KEMBALI Taman Ismail Marzuki Jakarta diramaikan oleh karya penata tari yang datang dari Bandung, Padang, dan Jakarta, dalam Pekan Koreografi 1992. Acara yang berlangsung dua hari (10-11 Oktober 1992) ini menampilkan enam karya. Sedangkan sehari sesudah itu diadakan diskusi antara penata tari dan tiga orang pengamat: Farida Feisol, Endo Suanda, dan saya sendiri. Pekan Koreografi ini diselenggarakan Dinas Kebudayaan DKI Jakarta untuk mencari potensi dan karya-karya baru yang bermutu. Gusmiati Suid, penata tari Minang yang sejak 1987 menetap di Jakarta, ditugasi memilih peserta dan menjadi project officer. Pekan Koreografi ini diilhami oleh Festival Penata Tari muda (FPTM) Dewan Kesenian Jakarta yang pernah diikuti Gusmiati (1979) dan telah mengantarnya ke forum tari yang lebih tinggi. Tiga penata tari tampil pada malam pertama: Djoko Suko Sadono (Jakarta), Hartati (Jakarta), dan Ery Mefri (Padang). Sisanya, Benny Krisnawardi (Jakarta), Dindin Rasidin dan Kawi (Bandung), serta Bekti Lasmini (Jakarta), manggung pada malam kedua. Ketujuh penata tari itu adalah penari tradisi (Betawi, Jawa, Sunda, dan Minangkabau) yang ingin bebas dengan menempuh jalan yang berbeda: ada yang bermain di pangkuan tradisi, ada yang gelisah. Ada yang santai memecah masalah, ada yang penuh ketegangan. Yang paling lekat dengan tradisi adalah Arya Kemuning, garapan bersama Dindin Rasidin dan Kawi dari ASTI Bandung. Ditarikan oleh tujuh penari pria dengan kostum daerah yang seragam, komposisi ini bertolak dari tayub "keraton" (Sunda) yang didominasi gerakan rampak. Iringannya memadukan berbagai ensambel musik tradisi dan merupakan satu-satunya garapan yang naratif: mengungkap perasaan dan suasana yang dihadapi oleh Arya Kemuning. Farida Feisol memuji teknik gerak penari penari Arya Kemuning yang mantap dan setia kepada tradisi ini. Sebaliknya Endo Suanda, yang orang Sunda, melihat pengaruh gaya komposisi STSI Surakarta sangat kuat. Saya sendiri melihat, dalam Arya Kemuning garap "bedaya" Jawa diwantahkan dan ditarikan oleh pria. Yang baru: garap tak lagi mengacu pada ketuk tilu/jaipongan yang selama ini menjadi alternatif tunggal garapan tari Sunda. Yang menimang kebebasan adalah wakil-wakil Jakarta: Hartati (dengan karya berjudul Ketika), Benny K. (Sssttt ... Ssssst), dan Bekti L. (Labirin), ketiganya dari IKJ. Bagi ketiga penata tari ini, tradisi tak lagi menjadi beban. Mereka tetap memanfaatkan gerak tradisi, tetapi pencarian mereka adalah pencarian individual. Jakarta mengajari mereka berlaku efisien: bagaimana dengan 3-4 penari memikat penonton selama 20 menit. Ketiganya membuat komposisi tak bercerita dengan gerak, iringan, dan kostum non-tradisi. Kelemahannya, gaya individu belum ketemu: pendekatan garap masih mirip satu sama lain. Djoko S.S. dan Ery Mefri berhasrat keluar dari tradisi. Topeng-topeng, karya Djoko yang diiringi instrumentarium Betawi, adalah penjelajahan gerak 4 penari putra dan 3 putri dengan menggunakan topeng sebagai benda kriya, simbol kepura-puraan, dan pengungkap berbagai karakter. Karya ini bagus di awal, pada adegan 4 penari di bawah kain putih yang bergerak dengan topeng di tangan, tetapi lama-kelamaan kehilangan fokus, asal lucu dan meriah. Ery Mefri, yang menggarap Hutan Warisan berdasar tari Jalo, tak setegar Hartati atau Benny. Barangkali situasi daerah kurang mendukung. Keinginan Ery meman faatkan gerak sehari-hari: seorang ibu menggendong anaknya, dan mengangkat tema lingkungan, sangat terpuji, tetapi belum terlaksana dengan pas. Keberhasilan sebuah koreografi ditentukan, antara lain, oleh tiga hal: teknik menari, teknik komposisi, dan isi/penghayatan. Teknik menari yang tinggi memang perlu, tetapi tak harus ditimba dari luar negeri. Kita boleh belajar ke Barat mencicipi bagaimana disiplin dan latihan berat dilakukan seorang penari. Tetapi setiap tarian (Jawa, Bali, Sunda, Minang) mempunyai teknik geraknya sendiri. Dan jika seorang penata tari ingin mempunyai warna geraknya yang khas, ia harus mencipta dan mengajarkan teknik geraknya sendiri. Bagong, Huriah (almarhum), dan Gusmiati Suid adalah tiga dari sedikit penata tari Indonesia yang berhasil menciptakan teknik geraknya sendiri. Sementara teknik gerak penari dipersoalkan, teknik komposisi penata tari banyak dipuji. Rata-rata ketujuh penata tari tersebut telah lebih fasih dalam menata gerak, ruang, irama, dan tenaga daripada penata-penata tari sepuluh tahun silam. Tetapi kebregasan wujud ini tak boleh mendesak intuisi dan penghayatan yang lebih dimiliki oleh para penata tari senior. Tanpa kedalaman isi dan penghayatan, koreografi akan menjadi matematis dan tak berjiwa. Pada masa datang, peta tari Indonesia yang bineka akan diperkaya dengan keragaman gaya individu. Sal Murgiyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini