ENAM buah bis dan berpuluh mobil bergerak beriring-iring meninggalkan Masjid Salman ITB, Bandung, menuju sebuah makam keluarga Panyingkiran, Garut, pada tengah hari 19 September. Seorang pelukis, guru besar, dan ulama, diantar ke peristirahatan terakhir. Ahmad Sadali telah menutup mata, hari itu pukul 04.30, di rumahnya. Diperkirakan serangan jantung. "Seorang tokoh yang berhasil memadukan nilai estetika dengan napas agama," kata Rektor ITB, Hariadi P. Soepangkat, kepada seorang wartawan. Sadali memang demikian, tapi lebih dari itu. Kata Rusyad Nurdin, Ketua Yayasan Masjid Istiqomah dan Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, kepada TEMPO, "ia berusaha hidup damai dengan siapa saja. Tapi sebagai manusia, ada saja pertentangan-pertentangan. Itu soal biasa. Ia dapat dijadikan seorang teman baik." Ketika dalam paruh kedua abad lalu sekelompok orang meninggalkan Kudus, Jawa Tengah, dan menetap di Garut, Jawa Barat, seorang anak dari salah satu keluarga pindahan itu rupanya telah terpilih untuk menyiapkan lingkungan pertama yang amat penting bagi hidup Sadali. Anak itu di kemudian hari terkenal sebagai Haji Mas Djamhari, salah seorang pemrakarsa berdirinya Muhammadiyah cabang Garut. Ia juga pengusaha batik, pengumpul dan penjual barang seni kerajinan, pemilik percetakan dan kebun jeruk, dan penggemar musik Barat. Ia kawin dengan gadis setempat dan beranak 13 orang. Kesukaannya kepada seni, bahkan kepada keapikan berpakaian, rupanya menurun kepada anaknya yang ke-6, Ahmad Sadali, yang lahir 29 Juli 1924. Suasana yang dibangun dalam lingkungan keluarganya suasana ketaatan beribadat, kegiatan dalam organisasi Islam, keterpelajaran -- agaknya berpengaruh besar pada anaknya ini. Mungkin sekali, sanggar batiknya menjalankan peran khusus dalam memupuk kecenderungan Sadali kepada penggambar, dan kepada ketekunan dan kecermatan bekerja. "Dari kecil ia senang menggambar," kata Haji Noe'man, arsitek, mengenai kakaknya, Sadali. "Yang paling menonjol pada Ahmad Sadali adalah jiwa artistiknya." Setamat sekolah MULO "Pasundan" di Tasikmalaya (1941), Sadali melanjutkan pendidikan ke AMS (Algemeene Middelbare School, setingkat SMA) di Yogya, diselesaikan tahun 1944. Tahun itu juga masuk ke Sekolah Tinggi Islam, di Jakarta. Hanya setahun, karena perjuangan kemerdekaan berkobar. Bersama pelukis lain, ia menggambari dinding bangunan umum dan kereta api, mengobarkan semangat juang. Pulang ke Garut, ia jadi Kepala Siaran RRI darurat, sambil mengerjakan poster perjuangan. Tahun 1947 masuk kamp tahanan Belanda. Bebas dari tahanan setahun kemudian, ia belajar di Universiteire Leergang voor de Opleiding van Tekenleraren (Balai Pendidikan Universiter Guru Gambar), yang merupakan bagian dari Fakultas Ilmu Teknik Uniersiteit Indonesia, di Bandung. Selama 1956-1957 ia menambah studinya di Amerika Serikat, di State University of Iowa dan Columbia University of New York. Sejak 1950, ia ikut dalam berpuluh pameran bersama, baik di dalam maupun di luar negeri. Sejak 1970, lebih dari sepuluh kali ia berpameran tunggal. Pamerannya di Erasmus Huis Jakarta, 2-12 September lalu (TEMPO, 12 September) adalah pameran tunggalnya yang terakhir. Ia telah mengerjakan sejumlah karya monumental, antara lain lukisan dinding di gedung MPR/DPR dan Hotel Hilton, Jakarta, dan supergrafik di Taman Rekreasi Pusri, Palembang. Ia bukan cuma pelukis. Sadali juga staf akademi yang giat. Untuk tiga periode (semuanya meliputi masa 1962-1968), ia Ketua Bagian Seni Rupa ITB. Ia dikukuhkan jadi guru besar pada 1972. Dalam masa 1978-1983, dua kali berturut-turut ia memimpin Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Islam. Ia memang giat dalam berbagai yayasan yang berhubungan dengan Islam. Dialah ketua Yayasan Pembina Masjid Salman ITB, juga ketua Yayasan Umi Maktum (menolong orang-orang buta). Ia juga anggota Pleno Pengurus Majelis Ulama Indonesia, sejak 1985. Berdasarkan Surah Al-Imran dalam Quran, dalam salah satu makalahnya Sadali mengemukakan bahwa manusia punya tiga daya: daya pikir, yang banyak dituntut di bidang ilmu, daya rasa, yang penggunaannya terutama dituntut di bidang seni, dan daya Iman, yang terpusat dalam doa. Ketiga daya itu, menurut Sadali, harus berkembang selaras dan seimbang. Melihat Sadali di tiga gelanggang -- perguruan tinggi, seni, dan keagamaan -- orang dapat meraba, betapa ia telah berupaya mengembangkannya dalam dirinya. Di depan saya terletak bundel tulisan Sadali, 1973-1986, berisi pikiranpikirannya tentang berbagai pokok di sekitar Islam dan seni. Lebih dari 300 halaman kuarto tebalnya. Bundel berjudul "Buah Fikir dan Dikir" ini tentunya menunggu uluran penyunting dan penerbit, agar jadi sumbangan renungan bagi khalayak luas. Sanento Yuliman dan Ida Farida (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini