Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Hidup-hidupan

Beberapa penduduk pedesaan di jawa ternyata hidup dalam garis kemiskinan. di Cirebon upah seorang buruh tani hanya seharga 1 kg beras. penduduk desa di brebes sudah 9 tahun makan umbi rumput.

1 November 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIA lebih mirip turis murahan daripada sarjana kawakan dari universitas terkemuka. Bajunya kaus oblong sederhana berwarna hijau, celananya sedikit kebesaran, sepatu sandalnya agak reot. Tapi cukurannya rapi dan tutur bahasanya amat sopan. - Maaf saya datang begitu saja tanpa perjanjian lebih dahulu. Dan salam dari Alan Smith. Kami bekerja di lembaga penelitian yang sama. --Terima kasih. Sudah hampir 3 tahun kami tidak bertemu. -- Dari apa yang saya baca, saya pikir sudah banyak dicetuskan soal kemiskinan di Indonesia belakangan ini. Berbeda dengan 5 tahun yang lalu ketika saya masih di Indonesia. Menarik bahwa konperensi HIPIS (Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial) di Malang mengambil tema kemiskinan, demikian pula konperensi PERHEPI (Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia) di Medan. Mudah-mudahan ada titik temu antara PERHEPI ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi lndonesia) dan Pemerintah dalam strategi pemecahan masalah kemiskinan. -- Perkembangan di Indonesia cukup menggembirakan dalam hal itu. Dalam berbagai forum soal kemiskinan dibahas. Presiden juga mengemukakan persoalan kemiskinan itu dalam pidato kenegaraan beliau tahun 1977. Beliau berharap tidak ada lagi orang lndonesia di bawah garis kemiskinan pada akhir Pelita III. Baru-baru ini Frans Seda malah menulis: Falsafah Pancasila tanpa dikaitkan dengan masalah kemiskinan adalah falsafah borjuis dan feodal dan kehilangan kesaktian dan pamornya yang asli. -- Saya bermaksud menanyakan sesuatu kepada anda, tentang perbedaan Indonesia dan India. Dalam salah satu laporan Bank Dunia disebutkan bahwa angka kematian di Indonesia lebih tinggi daripada di India. Menurut laporan itu, harapan hidup di Indonesia lebih pendek daripada di India. Apakah itu benar? - Saya belum membaca laporan itu. Tapi kalau itu benar, apakah anda mau menghubungkan tingkat kematian dan harapan hidup itu dengan tingkat kemiskinan? -- Ya, betul. Keadaan gizi adalah penentu utama dari tingkat kematian. Bukan jumlah dokter atau rumah sakit. Persoalannya sekarang, saya tidak merasa logis buruh tani di Jawa lebih miskin daripada penduduk Iniskin di pedesaan India. Apakah saya keliru? Aduh, keadaan kemiskinan di India begitu parah dan begitu gamblang. Apakah anda pernah ke India? -- Pernah, tapi cuma lihat Bombay, New Delhi, Taj Mahal dan beberapa desa dekat New Delhi. Waktu itu musim kemarau dan desa-desa itu begitu kering, berdebu dan menyedihkan. -- Saya kira anda sependapat dengan saya bahwa keadaan orang miskin di Jawa masih lumayan jika dibandingkan dengan di India. -- Entahlah. Mungkin benar, mungkin tidak. Desa di Jawa lebih hijau dan kemiskinan tidak kelihatan mencuat. Di desa Jawa rumah-rumah dipendam oleh hutan kecil yang cantik pohon kelapa, pohon melinjo, rumpun bambu dan berlusin tanaman lain. Lalu ada sawah, bebek dan sapi yang dimandikan di sungai. Dan orangnya begitu ramah. Orang miskin di Jawa barangkali lebih banyak tersenyum dari pada orang miskin di India. Lalu malam hari mengalun suara gamelan, sering semalaman suntuk. Itu semua tidak berasosiasi dengan kemiskinan. Tapi sekarang sudah jelas keindahan itu menyelubungi persoalan kemiskinan yang parah. -- Tapi apakah ada bukti bahwa buruh tani miskin di Jawa lebih miskin daripada buruh tani miskin di India? -- Saya tidak tahu. Keadaan di India sendiri tentu beragam-ragam. Cuma kalau kita lihat guntingan koran beberapa minggu terakhir ini, ada beberapa hal yang cukup mengejutkan di negeri ini. Sinar harapan (2-10-1980) melaporkan pcngusaha di Yogyakarta enggan bayar upah minimum Rp 230 sehari. Itu tak sampai 40 sen dolar sehari. Masih banyak karyawan yang mendapat upah Rp 150 sehari, malah ada yang cuma mendapat Rp 90. -- Serendah itu? -- Ya. Dan gejala ini tidak cuma menampakkan diri di Yogyakarta. Menurut Suara Karya (19-9-1980), ratusan buruh tani di kecamatan Waled Ciledug, Cirebon, mengeluh. Gaji mereka sehari antara Rp 200 dan Rp 250, tanpa diberi makan atau rokok. Walau mengeluh, mereka berebut karena sulit mencari pekerjaan. Yang mereka terima sama sekali tidak sepadan dengan kenaikan BBM dan harga-harga pada umumnya. Tapi mau apa lagi. -- Maaf, saya baru tiba kemarin. Belum tahu harga barang-barang di Indonesia. -- Bir Bintang Rp 600 per botol, Coca Cola Rp 100, rokok Commodore Rp 180, Dunhill Rp 650, tapal gigi Pepsodent Rp 300, sabun Camay Rp 375, Palmolive Rp 180, langganan koran Rp 2600 sebulan, sekali berenang Rp 1000 di Hotel Ambarukmo. -- Maksud saya harga makanan. -- Beras jenis sedang Rp 240 - Rp 260 per kg, telur ayam Rp 1000 per kg, daging Rp 2400 per kg, pisang ambon Rp 60 per biji. -- Huh, upah sekitar 1 kg beras sehari, kalau ada pekerjaan. Bagaimana mereka bisa hidup? -- Sukar diterangkan. Harga-harga mengejek kehidupan mereka. Mereka hidup-hidupan. Terserah kalau mau dibilang massa yang hidup-hidupan. Kalau dipakai (salah satu) ukuran garis kemiskinan Sajogyo, yakni pendapatan minimum setara 240 kg beras setahun per kapita untuk pedesaan dan 360 kg beras untuk pekotaan, jelas mereka sudah terperosok ke bawah garis kemiskinan. Terperosok jauh ke dalamnya walau suami istri bekerja dan konsekuen mempraktekkan keluarga berencana katakanlah mempunyai anak dua atau tiga. Nah, bagaimana kira-kira kalau dibandingkan dengan India? -- Well. Rekan itu cuma geleng-geleng kepala dan senyum pahit. Nampaknya dia mulai merasa laporan Bank Dunia itu mengandung kebenaran. Sambil pamit dia berjanji mengirim- kan laporan itu untuk saya maklumi. Sengaja tidak saya kisahkan padanya riwayat penduduk desa Krakahan di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Menurut hasil penelitian Pusat Pengembangan Agrobisnis sudah 9 tahun mereka makan umbi rumput dan makan nasi paling banter sekali sehari (Kompas, 14-10-1980). Cerita demikian tidak pantas diketahui orang asing, bukan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus