Dan sebenarnya saja musik Jullich masih enak didengar. Terutama kalau memperdengarkan suara-suara gemuruh. "Lebih gemuruh suara yang saya mainkan, rasanya lebih senang hati saya," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus