Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

14 thn lalu, ia dicium terakhir kali

Kisah pelaku pembunuhan di bawah umur. herman yanto di titip pada titipan tahanan anak parmadi siwi cawang. a wan, korban pembunuhan, dianggap ibunya sebagai pembawa rejeki. (fl)

20 Oktober 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANAK laki-laki yang lahir di Rumah Bersalin Gang Terate Tanggerang itu kini berusia 14 tahun. Tingginya 130 cm, berkulit coklat dengan rambut yang baru tumbuh lagi karena pernah digundul 3 bulan lalu. Bercelana panjang coklat dengan kemeja tanpa leher berlengan panjang, Herman Yanto duduk agak gelisah di ruang besuk rumah titipan tahanan anak-anak Pamardi Siwi Cawang (Jakarta) Senen siang yang lalu. Matanya menyorotkan rasa takut, keringat menetes di bagian atas bibirnya yang mulai ditumbuhi kumis tipis. Ia ada di Pamardi Siwi sejak Maret lalu. "Selama ini saya senang juga di sini," katanya, "pagi-pagi diberi pelajaran bertukang, siang boleh istirahat sampai makan malam, sehabis itu bisa nonton teve." Tampaknya Yanto ingin mengungkapkan bahwa ia mendapat perlakuan cukup baik selama di tempat titipan ini. Di sini ia sering bermain catur dengan teman-temannya, salah satu olahraga kegemarannya selain sepakbola. "Kalau di rumah, ayah sering memukul saya kalau salah," tuturnya lebih lanjut, "tapi juga kalau tidak salah." Suaranya seperti tersumbat tiba-tiba. Tapi kemudian diakuinya seminggu sekali teman-teman sekolah dan ayah angkatnya, Ang Soey Kiat (Sukyat -- 52 tahun) mengunjunginya. Murid SDN Teluk Gong (Jakarta Kota) itu terakhir duduk di kelas V. Ia juga mengaku "beragama Kristen Protestan, tapi belum dipermandikan. Kalau di sekolah, saya mengikuti pelajaran Agama Islam." Menurut Yanto angka rapor sekolahnya tak ada yang merah. Kalau tidak bernilai 7, berangka 6. "Yang berangka 7 misalnya Bahasa Indonesia, Sejarah dan yang 6 misalnya agama," katanya. Tentang keputusan pengadilan yang ditimpakan kepadanya, agaknya Yanto sudah pasrah. "Senang tidak senang, saya terima saja," kata anak muda itu, "tetapi kalau telah bebas nanti, saya berniat akan jadi orang baik-baik." Ia belum mendengar bahwa kemudian ia akan diasuh keluarga Soemarmo. "Saya belum kenal pak Marmo, saya ingin kembali ke ayah angkat saya." Berkali-kali ditanya, Yanto tetap merindukan kembali kepada bapak angkatnya itu, meskipun menurut Hakim Bismar ia pernah menyatakan tak ingin hidup bersama Ang Soey Kiat lagi. 14 tahun lampau ketika pertama kali Sukyat menjumpai Yanto sebagai bayi yang baru lahir beberapa hari di Rumah Bersalin Terate Tanggerang. Sukyat bersama isterinya memang datang ke sana untuk mencari anak angkat. Seorang suster menunjukkan keyada mereka bayi laki-laki yang ingin diserahkan ibunya kepada siapa saja karena kesulitan ekonomi. "Kami sempat dipertemukan dengan ibu Yanto," ungkap Sukyat, "dan ibunya mencium anak itu untuk terakhir kali sebelum diserahkan kepada kami." Menurut Sukyat setiap hari ia memberi uang saku Rp 1.000 kepada anak angkatnya itu. Ia tak banyak tahu kegiatan Yanto di luar jam sekolah. "Kalau hari Minggu, Yanto pergi dengan teman-temannya ke gereja," kara Sukyat. Ke gereja apa? Laki-laki itu tampak bingung, sehingga Jip Nie, isterina (tanpa nikah) menyahut "Gereja Pantekosta." Sebelum hidup bersama dengan Jip Nie (35 tahun), Sukyat telah beberapa kali kawin-cerai, tanpa seorang anakpun. Setelah mengetahui Yanto akan menjadi anak negara dan akan dipelihara Soemarmo, Sukyat tampak sedih. "Saya akan mencoba lewat pembela saya agar Yanto dikembalikan kepada saya," katanya. Menurutnya ia ingin agar anak angkatnya itu kelak dapat bersekolah di STM jurusan arus kuat, seswai dengan sumber penghasilannya sebagai pembetul generator listrik. "Saya sudah ajari dia listrik arus lemah, ia pernah ikut kursus montir radio dan ia pernah membuat radio sendiri," ungkap orang tua itu lagi. Sukyat mengakui ia pernah memukul anak angkatnya itu. "Kalau nakal, saya memang pukul dia--habis bagaimana sih hubungan ayah dengan anak?" ia bertanya tanpa mengharap jawaban. ALMARHUMAH A Wan, gadis kecil yang tewas di tangan Yanto, semasa hidupnya ternyata merupakan sumber hoki (keberuntungan) bagi keluarganya. Nyonya Tjia Nyuk Lin (45 tahun) ibu A Wan telah menjanda sejak anaknya ini masih bayi. Tinggal di sebuah rumah sederhana bertingkat dua, berjarak sekitar 50 meter dari rumah orang tua angkat Herman Yanto, nyonya janda ini sehari-hari hidup sebagai pedagang karet gelang. Jika A Wan pulang sekolah, ia dibawa ibunya berdagang. "Kalau saya bawa A Wan dagangan saya pasti laku, bahkan orang sering membeli dengan harga lebih mahal," tutur Tjia Nyuk Lin, "sekarang tidak lagi, setelah A Wan tidak ada." A Wan adalah anak bungsunya. Puterinya yang tertua sudah menikah dan dua anak laki-lakinya telah bekerja. Puterinya ke empat dan A Wan dia sekolahkan dengan bantuan sebuah badan sosial di Amerika Serikat melalui Yayasan Tunas Mekar yang biasa mencari sponsor untuk pendidikan anak yatim maupun piatu. Ibu A Wan mengakui pernah menerima bantuan Rp 95.000 dari ayah angkat Herman Yanto. "Tetapi untuk ongkos penguburan di Tanah Kusir mengeluarkan biaya Rp 300.000 untung ada famili yang mau meminjami uang," katanya. Tetapi menurut Sukyat, ayah Yanto, bantuan yang pernah ia berikan berjumlah Rp 100.000.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus