DIA lebih mirip turis murahan daripada sarjana kawakan dari
universitas terkemuka. Bajunya kaus oblong sederhana berwarna
hijau, celananya sedikit kebesaran, sepatu sandalnya agak reot.
Tapi cukurannya rapi dan tutur bahasanya amat sopan.
- Maaf saya datang begitu saja tanpa perjanjian lebih dahulu.
Dan salam dari Alan Smith. Kami bekerja di lembaga penelitian
yang sama.
--Terima kasih. Sudah hampir 3 tahun kami tidak bertemu.
-- Dari apa yang saya baca, saya pikir sudah banyak dicetuskan
soal kemiskinan di Indonesia belakangan ini. Berbeda dengan 5
tahun yang lalu ketika saya masih di Indonesia. Menarik bahwa
konperensi HIPIS (Himpunan Indonesia untuk Pengembangan
Ilmu-ilmu Sosial) di Malang mengambil tema kemiskinan, demikian
pula konperensi PERHEPI (Perhimpunan Ekonomi Pertanian
Indonesia) di Medan. Mudah-mudahan ada titik temu antara PERHEPI
ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi lndonesia) dan Pemerintah dalam
strategi pemecahan masalah kemiskinan.
-- Perkembangan di Indonesia cukup menggembirakan dalam hal itu.
Dalam berbagai forum soal kemiskinan dibahas. Presiden juga
mengemukakan persoalan kemiskinan itu dalam pidato kenegaraan
beliau tahun 1977. Beliau berharap tidak ada lagi orang
lndonesia di bawah garis kemiskinan pada akhir Pelita III.
Baru-baru ini Frans Seda malah menulis: Falsafah Pancasila tanpa
dikaitkan dengan masalah kemiskinan adalah falsafah borjuis dan
feodal dan kehilangan kesaktian dan pamornya yang asli.
-- Saya bermaksud menanyakan sesuatu kepada anda, tentang
perbedaan Indonesia dan India. Dalam salah satu laporan Bank
Dunia disebutkan bahwa angka kematian di Indonesia lebih tinggi
daripada di India. Menurut laporan itu, harapan hidup di
Indonesia lebih pendek daripada di India. Apakah itu benar?
- Saya belum membaca laporan itu. Tapi kalau itu benar, apakah
anda mau menghubungkan tingkat kematian dan harapan hidup itu
dengan tingkat kemiskinan?
-- Ya, betul. Keadaan gizi adalah penentu utama dari tingkat
kematian. Bukan jumlah dokter atau rumah sakit. Persoalannya
sekarang, saya tidak merasa logis buruh tani di Jawa lebih
miskin daripada penduduk Iniskin di pedesaan India. Apakah saya
keliru? Aduh, keadaan kemiskinan di India begitu parah dan
begitu gamblang. Apakah anda pernah ke India?
-- Pernah, tapi cuma lihat Bombay, New Delhi, Taj Mahal dan
beberapa desa dekat New Delhi. Waktu itu musim kemarau dan
desa-desa itu begitu kering, berdebu dan menyedihkan.
-- Saya kira anda sependapat dengan saya bahwa keadaan orang
miskin di Jawa masih lumayan jika dibandingkan dengan di India.
-- Entahlah. Mungkin benar, mungkin tidak. Desa di Jawa lebih
hijau dan kemiskinan tidak kelihatan mencuat. Di desa Jawa
rumah-rumah dipendam oleh hutan kecil yang cantik pohon kelapa,
pohon melinjo, rumpun bambu dan berlusin tanaman lain. Lalu ada
sawah, bebek dan sapi yang dimandikan di sungai. Dan orangnya
begitu ramah. Orang miskin di Jawa barangkali lebih banyak
tersenyum dari pada orang miskin di India. Lalu malam hari
mengalun suara gamelan, sering semalaman suntuk. Itu semua tidak
berasosiasi dengan kemiskinan. Tapi sekarang sudah jelas
keindahan itu menyelubungi persoalan kemiskinan yang parah.
-- Tapi apakah ada bukti bahwa buruh tani miskin di Jawa lebih
miskin daripada buruh tani miskin di India?
-- Saya tidak tahu. Keadaan di India sendiri tentu beragam-ragam.
Cuma kalau kita lihat guntingan koran beberapa minggu terakhir
ini, ada beberapa hal yang cukup mengejutkan di negeri ini.
Sinar harapan (2-10-1980) melaporkan pcngusaha di Yogyakarta
enggan bayar upah minimum Rp 230 sehari. Itu tak sampai 40 sen
dolar sehari. Masih banyak karyawan yang mendapat upah Rp 150
sehari, malah ada yang cuma mendapat Rp 90.
-- Serendah itu?
-- Ya. Dan gejala ini tidak cuma menampakkan diri di Yogyakarta.
Menurut Suara Karya (19-9-1980), ratusan buruh tani di kecamatan
Waled Ciledug, Cirebon, mengeluh. Gaji mereka sehari antara Rp
200 dan Rp 250, tanpa diberi makan atau rokok. Walau mengeluh,
mereka berebut karena sulit mencari pekerjaan. Yang mereka
terima sama sekali tidak sepadan dengan kenaikan BBM dan
harga-harga pada umumnya. Tapi mau apa lagi.
-- Maaf, saya baru tiba kemarin. Belum tahu harga barang-barang
di Indonesia.
-- Bir Bintang Rp 600 per botol, Coca Cola Rp 100, rokok
Commodore Rp 180, Dunhill Rp 650, tapal gigi Pepsodent Rp 300,
sabun Camay Rp 375, Palmolive Rp 180, langganan koran Rp 2600
sebulan, sekali berenang Rp 1000 di Hotel Ambarukmo.
-- Maksud saya harga makanan.
-- Beras jenis sedang Rp 240 - Rp 260 per kg, telur ayam Rp 1000
per kg, daging Rp 2400 per kg, pisang ambon Rp 60 per biji.
-- Huh, upah sekitar 1 kg beras sehari, kalau ada pekerjaan.
Bagaimana mereka bisa hidup?
-- Sukar diterangkan. Harga-harga mengejek kehidupan mereka.
Mereka hidup-hidupan. Terserah kalau mau dibilang massa yang
hidup-hidupan. Kalau dipakai (salah satu) ukuran garis
kemiskinan Sajogyo, yakni pendapatan minimum setara 240 kg beras
setahun per kapita untuk pedesaan dan 360 kg beras untuk
pekotaan, jelas mereka sudah terperosok ke bawah garis
kemiskinan. Terperosok jauh ke dalamnya walau suami istri
bekerja dan konsekuen mempraktekkan keluarga berencana
katakanlah mempunyai anak dua atau tiga. Nah, bagaimana
kira-kira kalau dibandingkan dengan India?
-- Well.
Rekan itu cuma geleng-geleng kepala dan senyum pahit.
Nampaknya dia mulai merasa laporan Bank Dunia itu mengandung
kebenaran. Sambil pamit dia berjanji mengirim- kan laporan itu
untuk saya maklumi.
Sengaja tidak saya kisahkan padanya riwayat penduduk desa
Krakahan di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Menurut hasil
penelitian Pusat Pengembangan Agrobisnis sudah 9 tahun mereka
makan umbi rumput dan makan nasi paling banter sekali sehari
(Kompas, 14-10-1980). Cerita demikian tidak pantas diketahui
orang asing, bukan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini