BAGAIMANA memainkan sejumlah alat perkusi seorang diri?
Itulah pertanyaan yang muncul, begitu masuk Teater Arena TIM,
Jumat malam pekan lalu.
Ternyata Michael Jullich, 28 tahun, musikus kelahiran Essen
Jerman Barat itu, sepertinya tak mengalami kesulitan apa pun.
Dengan enak ia pukul tambur, lalu berputar, memukul gong yang
ada di arah belakangnya. Kadang urut-mulai dari gong ukuran
kecil sampai gong besar, kadang meloncat-loncat. lalu simbal pun
mendapat bagian. Dan berkali-kali, untuk memperoleh efek bunyi
yang dia kehendaki, ia mengganti alat pemukulnya: dari yang
seperti pemukul gong gamelan Jawa sampai alat pemukul yang
kepalanya sebesar kelereng. Atau, hanya digunakan stick yang
mirip kuas cat.
Tak hanya itu. Ia pun menggunakan alat penggesek untuk
menggesek pinggir gong , atau pinggir simbal. Dan terkadang
pula, gong yang habis dipukulnya, yang masih memperdengarkan
dengung, ia angkat, dimasukkannya sedikit ke dalam ember plastik
berisi air yang tersedia.
Maka sejumlah tambur, berbagai jenis simbal, gong, keyboards,
lembaran logam, dua per yang cukup besar, bongo, tam-tam saling
berkomunikasi, kadang riuh, kadang lirih, membentuk musik yang
oleh Jullich disebutnya sebagai 'musik baru'.
Dan sebetulnya saja, musik ini merupakan suara-suara atau bunyi
yang tak sulit didengar sehari-harinya, yang dipadukan. Ada
suara mirip suara pesawat terbang, ada gemuruh kereta api, ada
suara ricik hujan. Atau, ketika gaung suara-suara itu telah
lenyap, dan si Jullich menggesek pinggir simbalnya, terdengarlah
suara seperti suara motor di jauh sana di tengah malam.
Kekhawatiran
Berbeda dengan grup perkusi dari Strasborough di TIM beberapa
tahun lalu, Jullich lebih menyuguhkan suara yang saling
berbenturan mengempal, berdengung dan lenyap. Perkusi dari
Strasborough dengan sejumlah pemain yang menyebar--bukan hanya
di panggung, tapi juga di tempat penonton, menyuguhkan satu
dialog suara perkusi yang sahut-menyahut.
Jullich yang konon mcndapatkan berbagai hadiah di Eropa,
memang trampil. Bertubuh gemuk, berkumis dengan rambut gondrong,
ia nampak basah kuyup. Dan sebelum memulai satu nomor komposisi,
ia selalu memberikan pengantar terlebih dahulu. "Ini musik baru,
mudah-mudahan anda pahami . . ." dan seterusnya. Nah, itulah
yang mengganggu suasana pertunjukan ini.
Ada semacam kekhawatiran, agaknya, dalam dirinya, kalau-kalau
musiknya tak terpahami oleh orang Jakarta. Padahal sejumlah
pertunjukan musik yang lebih garda depan darinya sudah sering
diadakan di TIM.
Dan sebenarnya saja musik Jullich masih enak didengar. Terutama
kalau memperdengarkan suara-suara gemuruh. "Lebih gemuruh suara
yang saya mainkan, rasanya lebih senang hati saya," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini