ANAK laki-laki yang lahir di Rumah Bersalin Gang Terate
Tanggerang itu kini berusia 14 tahun. Tingginya 130 cm, berkulit
coklat dengan rambut yang baru tumbuh lagi karena pernah
digundul 3 bulan lalu.
Bercelana panjang coklat dengan kemeja tanpa leher berlengan
panjang, Herman Yanto duduk agak gelisah di ruang besuk rumah
titipan tahanan anak-anak Pamardi Siwi Cawang (Jakarta) Senen
siang yang lalu. Matanya menyorotkan rasa takut, keringat
menetes di bagian atas bibirnya yang mulai ditumbuhi kumis
tipis. Ia ada di Pamardi Siwi sejak Maret lalu. "Selama ini saya
senang juga di sini," katanya, "pagi-pagi diberi pelajaran
bertukang, siang boleh istirahat sampai makan malam, sehabis itu
bisa nonton teve."
Tampaknya Yanto ingin mengungkapkan bahwa ia mendapat perlakuan
cukup baik selama di tempat titipan ini. Di sini ia sering
bermain catur dengan teman-temannya, salah satu olahraga
kegemarannya selain sepakbola. "Kalau di rumah, ayah sering
memukul saya kalau salah," tuturnya lebih lanjut, "tapi juga
kalau tidak salah." Suaranya seperti tersumbat tiba-tiba. Tapi
kemudian diakuinya seminggu sekali teman-teman sekolah dan ayah
angkatnya, Ang Soey Kiat (Sukyat -- 52 tahun) mengunjunginya.
Murid SDN Teluk Gong (Jakarta Kota) itu terakhir duduk di kelas
V.
Ia juga mengaku "beragama Kristen Protestan, tapi belum
dipermandikan. Kalau di sekolah, saya mengikuti pelajaran Agama
Islam." Menurut Yanto angka rapor sekolahnya tak ada yang merah.
Kalau tidak bernilai 7, berangka 6. "Yang berangka 7 misalnya
Bahasa Indonesia, Sejarah dan yang 6 misalnya agama," katanya.
Tentang keputusan pengadilan yang ditimpakan kepadanya, agaknya
Yanto sudah pasrah. "Senang tidak senang, saya terima saja,"
kata anak muda itu, "tetapi kalau telah bebas nanti, saya
berniat akan jadi orang baik-baik."
Ia belum mendengar bahwa kemudian ia akan diasuh keluarga
Soemarmo. "Saya belum kenal pak Marmo, saya ingin kembali ke
ayah angkat saya." Berkali-kali ditanya, Yanto tetap merindukan
kembali kepada bapak angkatnya itu, meskipun menurut Hakim
Bismar ia pernah menyatakan tak ingin hidup bersama Ang Soey
Kiat lagi.
14 tahun lampau ketika pertama kali Sukyat menjumpai Yanto
sebagai bayi yang baru lahir beberapa hari di Rumah Bersalin
Terate Tanggerang. Sukyat bersama isterinya memang datang ke
sana untuk mencari anak angkat. Seorang suster menunjukkan
keyada mereka bayi laki-laki yang ingin diserahkan ibunya kepada
siapa saja karena kesulitan ekonomi. "Kami sempat dipertemukan
dengan ibu Yanto," ungkap Sukyat, "dan ibunya mencium anak itu
untuk terakhir kali sebelum diserahkan kepada kami."
Menurut Sukyat setiap hari ia memberi uang saku Rp 1.000 kepada
anak angkatnya itu. Ia tak banyak tahu kegiatan Yanto di luar
jam sekolah. "Kalau hari Minggu, Yanto pergi dengan
teman-temannya ke gereja," kara Sukyat. Ke gereja apa? Laki-laki
itu tampak bingung, sehingga Jip Nie, isterina (tanpa nikah)
menyahut "Gereja Pantekosta." Sebelum hidup bersama dengan Jip
Nie (35 tahun), Sukyat telah beberapa kali kawin-cerai, tanpa
seorang anakpun.
Setelah mengetahui Yanto akan menjadi anak negara dan akan
dipelihara Soemarmo, Sukyat tampak sedih. "Saya akan mencoba
lewat pembela saya agar Yanto dikembalikan kepada saya,"
katanya. Menurutnya ia ingin agar anak angkatnya itu kelak dapat
bersekolah di STM jurusan arus kuat, seswai dengan sumber
penghasilannya sebagai pembetul generator listrik. "Saya sudah
ajari dia listrik arus lemah, ia pernah ikut kursus montir radio
dan ia pernah membuat radio sendiri," ungkap orang tua itu lagi.
Sukyat mengakui ia pernah memukul anak angkatnya itu. "Kalau
nakal, saya memang pukul dia--habis bagaimana sih hubungan ayah
dengan anak?" ia bertanya tanpa mengharap jawaban.
ALMARHUMAH A Wan, gadis kecil yang tewas di tangan Yanto, semasa
hidupnya ternyata merupakan sumber hoki (keberuntungan) bagi
keluarganya. Nyonya Tjia Nyuk Lin (45 tahun) ibu A Wan telah
menjanda sejak anaknya ini masih bayi. Tinggal di sebuah rumah
sederhana bertingkat dua, berjarak sekitar 50 meter dari rumah
orang tua angkat Herman Yanto, nyonya janda ini sehari-hari
hidup sebagai pedagang karet gelang. Jika A Wan pulang sekolah,
ia dibawa ibunya berdagang. "Kalau saya bawa A Wan dagangan saya
pasti laku, bahkan orang sering membeli dengan harga lebih
mahal," tutur Tjia Nyuk Lin, "sekarang tidak lagi, setelah A Wan
tidak ada."
A Wan adalah anak bungsunya. Puterinya yang tertua sudah menikah
dan dua anak laki-lakinya telah bekerja. Puterinya ke empat dan
A Wan dia sekolahkan dengan bantuan sebuah badan sosial di
Amerika Serikat melalui Yayasan Tunas Mekar yang biasa mencari
sponsor untuk pendidikan anak yatim maupun piatu.
Ibu A Wan mengakui pernah menerima bantuan Rp 95.000 dari ayah
angkat Herman Yanto. "Tetapi untuk ongkos penguburan di Tanah
Kusir mengeluarkan biaya Rp 300.000 untung ada famili yang mau
meminjami uang," katanya. Tetapi menurut Sukyat, ayah Yanto,
bantuan yang pernah ia berikan berjumlah Rp 100.000.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini