HERMAN Yanto, pembunuh berusia 14 tahun itu, divonis 8 Oktober
lalu. Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara itu antara lain
menyebut ia dibebaskan dari tuduhan primer, yaitu melakukan
pembunuhan berencana. Tapi menurut hakim ia terbukti melakukan
pembunuhan dan melanggar pasal 338 KUHP.
Namun hakim tidak menjatuhkan sesuatu hukuman bagi Herman.
Dengan melihat usia si terhukum dan pasal 45 KUHP Bismar Siregar
SH, hakim ketua dalam peradilan itu, memutuskan Herman "sebagai
anak negara".
Berdasarkan vonis itu pula anak itu diserahkan kepada Soemarmo,
Ketua Pelaksana Badan Sensor Film (BSF). Mengapa? Beberapa hari
sebelum vonis, Soemarmo mengajukan kesediaannya mengasuh
Herman--sambil membuktikan apakah benar perbuatan anak itu
sebagai akibat film Akibat Pergaulan lebas yang pernah
disaksikannya.
Sebab selama proses pengadilan, Bismar tampaknya yakin.
pembunuhan yang dilakukan Herman terhadap gadis cilik Tjung
Wan May, atau A Wan (10 tahun), tidak bisa tidak karena pengaruh
film yang pernah ditontonnya. Seperti dituturkan hakim itu, 9
Februari 1979 -- tanpa sepengetahuan orangtua angkatnya--Herman
menyaksikan film itu di Bioskop Garuda di Jalan Jembatan Dua
Jakarta. Film itu seharusnya hanya ditonton oleh mereka yang
telah berusia 17 tahun ke atas.
Beberapa hari setelah menonton film itu Herman didatangi adik
kelasnya, A Wan. Keduanya bercanda di kamar loteng tempat
kediaman keluarga Herman. Mereka memutar lagu-lagu dari kaset.
Tiba-tiba Herman membujuk temannya agar membuka celana dalam.
Gadis kecil itu menolak.
Karena kecewa Herman mengambil sebilah pisau dan seutas tali
dari ruang bawah yang juga dipakai orang tuanya sebagai tempat
bengkel servis dinamo. Menurut Herman di depan pengadilan, ia
mendorong tubuh A Wan sampai tertelungkup di tempat tidur.
Segera ia mengikat kedua tangan kawannya itu ke belakang. Lalu
menindih tubuh A Wan yang sudah tanpa celana. Tapi beberapa saat
setelah itu sambil menutup mulut A Wan, tangan Herman yang lain
menyayatkan pisau ke leher, disusul beberapa tikaman ke tubuh
gadis kecil itu. A Wan tewas. Ini terjadi 9 Maret 1979.
Menurut pengakuan Herman, perbuatannya menggagahi A Wan karena
ingin meniru sebuah adegan film APB. Karena itu pertengahan
bulan lalu, atas permintaan pengadilan, BSF memutar kembali film
itu --khusus di hadapan para hakim dan jaksa yang menangani
perkara Herman.
SEKARANG siapa yang salah?" tanya Bismar sehabis menyaksikan
film itu. Ia menyalahkan para pembuat film yang secara
terperinci menggambarkan adegan-adegan ranjang. Bismar melihat,
bahwa Herman masih terlalu anak-anak untuk melakukan kejahatan
itu. Sehingga bagi hakim ini, selain karena faktor keluarga,
perbuatan si anak tak lain karena terangsang adegan film tadi.
Sejauh mana benarnya pendapat Hakim Bismar? BSF menugaskan
beberapa anggotanya untuk menelitinya. "Saya percaya bukan film
satu-satunya faktor yang berperan pada diri Herman," ungkap drs.
H.M. Enoch Markum, psikolog anggota FSF yang pernah
mewawancarai Herman.
Menurut Enoch Markum, Herman mengaku menyaksikan film itu di
Bioskop Garuda 9 Februari 1979. Setelah diteliti, ternyata
bioskop itu memutarnya April 1978. Anggota BSF ini bahkan
meragukan apakah benar-benar Herman pernah menyaksikan film itu.
Sebab selama diwawancarai anggota-anggota BSF Secara terpisah,
ia tak pernah menyinggung soal film itu. Yang pasti menurut
laporan pekerja sosial di Pamardi Siwi (tempat Herman "ditahan"
sampai pekan lalu), Herman pernah diajak temannya ke tempat
pelacuran.
Soemarmo (63 tahun) sendiri, yang akan menjadi bapak angkat
Herman, masih tetap belum percaya bahwa kejahatan yang dilakukan
anak itu akibat film yang pernah disaksikannya. "Sampai sekarang
saya masih ingin menuntut agar dibuktikan, ditunjukkan dan
diyakinkan, bahwa ekses Yanto itu disebabkan film," kata Ketua
BSF itu.
Ia mengakui memang omong kosong kalau dikatakan film tak punya
pengaruh. "Tapi manusia tak cuma memperoleh pengaruh dari fihn,"
tambahnya.
Soemarmo menolak anggapa bahwa kesediamya mengangkat Herman Y
anto sebagai anak karena merasa bersalah sebagai Ketua Badan
Sensor. "Saya hanya ingin mengamalkan unsur prikemanusiaan,"
ucapnya. Ia menilai Herman sebagai anak yang cerdas dan "saya
akan menyekolahkannya." la hanya punya seorang anak, yang
sekarang sudah dewasa.
Memang tak mudah dibuktikan sejauh mana film APB telah
berpengaruh pada diri anak muda ini. Tapi film dengan judul
serupa Maret 1979 lalu sempat menghebohkan sebagian penduduk
Jalan Imam Bonjol Padang. Su, 20 tahun, suatu malam pulang dari
nonton film APB yang diputar di lapangan Imam Bonjol. Beberapa
menit kemudian dalam perjalanan pulang ia bertemu dengan gadis
kecil L (9 tahun).
Anak ini dijanjikan akan dibelikan kue dan diajak nonton. Tapi
sampai di sebuah sudut gelap di lapangan Imam Bonjol, tiba-tiba
Su menutup mulut L. Anak itu meronta. Tapi tangan Su telah
menggerayanginya dan membuka celana dalam si anak sampai lutut.
Tak terjadi apa-apa pada diri L. Namun pemuda itu kemudian puas.
Dan di saat mulutnya lepas dari bungkaman, anak itupun menjerit.
Penduduk berkumpul. Su menjadi urusan polisi. Selanjutnya
pengadilan menghukumnya 3 bulan penjara. "Saya tak tahan sehabis
menyaksikan film itu, sehingga terpaksa saya lakukan," kata Su
di depan pengadilan.
Pengadilan Negeri Tanjung Balai (Asahan, Sumatera Utara Januari
1976 juga pernah repot oleh perkara hampir serupa. Pa (12 tahun)
telah memperkosa S.A. (6 tahun) anak tetanggan di Desa
Petatel, Kecamatan Talawi Ashan Di hadapan hakim ia mengakui
perbuatannya itu dilakukan karena sehari sebelumnya ia menonton
bioskop keliling yang mempertunjukkan film The Young Passion,
dibintangi Yenni Hu, bintang film seks Hongkong itu. Pa dijatuhi
hukuman 9 bulan penjara.
Di bulan Januari tahun berikutnya lagi-lagi Pengadilan Negeri
Tanjung Balai menjatuhkan vonis 3 bulan penjara kepada Am alias
An (15 tahun) penduduk Desa Mangkei Baru, Kecamatan Lima Puluh.
Hakim mempersalahkannya telah memperkosa Sr (7 tahun), anak
tetangga. Ketika membela diri, Am menyebut perbuatannya karena
didorong oleh adegan ranjang dalam film-film yang sering
disaksikannya lewat bioskop keliling.
Tapi seminggu kemudian pengadilan serupa harus memvonis 3 orang
anak sekaligus. Masing-masing S bin M (8 tahun), Lo (8 tahun)
dan Ln (9 tahun). Ketiganya telah bersama-sama memperkosa teman
wanita mereka Ms (9 tahun) di Desa Binjei Baru, Talawi. Dalam
pengakuan memang mereka tak menye but apa yang mendorong
perbuatan itu, tapi ketiganya membenarkan sama-sama pencandu
film India di bioskop keliling.
Masih tersedia beberapa contoh kejadian dan penyebab serupa.
Baik yang sempat terungkap di depan pengadilan maupun cukup
berakhir di antara keluarga kedua pihak. Tapi yang pasti, di
kawasan Sum-Ut akhir-akhir ini bioskop keliling muncul di
mana-mana, terutama di pedesaan. Mudah dibayangkan, bahwa
anak-anak adalah penonton setia pertunjukan yang hampir tak
pernah memutar film yang pantas untuk usia mereka.
Demikian jauh daerah ini diinfiltrasi bioskop keliling,
sampai-sampai perselisihan antara dua suku di Bagan Asahan akhir
Agustus lalu banyak yang menganggapnya sebagai akibat "pengaruh
film-film sadis" yang sering mengunjungi daerah itu.
Beberapa kejadian itu memang belum dapat dikatakan telah
menjawab pertanyaan kasus Herman Yanto. Tapi berbagai judul
film yang merangsang, iklan maupun poster-poster yang memancing
akhir-akhir ini umumnya dipandang tak patut terutama bagi
anak-anak. Seperti Ranjang Siang Ranjang Malam, Supirku
Sayang, Pulau Birahi (diganti Pulau Cinta), Akibat Godaan,
Tante Sex, Satu Malam Dua Cinta, Penyakit Kelamin, Pengalaman
Pertama, Pahitnya Cinta Manisnya Dosa. Dan puluhan lainnya.
Belum lai film-film penuh kekerasan.
BSF sering dituding sebagai badan yang telah turut melemparkan
film-film serupa itu di tengah masyarakat. Soemarmo segera
menjawab: "Wewenang kami sebenarnya cuma sebatas pagar kantor
BSF ini."
Maksudnya badan ini hanya menyensor film yang disodorkan
kepadanya, menggunting adegan yang dianggap kurang senonoh,
menolak atau menerima satu film, menentukan batas umur
penontonnya. Dan selesailah. Apa yang terjadi selanjutnya sudah
di luar pagar Jangkauannya. Atau seperti kata Enoch Markum, "BSF
tak punya aparat untuk mengontrol apakah film-film itu
benar-benar ditonton oleh kelompok umur tersebut."
Hal serupa itu juga akan terjadi, bila satu film yang telah
disensor ternyata berbeda bila telah berada di layar bioskop.
Karena film yang disodorkan ke BSF hanya satu kopi, sedang
produser membuat satu film dengan beberapa kopi. "Kalau sudah
begini kita tidak bisa mengatakan siapa yang jahat," kata Enoch.
Tapi agak beruntung karena di beberapa daerah terdapat BAPFIDA
(Badan Pembinaan Film Daerah), yaitu semacam badan sensor pula.
Tapi tak semua daerah memiliki badan ini, dan tidak semua yang
memilikinya dapat bekerja efektif.
Dan kenakalan produser serupa itu sering terjadi juga dalam hal
poster. Scbual rencana poster berukuran mini yang telah
disetujui sensor dapat saja berubah di kuas pembuatnya, sehingga
yang tampil mungkin paha montok atau dua wajah yang
bertangkupan. Menurut Bnoch, "seharusnya polisi atau masyarakat
yang melihat poster-poster semacam itu melaporkannya kepada
BSF."
Untuk mengawasi pelaksanaan batas umur penonton seperti yang
ditetapkan BSF juga tampaknya sulit. Badan ini mewajibkan batas
umur penonton itu dicantumkan di depan loket penjualan karcis,
dan slide sebelum film itu diputar. A. Karim, Sekretaris BSF,
mengakui dalam pelaksanaannya batas umur itu sering dilanggar di
bioskop-bioskop. Produser film tak mau disalahkan jika terjadi
anak-anak di bawah umur sampai menonton film untuk orang dewasa.
Sebab bertolak dari kasus Herman Yanto, produser film APB, Gope
Samtani dari PT Rapi Film merasa tak punya andil dalam kejadian
itu. Ia, katanya, membuat film itu mcmang untuk penonton 17
tahun ke atas. Sambil menghitung keuntungan dari penonton yang
menyaksikan film itu, Samtani menunjuk pemilik bioskop telah
tidak tegas memilih umur penontonnya.
Johan Tjasmadi, Sekjen Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh
Indonesia (GPBSI) menolak pendapat itu. Secara yuridis formil,
kata Johan, bioskop tak punya hak untuk melarang tiap penonton
yang memiliki karcis, sekalipun ia anak-anak dan film yang
diputar untuk 17 tahun ke atas. "Yang punya wewenang adalah
petugas berwajib," katanya. Yitu Polisi.
KARENA itu Johan berpendapat Ordonansi Film sudah tak sesuai
lagi. Sebab ordonansi yang menetapkan bahwa bioskop
bertanggungjawab terhadap batas usia dan keselamatan penonton,
sudah sulit ditaati, meskipun bioskop sudah mencantumkan
peringatan-peringatan. Ia mengungkapkan penjaga bioskop yang
sering kena maki atau bahkan ditampar penonton yang hendak
memaksakan agar anaknya dapat dibawa masuk nonton film untuk
orang dewasa. "Yang seharusnya dibina adalah masyarakat, bukan
pemilik bioskop" ucap Johan.
Tapi mungkin karena kesal melihat ulah pemilik bioskop, di Ujung
Pandang Agustus lalu seorang pengusaha bioskop dan booker film
divonis 14 hari kurungan ditambah masa percobaan. Sebab seorang
penonton yang menemani anaknya menyaksikan film Dang Ding Dong
(untuk anakanak) telah mengadukan pengusaha itu karena memutar
adegan-adegan ranjang dari film Lakilaki Dalam Pelukan sebagai
trailer dan lisaksikan penonton-penonton cilik itu.
Kalau pengawasan terhadap penon ton menjadi tanggung-jawab
polisi, seperti menurut Johan Tjasmadi, sebaliknya pula pendapat
pihak kepolisian. "Pengusaha bioskop itu jangan hanya
pertimbangkan uang masukaja, juga ketertiban, keamanan dan
kesehatan," kata Kolonel (Pol) Darmawan, Kepala Dinas Penerangan
Mabak. Ia mengakui "penertiban oleh polisi sudah dilakukan, tapi
tak dapat terus menerus, karena tergantung tenaga yang ada."
Karena itu yang penting, menurut Darmawan, pengusaha bioskop itu
sendiri.
Tapi rupanya untuk menentukan satu film boleh disaksikan
anak-anak atau tidak memang tak mudah. "Karena yang semata-mata
film seks itu tidak jelas," ujar A. Karim lagi. Ia mencontohkan
film-film komidi yang juga menyelipkan adegan-adegan yang dapat
dianggap porno untuk menambah kelucuan.
Karena itu menurut Karim, salah satu kriteria film untuk orang
dewasa, adalah, "jika film tersebut bisa menimbulkan shock bagi
anak-anak." Sedangkan bagi film untuk 13 tahun ke atas, Karim
mengambil contoh film perang. "Asal sekedar pertempuran biasa,
tidak ada unsur sadisme dan kejahatan yang menyolok, kita lepas
untuk 13 tahun," tutur Karim.
Namun, di mana sebenarnya film untuk anak-anak? Jumlahnya memang
terlampau kecil. BSF mencatat, selama 1978 terdapat 208 film
untukorang dewasa, 42 untuk 13 tahun ke atas dan hanya 19 film
untuk semua umur. Dan sampai Oktober tahun ini, baru terdapat 19
buah film untuk semua umur, 169 untuk orang dewasa dan 33 buah
untuk 13 tahun ke atas. Semua untuk film impor maupun buatan
dalam negeri.
Untuk membuat film anak-anak, "biayanya sama besar dengan untuk
orang dewasa," seperti diungkapkan Direktur PT Garuda Film,
Hendrick Gozali. Padahal film anak-anak cukup sulit dipasarkan,
karena bioskop hanya mungkin memutarnya hanya pada hari Mingu
atau hari libur.
Hendrick mencontohkan film Ranjang Pengantin (dewasa dengan
biaya Rp 45 juta) dan Yoan (film anak-anak dengan biaya Rp 7 5
juta). Yang pertama katanya hanya dalam waktu « tahun modal sudah
kembali, sedangkan film Yoan sudah lebih 2 tahun sekarang belum
kembali modal. Karena itu produser enggan membuat film
anak-anak. Sedangkan rangsangan yang diberikan Deppen bagi
pengimpor film anak-anak belum banyak menarik minat importir
kita.
Alasan perdagangan memang lumrah dalam pikiran para produser,
yang telah menghabiskan puluhan juta rupiah. Yang menjadi soal
ialah bagaimana kontrol terhadap yang mungkin timbul terhadap
motif laba itu. Sebab film memang punya andil bagi penontonnya.
Terutama kaum remaja. Hal ini diakui juga oleh Dr. Soerjono
Soekanto SH, MA, ahli sosiologi hukum dari Universitas
Indonesia. "Tetapi apakah pengaruh yang ditimbulkan negatif atau
positif, belum dapat diketahui karena di Indonesia mungkin belum
pernah diadakan penelitian," kata Soerjono. Ia menilai film
Indonesia kebanyakan berbau seks dan sadisme murahan. Hal ini
katanya lebih mudah mempengaruhi remaja. Adegan semacam itu
mudah ditiru, apalagi bila orang tua memberi uang yang cukup
untuk itu.
Di daerah-daerah pengaruh film agak berbeda. Menurut Soerjono di
kota-kota kontrol sosial sudah longgar, sehingga pengaruh film
akan lebih mudah terlihat. Tapi di daerah, terutama pedalaman,
film tidak akan terlalu berpengaruh karena masyarakat masih
saling mengontrol dengan cukup kuat. Tapi Dr. Soerjono tak
melupakan faktor keluarga yang dapat juga memberi peranan
terhadap pengaruh baik maupun buruk satu film terhadap kaum
remaja. Semakin harmonis satu keluarga, semakin kecil
kemungkinan bagi si anak untuk melakukan perbuatan negatif.
Hampir serupa dengan pendapat Dr. Soerjono adalah Dr. Singgih
Dirgagunarsa, psikolog anak-anak yang menjadi Pembantu Dekan
Fakultas Psikologi UI.
Menurut Singgih, seorang akan mempersepsikan apa yang ia lihat
di layar. Kemudian setelah diolah, ia saring. Dan akhirnya ia
melakukan pilihan. Dalam kasus Herman Yanto, kata Singgih, ia
dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti latar belakang kehidupan,
keadaan keluarga dan ia juga sedang dalam masa pancaroba
sehingga ia belum mampu menyarmg mana yang baik bagi dirinya.
Namun Singgih tak melepaskan faktor perangsang yang ditimbulkan
film APB pada diri Herman. "Kalau setiap orang mau mengaku
jujur, maka semua orang akan mengatakan bahwa ia terpengaruh
oleh apa yang dilihatnya di layar putih," ucap Singgih, "karena
itu sesuatu yang waJar. hanya cara penyalurannya berbeda-beda."
Psikolog ini menghargai keputusan pengadilan terhadap Herman.
Karena, katanya, pengadilan tidak semata-mata memandang
kejahatan si anak, tapi juga latar belakangnya.
Dr. Singgih sendiri merasa cukup punya pengalaman menghadapi
kasus anak yang dipengaruhi film, televisi dan video. Tapi
sebegitu jauh, menurutnya, akibat-akibat yang ditimbulkan hanya
terbatas pada kenakalan-kenakalan seperti ingin berkelahi, ingin
membunuh orang dan sebagainya. Yang mengakibatkan kejahatan
jarang terjadi.
Karena itu ia menyarankan agar BSF lebih ketat menyensor film
dan bioskopbioskop memperkeras batasan umur penonton. Sejalan
dengan itu, menurut Singgih, sebaiknya juga iklan dan poster
film tidak terlalu menonjolkan segi pornografisnya. "Karena hal
itu dapat mempengaruhi keinginan si anak untuk menyaksikannya,"
katanya.
Apapun yang diakibatkan satu film terhadap penonton remajanya,
kasus Herman Yanto agaknya tetap penting. Seperti kata Soemarmo,
agar dari kejadian ini, "semua pihak dapat mengambil hikmah dan
manfaatnya." Itu artinya termasuk produser, bioskop dan
terlebih-lebih lagi para orang tua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini