WARUNG tidak laku payah, warung laku susah. Ini yang dialami I Wayan Tangun, 45 tahun, dan istrinya, Ni Wayan Langi, 40 tahun. Warga Banjar Timbrah, Desa Pertima, Karangasem, Bali, ini sejak tiga tahun silam membuka warung aneka keperluan sehari-hari. Jaraknya sekitar 1 km dari rumah mereka. Warung Langi kayun bukan main, hingga tiap hari tutup sekitar pukul 23.00 waktu setempat. Suaminya yang bekerja sebagai penebang kayu, pergi pagi buta dan pulangnya malam, kurang senang melihat warung itu ramai. Apalagi dilihatnya Langi jadi pesolek. Di bagian ini bulu curiganya mulai megar. Sampai pada suatu hari anaknya sendiri menabur racun ke kuping Tangun: ibunya ada main dengan seorang anak muda, yang tak lain keponakan Tangun sendiri. Maka bulu curiganya berbiak menjadi cemburu. Tangun lalu menggusur warung itu. "Ia juga menjambak rambut saya dan tak mengizinkan saya pulang," kata Langi pekan lampau kepada Putu Fajar Arcana dari TEMPO. Langi kemudian mengontrak warung lain dengan beras dua karung atau senilai Rp 120 ribu per tahun. Dan sejak satu setengah tahun ini ia tidur menyendiri di bawah meja jualan warung 6,5 x 2 m itu. "Saya merasa disepelekan. Bahkan ia menuduh saya wanita murahan," katanya. Langi sudah mengajukan surat cerai kepada Kelihan Dinas dan Kepala Desa. Merasa pengaduannya tak digubris, awal Oktober lalu ia pergi ke Kantor Camat, namun disarankan mengajukan nya ke Pengadilan Negeri Amlapura. Kini ia berusaha mencari akta nikah yang belum dipunyainya semenjak kawin, 1972. Lain pengaduan Langi, lain pengakuan Tangun. "Saya masih cinta kepada dia. Jadi untuk apa saya cerai," kata bapak yang kini mengasuh lima anaknya itu. Tekadnya, di pengadilan nanti ia tak mau cerai, sebab merasa lumayan susah mendapat kan istrinya itu. Misalnya, ketika dua tahun pacaran, Tangun tidak kepalang tanggung ngayah (mengabdi) kepada Langi. Ya, memikul ketela pohon yang akan dijual Langi di pasar ditempuh dengan jalan kaki sekitar 50 km. Tiap hari bolak balik dua kali. Satu pikul beratnya 50 kg. Menurut Ketua Parisadha Desa Pertima I Wayan Redana, Tangun beberapa kali membujuk istrinya agar tak tidur di warung yang sempit berbau dedak itu. Entah ini protes terhadap perlakuan suaminya, atau ada sebab lain. Redana pernah menyarankan agar keduanya rujuk kembali. "Saya tak berani menilai apakah ia serong atau tidak," katanya. Tangun kini bekerja membelah papan di desa tetangganya dengan penghasilan Rp 6.000 perhari. "Untuk lima anak itu berat bagi saya," katanya. "Memang tugas dialah sebagai lelaki mengasuh anak-anak," sambut istrinya. Kini anak-anaknya dilarang Langi ke warungnya. Sang ayah pun jatuh gengsi, hingga akhirnya ia melarang anak-anaknya berbelanja ke warung ibunya itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini