Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Aida Begic: Anak-anak Paling Menderita Akibat Perang

Bagi Aida Begic, Never Leave Me bukanlah sekadar film.

26 Oktober 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sutradara asal Bosnia itu menganggap film bikinannya tersebut sebagai media untuk menyampaikan pesan kepada anak-anak korban konflik dan perang di Suriah agar mereka tak pernah putus asa dalam menjalani kehidupan. “Ini sebuah proyek komunikasi,” kata perempuan 42 tahun itu.

Aida mengatakan ia dan sejumlah anggota kru film asal Bos­nia memahami perasaan anak-anak Suriah. Sebab, saat masih kecil, Aida dan krunya mengalami hal serupa ketika terjadi perang di Bosnia pada 1992-1995. Melalui Never -Leave Me, Aida ingin para bocah Suriah melihat ada anak-anak yang bisa melewati masa-masa sulit akibat perang. Anak-anak itu, yakni Aida dan kru filmnya, mampu bertahan dan melanjutkan hidup setelah perang. “Hidup itu berjalan terus,” ujarnya.

Pada Kamis dua pekan lalu, wartawan Tempo, Prihandoko, mewawancarai Aida Begic di Hotel Kosenda, Jakarta Pusat. Selama hampir satu jam Aida menceritakan sejumlah hal, dari kisah di balik pembuatan Never Leave Me hingga empatinya kepada anak-anak korban perang.

Bagaimana awal pembuatan Never Leave Me?

Ada sebuah organisasi di Turki yang mengajak saya bekerja sama. Mereka ingin membuat film yang mengangkat isu tentang para pengungsi Suriah di Turki. Lalu kami membuat lokakarya akting bersama anak-anak yatim-piatu Suriah yang menjadi pengungsi di Turki. Di situ saya menemukan aktor yang kemudian bermain dalam film tersebut. Kami memulai proyek film itu pada September 2015, tapi baru syuting pada 2017. Syutingnya berlangsung selama enam minggu di Turki.

Proses kreatifnya seperti apa?

Saya mendapatkan ide cerita saat lokakarya berlangsung. Saya ingin membuat cerita tentang upaya anak-anak Suriah keluar dari trauma akibat perang. Karena film diangkat berdasarkan kisah nyata anak-anak itu, saya meminta mereka berakting sebagai diri sendiri. Tapi sebetulnya film itu juga mengandung fiksi.

Mana yang fakta dan mana yang fiksi?

Karakternya sama seperti di kehidupan nyata. Tapi ada cerita yang fiksi. Misalnya adegan ayah dan kakak Isa Demlakhi yang meninggal di dalam mobil. Padahal aslinya terjadi di sebuah toko. Intinya, saya mengambil kisah hidup anak-anak itu, tapi saya mengubahnya sedikit.

Ada adegan emosional ketika Motaz Faez Basha menangis dalam ajang pencarian bakat menyanyi. Padahal anak-anak itu belum pernah berakting. Bagaimana Anda mengarahkan mereka?

Sebenarnya mereka terbiasa menangis. Dalam kasus Motaz, ia juga sebenarnya sering menangis. Jadi sangat mudah buat dia untuk berakting menangis. Tapi ada satu momen ketika kami meminta dia menangis dan tidak berhasil. Lalu kami menciptakan situasi yang menyulut amarah anak itu. Akhirnya berhasil dan kami langsung memintanya berakting. Secara keseluruhan, anak-anak itu aktor yang baik. Akting mereka bagus.

Dalam film itu, Anda bekerja sama dengan orang-orang yang berasal dari 13 negara dan menggunakan bahasa berbeda, termasuk anak-anak Suriah. Apakah ada kendala dalam berkomunikasi?

Kami menggunakan banyak bahasa untuk berkomunikasi. Saya pun sebenarnya tidak menguasai bahasa Arab. Saya justru menggunakan bahasa Turki untuk berkomunikasi. Ketika kita merasa yakin dan cocok dengan seseorang, menurut saya, tidak ada kendala dalam berkomunikasi. Bahasa tidak penting lagi. Yang paling penting adalah perasaan yang kita punyai.

Apa yang Anda ingin sampaikan lewat film itu?

Kami ingin membicarakan anak-anak yatim-piatu dan pengungsi akibat perang dari perspektif berbeda. Kami ingin menceritakannya dari dalam. Kita kan sering mendengar tentang anak-anak dan pengungsi dari berita, tapi yang disampaikan itu cuma gambaran umum. Kami ingin memberikan gambaran yang lebih dekat tentang mereka.

Apa pendapat Anda mengenai nasib anak-anak dalam konflik dan perang?

Sangat mengerikan. Dalam setiap perang, anak-anak menjadi korban yang paling menderita. Ada yang hilang, ada yang organ tubuhnya dijual, ada juga yang dipaksa bekerja dalam dunia prostitusi.

Anda sering membuat film yang menggambarkan penderitaan anak-anak. Apa alasannya?

Tiga film saya bercerita tentang anak-anak. Pertama tentang wanita dan anak-anak yang selamat dari perang Bosnia. Kedua mengenai kakak-adik yatim-piatu di Suriah. Ketiga tentang anak-anak pengungsi Suriah di Turki. Penting untuk memperlihatkan penderitaan anak-anak itu. Kita tak boleh mengabaikan penderitaan mereka. Alasan ini mungkin juga berkaitan dengan latar belakang saya, yang pernah mengalami situasi perang.  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus