Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Akibat film seks

Anak di bawah umur, herman yanto, membunuh karena ingin meniru adegan film. hakim menimpakan kesalahan kepada produsen, bsf & bioskop. sementara herman divonis jadi anak negara. (fl)

20 Oktober 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HERMAN Yanto, pembunuh berusia 14 tahun itu, divonis 8 Oktober lalu. Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara itu antara lain menyebut ia dibebaskan dari tuduhan primer, yaitu melakukan pembunuhan berencana. Tapi menurut hakim ia terbukti melakukan pembunuhan dan melanggar pasal 338 KUHP. Namun hakim tidak menjatuhkan sesuatu hukuman bagi Herman. Dengan melihat usia si terhukum dan pasal 45 KUHP Bismar Siregar SH, hakim ketua dalam peradilan itu, memutuskan Herman "sebagai anak negara". Berdasarkan vonis itu pula anak itu diserahkan kepada Soemarmo, Ketua Pelaksana Badan Sensor Film (BSF). Mengapa? Beberapa hari sebelum vonis, Soemarmo mengajukan kesediaannya mengasuh Herman--sambil membuktikan apakah benar perbuatan anak itu sebagai akibat film Akibat Pergaulan lebas yang pernah disaksikannya. Sebab selama proses pengadilan, Bismar tampaknya yakin. pembunuhan yang dilakukan Herman terhadap gadis cilik Tjung Wan May, atau A Wan (10 tahun), tidak bisa tidak karena pengaruh film yang pernah ditontonnya. Seperti dituturkan hakim itu, 9 Februari 1979 -- tanpa sepengetahuan orangtua angkatnya--Herman menyaksikan film itu di Bioskop Garuda di Jalan Jembatan Dua Jakarta. Film itu seharusnya hanya ditonton oleh mereka yang telah berusia 17 tahun ke atas. Beberapa hari setelah menonton film itu Herman didatangi adik kelasnya, A Wan. Keduanya bercanda di kamar loteng tempat kediaman keluarga Herman. Mereka memutar lagu-lagu dari kaset. Tiba-tiba Herman membujuk temannya agar membuka celana dalam. Gadis kecil itu menolak. Karena kecewa Herman mengambil sebilah pisau dan seutas tali dari ruang bawah yang juga dipakai orang tuanya sebagai tempat bengkel servis dinamo. Menurut Herman di depan pengadilan, ia mendorong tubuh A Wan sampai tertelungkup di tempat tidur. Segera ia mengikat kedua tangan kawannya itu ke belakang. Lalu menindih tubuh A Wan yang sudah tanpa celana. Tapi beberapa saat setelah itu sambil menutup mulut A Wan, tangan Herman yang lain menyayatkan pisau ke leher, disusul beberapa tikaman ke tubuh gadis kecil itu. A Wan tewas. Ini terjadi 9 Maret 1979. Menurut pengakuan Herman, perbuatannya menggagahi A Wan karena ingin meniru sebuah adegan film APB. Karena itu pertengahan bulan lalu, atas permintaan pengadilan, BSF memutar kembali film itu --khusus di hadapan para hakim dan jaksa yang menangani perkara Herman. SEKARANG siapa yang salah?" tanya Bismar sehabis menyaksikan film itu. Ia menyalahkan para pembuat film yang secara terperinci menggambarkan adegan-adegan ranjang. Bismar melihat, bahwa Herman masih terlalu anak-anak untuk melakukan kejahatan itu. Sehingga bagi hakim ini, selain karena faktor keluarga, perbuatan si anak tak lain karena terangsang adegan film tadi. Sejauh mana benarnya pendapat Hakim Bismar? BSF menugaskan beberapa anggotanya untuk menelitinya. "Saya percaya bukan film satu-satunya faktor yang berperan pada diri Herman," ungkap drs. H.M. Enoch Markum, psikolog anggota FSF yang pernah mewawancarai Herman. Menurut Enoch Markum, Herman mengaku menyaksikan film itu di Bioskop Garuda 9 Februari 1979. Setelah diteliti, ternyata bioskop itu memutarnya April 1978. Anggota BSF ini bahkan meragukan apakah benar-benar Herman pernah menyaksikan film itu. Sebab selama diwawancarai anggota-anggota BSF Secara terpisah, ia tak pernah menyinggung soal film itu. Yang pasti menurut laporan pekerja sosial di Pamardi Siwi (tempat Herman "ditahan" sampai pekan lalu), Herman pernah diajak temannya ke tempat pelacuran. Soemarmo (63 tahun) sendiri, yang akan menjadi bapak angkat Herman, masih tetap belum percaya bahwa kejahatan yang dilakukan anak itu akibat film yang pernah disaksikannya. "Sampai sekarang saya masih ingin menuntut agar dibuktikan, ditunjukkan dan diyakinkan, bahwa ekses Yanto itu disebabkan film," kata Ketua BSF itu. Ia mengakui memang omong kosong kalau dikatakan film tak punya pengaruh. "Tapi manusia tak cuma memperoleh pengaruh dari fihn," tambahnya. Soemarmo menolak anggapa bahwa kesediamya mengangkat Herman Y anto sebagai anak karena merasa bersalah sebagai Ketua Badan Sensor. "Saya hanya ingin mengamalkan unsur prikemanusiaan," ucapnya. Ia menilai Herman sebagai anak yang cerdas dan "saya akan menyekolahkannya." la hanya punya seorang anak, yang sekarang sudah dewasa. Memang tak mudah dibuktikan sejauh mana film APB telah berpengaruh pada diri anak muda ini. Tapi film dengan judul serupa Maret 1979 lalu sempat menghebohkan sebagian penduduk Jalan Imam Bonjol Padang. Su, 20 tahun, suatu malam pulang dari nonton film APB yang diputar di lapangan Imam Bonjol. Beberapa menit kemudian dalam perjalanan pulang ia bertemu dengan gadis kecil L (9 tahun). Anak ini dijanjikan akan dibelikan kue dan diajak nonton. Tapi sampai di sebuah sudut gelap di lapangan Imam Bonjol, tiba-tiba Su menutup mulut L. Anak itu meronta. Tapi tangan Su telah menggerayanginya dan membuka celana dalam si anak sampai lutut. Tak terjadi apa-apa pada diri L. Namun pemuda itu kemudian puas. Dan di saat mulutnya lepas dari bungkaman, anak itupun menjerit. Penduduk berkumpul. Su menjadi urusan polisi. Selanjutnya pengadilan menghukumnya 3 bulan penjara. "Saya tak tahan sehabis menyaksikan film itu, sehingga terpaksa saya lakukan," kata Su di depan pengadilan. Pengadilan Negeri Tanjung Balai (Asahan, Sumatera Utara Januari 1976 juga pernah repot oleh perkara hampir serupa. Pa (12 tahun) telah memperkosa S.A. (6 tahun) anak tetanggan di Desa Petatel, Kecamatan Talawi Ashan Di hadapan hakim ia mengakui perbuatannya itu dilakukan karena sehari sebelumnya ia menonton bioskop keliling yang mempertunjukkan film The Young Passion, dibintangi Yenni Hu, bintang film seks Hongkong itu. Pa dijatuhi hukuman 9 bulan penjara. Di bulan Januari tahun berikutnya lagi-lagi Pengadilan Negeri Tanjung Balai menjatuhkan vonis 3 bulan penjara kepada Am alias An (15 tahun) penduduk Desa Mangkei Baru, Kecamatan Lima Puluh. Hakim mempersalahkannya telah memperkosa Sr (7 tahun), anak tetangga. Ketika membela diri, Am menyebut perbuatannya karena didorong oleh adegan ranjang dalam film-film yang sering disaksikannya lewat bioskop keliling. Tapi seminggu kemudian pengadilan serupa harus memvonis 3 orang anak sekaligus. Masing-masing S bin M (8 tahun), Lo (8 tahun) dan Ln (9 tahun). Ketiganya telah bersama-sama memperkosa teman wanita mereka Ms (9 tahun) di Desa Binjei Baru, Talawi. Dalam pengakuan memang mereka tak menye but apa yang mendorong perbuatan itu, tapi ketiganya membenarkan sama-sama pencandu film India di bioskop keliling. Masih tersedia beberapa contoh kejadian dan penyebab serupa. Baik yang sempat terungkap di depan pengadilan maupun cukup berakhir di antara keluarga kedua pihak. Tapi yang pasti, di kawasan Sum-Ut akhir-akhir ini bioskop keliling muncul di mana-mana, terutama di pedesaan. Mudah dibayangkan, bahwa anak-anak adalah penonton setia pertunjukan yang hampir tak pernah memutar film yang pantas untuk usia mereka. Demikian jauh daerah ini diinfiltrasi bioskop keliling, sampai-sampai perselisihan antara dua suku di Bagan Asahan akhir Agustus lalu banyak yang menganggapnya sebagai akibat "pengaruh film-film sadis" yang sering mengunjungi daerah itu. Beberapa kejadian itu memang belum dapat dikatakan telah menjawab pertanyaan kasus Herman Yanto. Tapi berbagai judul film yang merangsang, iklan maupun poster-poster yang memancing akhir-akhir ini umumnya dipandang tak patut terutama bagi anak-anak. Seperti Ranjang Siang Ranjang Malam, Supirku Sayang, Pulau Birahi (diganti Pulau Cinta), Akibat Godaan, Tante Sex, Satu Malam Dua Cinta, Penyakit Kelamin, Pengalaman Pertama, Pahitnya Cinta Manisnya Dosa. Dan puluhan lainnya. Belum lai film-film penuh kekerasan. BSF sering dituding sebagai badan yang telah turut melemparkan film-film serupa itu di tengah masyarakat. Soemarmo segera menjawab: "Wewenang kami sebenarnya cuma sebatas pagar kantor BSF ini." Maksudnya badan ini hanya menyensor film yang disodorkan kepadanya, menggunting adegan yang dianggap kurang senonoh, menolak atau menerima satu film, menentukan batas umur penontonnya. Dan selesailah. Apa yang terjadi selanjutnya sudah di luar pagar Jangkauannya. Atau seperti kata Enoch Markum, "BSF tak punya aparat untuk mengontrol apakah film-film itu benar-benar ditonton oleh kelompok umur tersebut." Hal serupa itu juga akan terjadi, bila satu film yang telah disensor ternyata berbeda bila telah berada di layar bioskop. Karena film yang disodorkan ke BSF hanya satu kopi, sedang produser membuat satu film dengan beberapa kopi. "Kalau sudah begini kita tidak bisa mengatakan siapa yang jahat," kata Enoch. Tapi agak beruntung karena di beberapa daerah terdapat BAPFIDA (Badan Pembinaan Film Daerah), yaitu semacam badan sensor pula. Tapi tak semua daerah memiliki badan ini, dan tidak semua yang memilikinya dapat bekerja efektif. Dan kenakalan produser serupa itu sering terjadi juga dalam hal poster. Scbual rencana poster berukuran mini yang telah disetujui sensor dapat saja berubah di kuas pembuatnya, sehingga yang tampil mungkin paha montok atau dua wajah yang bertangkupan. Menurut Bnoch, "seharusnya polisi atau masyarakat yang melihat poster-poster semacam itu melaporkannya kepada BSF." Untuk mengawasi pelaksanaan batas umur penonton seperti yang ditetapkan BSF juga tampaknya sulit. Badan ini mewajibkan batas umur penonton itu dicantumkan di depan loket penjualan karcis, dan slide sebelum film itu diputar. A. Karim, Sekretaris BSF, mengakui dalam pelaksanaannya batas umur itu sering dilanggar di bioskop-bioskop. Produser film tak mau disalahkan jika terjadi anak-anak di bawah umur sampai menonton film untuk orang dewasa. Sebab bertolak dari kasus Herman Yanto, produser film APB, Gope Samtani dari PT Rapi Film merasa tak punya andil dalam kejadian itu. Ia, katanya, membuat film itu mcmang untuk penonton 17 tahun ke atas. Sambil menghitung keuntungan dari penonton yang menyaksikan film itu, Samtani menunjuk pemilik bioskop telah tidak tegas memilih umur penontonnya. Johan Tjasmadi, Sekjen Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) menolak pendapat itu. Secara yuridis formil, kata Johan, bioskop tak punya hak untuk melarang tiap penonton yang memiliki karcis, sekalipun ia anak-anak dan film yang diputar untuk 17 tahun ke atas. "Yang punya wewenang adalah petugas berwajib," katanya. Yitu Polisi. KARENA itu Johan berpendapat Ordonansi Film sudah tak sesuai lagi. Sebab ordonansi yang menetapkan bahwa bioskop bertanggungjawab terhadap batas usia dan keselamatan penonton, sudah sulit ditaati, meskipun bioskop sudah mencantumkan peringatan-peringatan. Ia mengungkapkan penjaga bioskop yang sering kena maki atau bahkan ditampar penonton yang hendak memaksakan agar anaknya dapat dibawa masuk nonton film untuk orang dewasa. "Yang seharusnya dibina adalah masyarakat, bukan pemilik bioskop" ucap Johan. Tapi mungkin karena kesal melihat ulah pemilik bioskop, di Ujung Pandang Agustus lalu seorang pengusaha bioskop dan booker film divonis 14 hari kurungan ditambah masa percobaan. Sebab seorang penonton yang menemani anaknya menyaksikan film Dang Ding Dong (untuk anakanak) telah mengadukan pengusaha itu karena memutar adegan-adegan ranjang dari film Lakilaki Dalam Pelukan sebagai trailer dan lisaksikan penonton-penonton cilik itu. Kalau pengawasan terhadap penon ton menjadi tanggung-jawab polisi, seperti menurut Johan Tjasmadi, sebaliknya pula pendapat pihak kepolisian. "Pengusaha bioskop itu jangan hanya pertimbangkan uang masukaja, juga ketertiban, keamanan dan kesehatan," kata Kolonel (Pol) Darmawan, Kepala Dinas Penerangan Mabak. Ia mengakui "penertiban oleh polisi sudah dilakukan, tapi tak dapat terus menerus, karena tergantung tenaga yang ada." Karena itu yang penting, menurut Darmawan, pengusaha bioskop itu sendiri. Tapi rupanya untuk menentukan satu film boleh disaksikan anak-anak atau tidak memang tak mudah. "Karena yang semata-mata film seks itu tidak jelas," ujar A. Karim lagi. Ia mencontohkan film-film komidi yang juga menyelipkan adegan-adegan yang dapat dianggap porno untuk menambah kelucuan. Karena itu menurut Karim, salah satu kriteria film untuk orang dewasa, adalah, "jika film tersebut bisa menimbulkan shock bagi anak-anak." Sedangkan bagi film untuk 13 tahun ke atas, Karim mengambil contoh film perang. "Asal sekedar pertempuran biasa, tidak ada unsur sadisme dan kejahatan yang menyolok, kita lepas untuk 13 tahun," tutur Karim. Namun, di mana sebenarnya film untuk anak-anak? Jumlahnya memang terlampau kecil. BSF mencatat, selama 1978 terdapat 208 film untukorang dewasa, 42 untuk 13 tahun ke atas dan hanya 19 film untuk semua umur. Dan sampai Oktober tahun ini, baru terdapat 19 buah film untuk semua umur, 169 untuk orang dewasa dan 33 buah untuk 13 tahun ke atas. Semua untuk film impor maupun buatan dalam negeri. Untuk membuat film anak-anak, "biayanya sama besar dengan untuk orang dewasa," seperti diungkapkan Direktur PT Garuda Film, Hendrick Gozali. Padahal film anak-anak cukup sulit dipasarkan, karena bioskop hanya mungkin memutarnya hanya pada hari Mingu atau hari libur. Hendrick mencontohkan film Ranjang Pengantin (dewasa dengan biaya Rp 45 juta) dan Yoan (film anak-anak dengan biaya Rp 7 5 juta). Yang pertama katanya hanya dalam waktu « tahun modal sudah kembali, sedangkan film Yoan sudah lebih 2 tahun sekarang belum kembali modal. Karena itu produser enggan membuat film anak-anak. Sedangkan rangsangan yang diberikan Deppen bagi pengimpor film anak-anak belum banyak menarik minat importir kita. Alasan perdagangan memang lumrah dalam pikiran para produser, yang telah menghabiskan puluhan juta rupiah. Yang menjadi soal ialah bagaimana kontrol terhadap yang mungkin timbul terhadap motif laba itu. Sebab film memang punya andil bagi penontonnya. Terutama kaum remaja. Hal ini diakui juga oleh Dr. Soerjono Soekanto SH, MA, ahli sosiologi hukum dari Universitas Indonesia. "Tetapi apakah pengaruh yang ditimbulkan negatif atau positif, belum dapat diketahui karena di Indonesia mungkin belum pernah diadakan penelitian," kata Soerjono. Ia menilai film Indonesia kebanyakan berbau seks dan sadisme murahan. Hal ini katanya lebih mudah mempengaruhi remaja. Adegan semacam itu mudah ditiru, apalagi bila orang tua memberi uang yang cukup untuk itu. Di daerah-daerah pengaruh film agak berbeda. Menurut Soerjono di kota-kota kontrol sosial sudah longgar, sehingga pengaruh film akan lebih mudah terlihat. Tapi di daerah, terutama pedalaman, film tidak akan terlalu berpengaruh karena masyarakat masih saling mengontrol dengan cukup kuat. Tapi Dr. Soerjono tak melupakan faktor keluarga yang dapat juga memberi peranan terhadap pengaruh baik maupun buruk satu film terhadap kaum remaja. Semakin harmonis satu keluarga, semakin kecil kemungkinan bagi si anak untuk melakukan perbuatan negatif. Hampir serupa dengan pendapat Dr. Soerjono adalah Dr. Singgih Dirgagunarsa, psikolog anak-anak yang menjadi Pembantu Dekan Fakultas Psikologi UI. Menurut Singgih, seorang akan mempersepsikan apa yang ia lihat di layar. Kemudian setelah diolah, ia saring. Dan akhirnya ia melakukan pilihan. Dalam kasus Herman Yanto, kata Singgih, ia dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti latar belakang kehidupan, keadaan keluarga dan ia juga sedang dalam masa pancaroba sehingga ia belum mampu menyarmg mana yang baik bagi dirinya. Namun Singgih tak melepaskan faktor perangsang yang ditimbulkan film APB pada diri Herman. "Kalau setiap orang mau mengaku jujur, maka semua orang akan mengatakan bahwa ia terpengaruh oleh apa yang dilihatnya di layar putih," ucap Singgih, "karena itu sesuatu yang waJar. hanya cara penyalurannya berbeda-beda." Psikolog ini menghargai keputusan pengadilan terhadap Herman. Karena, katanya, pengadilan tidak semata-mata memandang kejahatan si anak, tapi juga latar belakangnya. Dr. Singgih sendiri merasa cukup punya pengalaman menghadapi kasus anak yang dipengaruhi film, televisi dan video. Tapi sebegitu jauh, menurutnya, akibat-akibat yang ditimbulkan hanya terbatas pada kenakalan-kenakalan seperti ingin berkelahi, ingin membunuh orang dan sebagainya. Yang mengakibatkan kejahatan jarang terjadi. Karena itu ia menyarankan agar BSF lebih ketat menyensor film dan bioskopbioskop memperkeras batasan umur penonton. Sejalan dengan itu, menurut Singgih, sebaiknya juga iklan dan poster film tidak terlalu menonjolkan segi pornografisnya. "Karena hal itu dapat mempengaruhi keinginan si anak untuk menyaksikannya," katanya. Apapun yang diakibatkan satu film terhadap penonton remajanya, kasus Herman Yanto agaknya tetap penting. Seperti kata Soemarmo, agar dari kejadian ini, "semua pihak dapat mengambil hikmah dan manfaatnya." Itu artinya termasuk produser, bioskop dan terlebih-lebih lagi para orang tua.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus